Review Film Monster (2023): Menyelaraskan Prasangka

0
165
Review Film Monster (2023): Menyelaraskan Prasangka

Kore-eda Hirokazu kembali membuat sinema bersama semilir angin Jepang yang serasa sejuk, tetapi masih menghangatkan dalam Monster (2023). Kini, ia mencoba mengambil isu yang lebih sensitif dengan melihat dari berbagai perspektif. Entah Anda akan terbawa dengan penceritaan dan penuansaan yang apik atau terusik dengan tema ceritanya, film ini menantang Anda untuk menyimaknya.

Sinema dalam beberapa tahun mungkin sedang asik membahas seputar pendidikan anak. Budi Pekerti (2023) karya Wregas Bhanuteja dan The Teachers’ Lounge (2023) karya Ilker Çatak memberikan perspektif modern tentang sulitnya guru dalam menjalankan profesinya. Dalam kedua film itu, dapat dilihat bahwa setitik nila bisa merusak susu sebelanga, baik itu di Indonesia maupun di Eropa.

Dari perspektif murid, kita mungkin dilanggengkan dengan high-school drama ala Hollywood yang berjaya pada era ‘90-an hingga 2000-an. Namun, jika menilik dari yang paling segar di mata sinema, sineas Belgia, Laura Wandel, mengutarakannya dengan fantastis dalam Playground (2021). Dari film tersebut, kita bisa melihat bahwa lingkungan sangat membelenggu anak untuk bisa berkomunikasi secara luwes.

Perspektif Baru Dicampurkan dengan Perspektif Lama

Dari memori sinema saya dalam beberapa tahun terakhir, belum banyak yang fokus terhadap sisi orangtua yang menghadapi kesulitan anaknya di lingkungan sekolah. Bagian pertama Monster yang ditulis oleh Yûji Sakamoto rasanya menjawab kekosongan tersebut. Kisahnya mengenai Saori Mugino (Sakura Andō) yang menduga guru di sekolah memengaruhi tingkah laku aneh anaknya.

Saori yang terlihat tenang menghadapi perilaku anaknya, Minato (Sōya Kurokawa), yang takbisa ia pahami mencari jawaban tersebut ke sekolah anaknya. Di sana, ia menemui kepala sekolah dan wali kelas anaknya yang menghadapi masalah tersebut dengan tindakan hampa dan normatif. Dengan akting brilian Andō, penonton pun digiring dengan prasangka bahwa kesalahan ada di sekolahnya yang menyebabkan tingkah laku aneh Minato.

Di bagian kedua, kita melihat cerita dari sudut pandang Michitoshi Hori (Eita Nagayama), wali kelas Minato yang diduga merundung muridnya tersebut. Di sini, kita ditimpa dengan beberapa fakta baru yang menghapus prasangka-prasangka kita sebelumnya saat disuguhkan sudut pandang Saori.

Dari sudut pandang Hori ini, Sakamoto dan Kore-eda mengkritik norma Timur yang kerap taklugas dalam berkomunikasi. Dalam menyampaikan kebenaran, banyak lapisan yang dipertimbangkan, mulai dari reaksi lawan bicara hingga reputasi. Kebenaran pun terbelenggu dan kebohongan jadi pilihan lebih mudah dan menenangkan.

Sosok Hori dan Andō sebagai orang dewasa awal menantang norma-norma berkomunikasi budaya Timur yang lebih mementingkan ketenangan semu ketimbang kebenaran keras. Perspektif kepala sekolah, Yūko Tanaka (Makiko Fushimi), yang membelenggu kebenaran dan memegang keras budayaTtimur demi kedamaian ditampilkan sedikit. Yūko yang seorang perempuan tua mungkin terlihat sebagai nenek tua yang jahat. Namun, Kore-eda berusaha sekuat mungkin untuk memanusiakannya, bahwa ia mungkin produk dari norma Timur yang membuatnya seperti robot: tanpa emosi.

Mendekati bagian akhir, film ini makin terdistorsi dengan budaya Barat. Sudut pandang kini fokus kepada Minato. Tingkah lakunya di sekolah perlahan disisir dan perilaku anehnya bersumber pada hubungannya dengan teman sekelasinya, Yori Hashikawa (Hinata Hiiragi). Mulai disinggunglah perilaku seksualitas anak dan ketertarikan mereka kepada sesama jenis.

Kore-eda menyampaikan kisah super-sensitif Sakamoto dengan berhati-hati. Ia membangun hubungan Minato dan Yori layaknya persahabatan anak-anak biasa. Lalu, perlahan-lahan, ada singgungan-singgungan yang mengarah kepada ketertarikan seksual. Bagian ini mengingatkan kita kepada Close (2022) karya Lukas Dhont. Walaupun unsur ketertarikannya lebih nyata dari Close, Monster mengambil jalan yang lebih tenang dengan akhiran yang lebih membahagiakan.

Bagaimanapun, nuansa menenangkan ala Kore-eda mengikis lugasnya pembahasan orientasi seksual dalam film ini. Fokusnya ada pada pencapaian penonton untuk mencari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran ini, Kore-eda mungkin terlihat berusaha terlalu keras untuk menyelaraskan prasangka-prasangka para karakternya dan menjadikannya protagonis. Diiringi dengan karya musik terakhir Ryuichi Sakamoto yang menghangatkan, mudah bagi Monster untuk menarik empati penonton.

Akhiran film ini pun memberi jawaban tentang isu reinkarnasi yang kerap ditanyakan Minato sejak awal film. Dalam keambiguan karakternya yang dilanda krisis eksistensial, Yori bertanya kepada Minato, “Apakah kita kini terlahir kembali?” Minato pun menjawab, “Tidak, kurasa kita hanya menjadi diri kita sendiri.” Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa budaya Timur melebur dengan budaya Barat yang lebih modern. Keduanya mungkin bertentangan dalam Monster, tetapi bukan berarti takbisa hidup bersamaan.

Infografik Review Film Monster (2023): Menyelaraskan Prasangka oleh ulasinema

Baca juga: Broker (2022) – Sajian Beda Kore-eda

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan