Pada tahun 2019, konsep perjalanan waktu menjadi perbincangan hangat setelah film Avengers: Endgame (2019) Merilis. Taklama setelah Endgame rilis, Netflix merilis film orisinil yang juga membahas perjalanan waktu. Film tersebut adalah See You Yesterday, disutradarai oleh Stefon Bristol.
Memuat konten bocoran. Disarankan menyaksikan filmnya terlebih dahulu.
Tahun 2019 banyak penggemar film yang mempertanyakan konsep perjalanan waktu Endgame. Pasalnya, film ini taklagi memakai konsep “paradoks kakek” (grandfather paradox) yang sudah langgeng digunakan pada film-film perjalanan waktu sejak Back to the Future (1985). Dalam film-film perjalanan waktu, jika memakai “paradoks kakek”, berarti apa yang kita lakukan pada masa lalu akan berpengaruh pada masa depan. Sementara dalam Endgame, melintasi waktu akan menciptakan dimensi-dimensi baru yang takmemengaruhi masa depan.
Beberapa pekan setelah Endgame rilis, Netflix merilis See You Yesterday, film yang juga bermuatan perjalanan waktu. Berbeda dari film Marvel tersebut, film yang disutradarai Stefon Bristol itu takmenggunakan konsep baru. Ia kembali menggunakan “paradoks kakek”, tetapi dikemas dengan masalah sosial baru.
Sebenarnya, menggunakan “paradoks kakek” kembali beberapa saat setelah adanya konsep baru dalam film-film perjalanan waktu tidak masalah. Hanya saja, jika ada hal baru yang masih sangat segar, hal lama akan terlihat usang. Efek seperti ini harus ditanggung Bristol yang ditemani Frederica Bailey untuk menulis skenario See You Yesterday.
Untungnya, See You Yesterday memainkan unsur nostalgia. Pada awal film, ditampilkan sosok Michael J. Fox, bintang utama Back to the Future yang merupakan leluhurnya film-film perjalanan waktu. Sayangnya, Fox hanya tampil pada awal film saja dan takmemegang peranan berarti dalam film ini.
See You Yesterday berkisah tentang dua orang remaja Afrika-Amerika, C.J. Walker (Eden Duncan-Smith) dan Sebastian Thomas (Dante Crichlow) yang menciptakan mesin waktu. Dalam film ini, mereka berdua memang terlihat jenius, tetapi tidak terasa seperti jenius yang hanya ada satu dalam seabad. Saat berbincang, C.J. dan Sebastian sempat membawa-bawa nama Albert Einstein yang takmampu membuat mesin waktu sementara mereka mampu.
Jenius Takbijak
Melihat pernyataan di atas, mungkin saja mesin waktu sudah diciptakan. Namun, sang penciptanya lebih bijak dari C.J. dan Sebastian sehingga takingin mengumumkan penemuannya yang dapat menciptakan konsekuensi fatal. Mengingat film ini mengusung “paradoks kakek”, konsekuensi menjadi pembahasan utama, apalagi yang menciptakan mesin waktu hanya dua orang anak remaja. Bristol terlihat ingin menanamkan nilai dalam kehidupan nyata perihal kebebasan remaja dalam bertindak yang kerap luput akan konsekuensinya pada masa depan.
Sebelum melakukan perjalanan waktu, C.J. menjadi orang yang mengingatkan Sebastian tentang konsekuensi melakukan perjalanan waktu. Ketika sedang melintasi waktu, C.J. justru jadi orang yang melanggar hal tersebut. Ia bertemu mantan pacarnya di toko kelontong dan menyiramnya dengan minuman. Hal kecil ini menciptakan “efek kupu-kupu” (butterfly effect) yang berujung pada kematian kakak C.J., Calvin (Astro).
Setelah kematian kakaknya, sangat sulit bagi penonton menerima sosok C.J.. Ia memaksakan diri untuk menyelamatkan Calvin walau harus bertengkar dengan Sebastian yang sudah sangat sabar menghadapinya. Pada awalnya, kita mengira bahwa pertengkaran dengan Sebastian mungkin akan menghentikan C.J. mengobrak-abrik waktu. Nyatanya, seusai proses baikkan yang sangat cepat, Sebastian justru membantu C.J. menyelamatkan Calvin.
Konsekuensi dari mereka berdua kembali melakukan perjalanan waktu sudah jelas: waktu semakin terobrak-abrik dan menyebabkan kematian Sebastian walau Calvin selamat. Kali ini C.J. ingin menyelamatkan keduanya, tetapi hal itu terasa mustahil. Film ditutup dengan C.J. ingin menyelamatkan Calvin kembali tanpa berhasil dicegah Sebastian.
Relevansi yang Takmampu Jadi Penyelamat
Setelah kematian George Floyd di tangan polisi pada awal tahun 2020, kampanye Black Lives Matter marak. Film-film dibunuhnya orang kulit hitam oleh polisi pun kembali naik dan See You Yesterday salah satunya. Terbunuhnya Calvin oleh polisi menjadi relevansi permasalahan sosial yang dibawa oleh Bristol dalam film ini.
Relevansinya memang menarik walaupun ini bukan ide baru. Jika ingin melihat konflik pembunuhan orang kulit hitam oleh polisi dan permasalahan yang ditimbulkan di masyarakat, The Hate U Give (2018) lebih konkret. Jelas, Bristol lebih ingin memainkan unsur nostalgia perjalanan waktu dan latar sosial digunakan untuk merelevansikan serta memicu konflik film.
See You Yesterday sebenarnya menarik, hanya saja pembentukan karakter C.J. yang terlalu keras kepala membuat kita sulit memahaminya. Memang, ia masih remaja, tetapi kejeniusannya dan kehadiran Sebastian yang menentangnya seharusnya bisa menambah kompleksitas film ini. Ditutup dengan resolusi tanggung dan penuansaannya pun kurang konkret, See You Yesterday serasa seperti film yang belum selesai, tetapi dipaksa tayang.
Baca juga: Fireworks Wednesday (2006): Letupan Berumah Tangga
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan