The Other Side of the Wind (2018): Curahan Hati Orson Welles Berkedok Film

0
1004
The Other Side of the Wind (2018): Curahan Hati Orson Welles Berkedok Film

Sineas kontroversial Hollywood, Orson Welles, kembali dari “pengasingannya” di Eropa dan coba menyusun film terakhirnya. Berkisah tentang hari terakhir dari seorang sutradara ternama, proses penggarapan film The Other Side of the Wind (2018) mungkin salah satu kisah sinema terunik sepanjang masa.

J.J. “Jake” Hanaford (John Houston) merupakan sineas unggulan Hollywood yang sedang memasuki fase akhir kariernya. Diberi tahu pada awal film, Jake meninggal dalam kecelakaan tunggal saat kendarai mobilnya. Ada juga yang menganggap ia bunuh diri.

Sebelum insiden tersebut, ia mengajak berbagai macam media untuk membuat dokumenter mengenai perayaan ulang tahunnya yang ke-70. Ia juga menayangkan potongan kasar dari filmnya yang juga berjudul The Other Side of the Wind (2018).  Dalam pesta di rumah Jake, mulai terkupas sosok sineas tersebut dari sudut pandang berbagai macam orang yang pernah bekerja dengannya.

John Huston dan Peter Bogdanovich dalam The Other Side of the Wind
John Huston dan Peter Bogdanovich dalam The Other Side of the Wind

Walau dianggap salah satu sineas terbaik, banyak yang menganggap karya Jake telah menurun, terutama absurditas dan keunikan sang sutradara yang membuat film tanpa skenario jelas. Apalagi, hubungan Jake dengan sineas muda yang bisa dibilang “penirunya”, Brooks Otterlake (Peter Bogdanovich). Keakraban Jake dan Brooks ternyata tak lebih dari sekadar bisnis semata.

Menonton The Other Side of the Wind (2018) rasanya tak cukup tanpa mempelajari lebih dalam kehidupan Orson Welles yang dilengkapi oleh dokumenter film ini, They’ll Love Me When I’m Dead. Dokumenter keluaran Netflix (yang juga menyelesaikan The Other Side of the Wind) ini bisa dibilang 40% membahas naik-turun karier Hollywood Welles dan 60%-nya membahas film produksi terakhir sineas ternama tersebut.

Perlu diingat bahwa produksi film ini sangat kompleks dan unik, bisa dibilang aneh. Welles memulai pengambilan gambar film pada tahun 1970, tersendat-sendat hingga selesai ambil gambar pada 1978. Untuk menyelasaikan pascaproduksi, penyuntingan gambar, serta pemasaran film, Welles kehabisan dana. Tarik-ulur produksi film ini bisa Anda saksikan lengkapnya di film They’ll Love Me…

Beban Citizen Kane yang Terus Dipikul Orson Welles Hingga Akhir
Wind bisa dianggap sebagai curahan hati, ramalan, dan amarah akhir dari karier aneh Welles. Sepanjang kariernya, Welles harus dibayang-bayangi oleh kesuksesan Citizen Kane (1941), film yang dianggap sebagian besar kritikus sebagai film terbaik sepanjang masa. Welles pun memikul beban bahwa film-filmnya pasca-Kane harus sebaik atau lebih baik; hal ini dianggap mustahil apalagi film tersebut dihasilkan pada awal kariernya.

Citizen Kane
Citizen Kane (1941): Karya film kedua Orson Welles yang dianggap sebagai film terbaik sepanjang sejarah Amerika.

Tak hanya beban dari media, Welles juga terbawa beban “Kane sehingga dirinya tak pernah puas dengan hasil karyanya sendiri. Hal ini berpuncak pada masuknya nama Welles ke dalam daftar hitam Hollywood. Sineas ini pun “mengasingkan” diri ke Eropa, kurang lebih sampai 20 tahun di sana. “Penyakitnya” yang selalu haus akan kesempurnaan karyanya masih terbawa. Produksi filmnya pun memakan biaya serta waktu sehingga hampir seluruh  karyanya di Eropa juga tak terselesaikan.

Pulang ke Hollywood, ambisius dengan proyek The Other Side of the Wind dan penyakitnya belum sembuh, Welles pun mencurahkan hal ini dalam filmnya yang menjadi ironis. Mengapa? Proyek Wind takrampung sampai Welles meninggal pada 1985 walau proses pengambilan gambar telah selesai pada 1978. Masalah dana menghambat biaya penyuntingan gambar, sama persis seperti film yang ia coba buat tersebut. Walaupun begitu, dalam filmnya, ada penghambat lainnya, yaitu kaburnya John Dale (Robert Random) – tokoh utama dalam film The Other Side of the Wind karangan Jake Hannaford.

Bahkan, dikatakan Peter Bogdanovich dalam They’ll Love Me… bahwa Welles tak punya keinginan untuk selesaikan filmnya, film terakhirnya. Ia mungkin merasa jika filmnya selesai, hidupnya usai. Lalu, proses film ini terjadi dalam rentan waktu yang lama, 15 tahun dari babak akhir hidupnya. Ditambah lagi, film terakhirnya yang bisa dikatakan “beres”, yaitu Touch of Evil yang rilis pada tahun 1959. Karya tersebut membuatnya didepak dari Hollywood karena studio menganggap hasil kasar filmnya sangat kacau.

Hubungan Unik Welles-Bogdanovich
Peter Bogdanovich, sineas yang namanya melejit karena film The Last Picture Show (1973), mengaku bahwa ide Wind mungkin berasal dari dirinya. Dalam They’ll Love Me…, Bogdanovich, yang saat itu masih jadi penulis muda, menceritakan kisahnya yang ingin membuat buku tentang Welles. Bogdanovich pun mainkan peranan yang persis dengan dirinya, penulis muda yang lapar akan kisah sineas tua.

the_other_side_of_the_wind_orson_welles
Kiri ke kanan: Huston, Welles dan Bogdanovich saat pengambilan gambar The Other Side of the Wind

Bagaimanapun, Welles tak suka dengan aksi Rich Little yang awalnya mainkan peranan Brooks Otterlake sehingga Bogdanovich pun gantikan peranannya. Uniknya, saat pengambilan ulang gambar, latar belakang Bogdanovich persis dengan Otterlake. Brooks, sineas muda yang namanya sedang melejit, kisahnya sama dengan Bogdanovich yang meledak karena The Last Picture Show.

Jake hanya anggap Brooks sebagai penjilat dirinya dan penghasil uang karena punya hubungan dengan petinggi studio besar Hollywood. Sementara itu, Welles kurang lebih punya hubungan sama dengan Bogdanovich. Welles awalnya suka pada kekaguman Bogdanovich akan dirinya, tetapi nama sineas muda tersebut menutupi dirinya. Welles pun iri walau tetap menggunakannya, dari numpang di rumahnya hingga kata-kata manis untuk dapatkan guyuran duit dari sineas yang sedang naik daun itu.

The Other Side of the Wind

Pada akhirnya, tak ada selebrasi apa pun dalam karya pamungkas Welles, Wind dan dokumenternya, They’ll Love Me.... Film pertama yang disebut tadi, Welles coba melihat dirinya dalam sudut pandang orang lain. Film kedua, orang lain coba melihat sudut pandang Welles tersebut dan memberikan pendapatnya. Kedua film juga jadi kedok balas-membalas curahan hati yang terhambat selama 40 tahun.

Baca juga: Soal Moral pada Film-Film Woody Allen

Penulis : Muhammad Reza Fadillah
Penyunting : Anggino Tambunan
Infografis : Dimas Basyaragil
Sumber Gambar : IMDb.com