The Boys selalu mendobrak batasan norma sinema: mulai dari darah dan daging yang bercipratan, hingga fetish seks paling aneh. Namun, bukan hanya visualnya saja, cerita karangan Eric Kripke ini juga mengobrak-abrik norma dasar kemanusiaan hingga sosial-politik. Pada musim keempat ini, Kripke makin liar mencampuradukkan kegilaan The Boys.
Kilas Balik Edgy-nya The Boys
Dari Flight 37 hingga Herogasm, The Boys selalu menemukkan cara untuk menghancurkan norma-norma sinema hingga manusia sendiri. Dari insiden Flight 37 yang terdapat di awal musim perdananya, kita disuguhkan dengan betapa kebaikan muncul demi menjaga citra diri manusia. Mereka pun selalu memberikan sajian kacau balau tentang anatomi manusia: darah bercipratan dan daging bertebaran. The Boys juga takmalu-malu dalam menampilkan ketelanjangan dan seks-seks liar seperti di Herogasm.
Bagaimanapun, yang membuat The Boys makin menarik ialah ceritanya. Di antara kegilaan-kegilaan tersebut, cara berkisah yang diberikan Kripke membuat kisah ini begitu menarik. Ada permainan perebutan kekuasaan yang menarik: kekuatan fisik para pahlawan super takmenjamin mereka dengan mudah menguasai dunia. Kehausan akan pengakuan dan dicintai oleh masyarakat membuat mereka harus berpolitik dan membangun citra diri.
Di situlah yang membuat The Boys selalu menarik. Grup The Boys yang terdiri dari Butcher (Karl Urban), Hughie (Jack Quaid), MM (Laz Alonso), dan Frenchie (Tomer Capone), selalu menemukan cara terlicik untuk melukai kumpulan adiwira paling perkasa, yakni The Seven yang dikepalai oleh Homelander (Antony Starr). The Boys seperti David yang licik dan penuh akal untuk memeras. Sementara itu, The Seven layaknya Goliat yang naif, tetapi punya kekuatan baik dalam fisik maupun pengaruh ekonomi dan politik.
Hal yang makin memperkaya The Boys ialah Kripke yang selalu menyiratkan peristiwa-peristiwa sosial-politik terkini dalam kisahnya. Pada awalnya, Kripke berimbang mengkritik dua sisi, kerap memberi satir kepada pemaksaan norma sosial dari liberal serta keloyalan bodoh kaum konservatif. Namun, seiring dengan berkembangnya cerita dan keruhnya kondisi politik di Amerika, sosok Homelander dijadikan citra Donald Trump.
Rasanya, semua ke-edgy-an yang dibangun di The Boys selalu meningkat dan pada musim keempat begitu kental. Ketika datang pertama kali pada musim pertama, serial ini bagikan angin keras yang mengejutkan kala persepsi akan antagonis dan protagonis diobrak-abrik. Dengan progresnya pada musim kedua, menampilkan sosok Nazi sebagai musuh utama mempermudah pemosisian antagonis dan protagonis. Musim pertama dan kedua fans masih meraba-raba dan membangun kesukaan akan serial ini.
Musim Keempat yang Orak-Arik
Musim ketiga, mulai terasa adanya perbedaan pendapat di antara fans karena ceritanya makin kelam dan Kripke selalu mencoba mendobrak struktur yang dibangun serial ini. Lalu, puncaknya pada musim keempat ini, kala fans makin sulit untuk menerima beberapa hal yang taksesuai dengan harapan mereka. Hal yang perlu diingat bahwa penulis ialah dewa dan Kripke punya hak untuk terus mengobrak-abrik serialnya ini. Lalu, yang perlu diingat bahwa ini adalah The Boys: serial yang selalu mengobrak-abrik dan mencoba menjadi sangat edgy.
Pada musim keempat ini, sayangnya banyak adegan yang terasa murah dan konstruksinya kurang matang. Apalagi, kisahnya justru terlalu terfokus kepada penderitaan demi penderitaan, baik itu sang protagonis, Hughie dan Butcher, maupun sang antagonis, Homelander. Terlalu fokus pada para karakter utama ditambah kurang banyaknya adegan yang melibatkan masyarakat besar membuat lingkup ceritanya terasa kecil. Padahal, pertaruhan musim ini begitu besar, yakni perebutan kekuasaan pemerintahan Amerika Serikat.
Bagaimanapun, sekali lagi, inilah The Boys. Dengan gayanya yang makin mendekati kualitas film-film kelas B, makin menjadi-jadi juga keunikan serial ini. Belum lagi, tegangan yang dibangun antara The Seven dan The Boys makin menarik. Rasanya, musim ini Kripke lebih banyak meracik dan merancang untuk mencapai klimaks pada musim penutup. Dengan memberi penderitaan dan permasalahan baru yang bertubi-tubi, akan ada banyak juga resolusi yang bakal hadir pada musim kelima.
Karakter-karakter yang Bikin Makin Kisruh
Beberapa karakter baru ditambahkan, terutama di anggota The Seven. Sage (Susan Heyward) merupakan “supe” yang punya kekuatan otak: ia orang paling pintar di dunia. Uniknya, untuk cerita yang banyak beradu taktik layaknya bermain catur, walaupun mainnya selalu berantakan dan asal-asalan, Sage menjadi karakter pandai pertama yang punya rencana utuh untuk mencapai kemenangan. Kehadirannya menciptakan keteraturan untuk menciptakan keos yang lebih besar.
Firecracker (Valorie Curry) juga menjadi salah satu tambahan menarik. Personanya mengingatkan kita pada penyiar terkenal AS yang kerap menyebar teori konspirasi, yakni Alex Jones. Selain itu, ada juga A-Train (Reggie Franklin) yang perlahan menjadi protagonis. Menarik disimak ke mana ia akan berpihak pada musim terakhir nanti.
Beberapa karakter ini membuat musim keempat ini makin mendekati realitas, terutama di AS yang sedang dalam masa pemilu ini. Sayangnya, Kripke mungkin kini terlalu keras mengkritik konservatif/republik dan berpihak ke liberal/demokrat. Padahal, pada musim-musim sebelumnya, ia sangat luwes mengejek kedua pihak, sehingga The Boys hanya terlihat sebagai serial yang menampilkan kekeosan Amerika.
Penurunan kualitas pada serial televisi mungkin lumrah terjadi. Apalagi, bagi The Boys yang kerap mengambil pilihan riskan, pasti akan membelah penonton setianya. Namun, Kripke tetap menunjukkan bahwa ia penulis yang baik. Bahkan, dalam musim keempat yang mungkin jadi terlemah sejauh ini, serial ini masih terasa apik, terutama di episode terakhir yang menjadi pengait solid untuk melaju ke musim penutup nanti.

Baca juga: The Bear Season 3 (2024): Resah & Gelisah
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan