Memasuki musim kedua dari pertempuran klan pengendara naga dan penguasa tujuh kerajaan, House of the Dragon menampilkan permainan politik yang hampir sekelas serial induknya, Game of Thrones. Karakter-karakter utama tampil memikat dan para naga membuat pertarungan makin seru. Namun, penulisannya kurang solid.
Musim kedua House of the Dragon berkisah tentang pertentangan sipil dari marga Targaryen. Perpecahan ini disebabkan oleh perkataan terakhir Raja Viserys (Paddy Considine) sebelum ajalnya. Viserys berkata bahwa Aegon akan menjadi pemimpin dan penyelamat. Alicent (Olivia Cooke) yang mendengar perkataan terakhir suaminya itu mengira bahwa anak putra pertamanya, Aegon (Tom Glynn-Carn), diminta untuk menjadi pewarisnya menggantikan Rhaenyra (Emma D’Arcy).
Konflik pun tak terelakkan. Aegon menjadi raja dalam semalam, sementara Rhaenyra menjadi oposisi yang takmemercayai proses perubahan kerajaan secara cepat tersebut. Perang pun pecah antarmarga Targaryen, pemimpin tujuh kerajaan, yang membuat seluruh Westeros terbelah dan pecah perang juga. Adapun bumbu yang makin membuat serial ini mungkin mempunyai nilai jual lebih dari Game of Thrones ialah adanya naga.
Dengan pecahnya perang sipil marga Targaryen, kita pasti mengharapkan adanya lebih banyak aksi yang dilakukan para naga. Namun, mengharapkan banyak aksi yang tersaji di sini mungkin sama halnya mengharapkan banyak aksi dari Game of Thrones, sebab yang membuat serial ini menarik ialah intrik politiknya. Segala ketegangan keluarga Viserys pada musim pertama memang makin tegang pada musim kedua.
Jika kita mengilas balik lagi pada musim pertama, House of the Dragon memang bukan awalan yang spektakuler. Banyak kerenggangan pada ceritanya saat penulisannya takmenelurkan hasil yang solid. Sepanjang musim pertama mungkin Daemon (Matt Smith) saja yang menjadi duri menarik, sementara konflik lainnya hanya seperti pertentangan remaja saja. Sisanya, akting apik dari Paddy Considine dan Rhys Ifans sebagai Otto Hightower menjadikan serial ini terasa lebih bagus dari kelihatannya.
Pada musim kedua, permainan catur dengan taruhan kekuasaan antara Rhaenyra dan Alicent membuat ceritanya lebih menarik. Emma D’Arcy sebagai karakter utama, Rhaenyra, menaikkan level aktingnya pada musim kedua ini. Karakternya menjadi jauh lebih kharismatik sekaligus berwibawa. Olivia Cooke yang jadi antagonisnya juga cukup apik. Yang berkurang mungkin Matt Smith, saat Daemon peranannya seperti kehilangan sentuhan keimpulsifan dan kemisteriusannya. Saat Daemon terombang-ambing dalam mimpinya, Smith pun hanya terbawa arus dan takajeg dalam memerankannya.
Kehadiran karakter-karakter lain yang peranannya makin besar pun membuat ceritanya lebih menarik dari musim perdana. Harry Collett sebagai Jacaerys menunjukkan kedewasaannya walau amarahnya masih menunjukkan semangat mudanya. Glynn-Carn sebagai Aegon terlihat lebih gila, kegilaan yang kerap kita temukan pada raja-raja yang tertekan akan kekuasaan. Di luar Targaryen, karakter menarik lainnya ialah Mysaria (Sonoya Mizuno) yang pengungkapan latar belakangnya membuat gerak-geriknya makin menarik.
Di antara karakter-karakter yang sebelumnya takbanyak bermain, tetapipada musim kedua makin menarik ini, Aemond (Ewan Mitchell) paling mencolok. Ia menjadi antagonis utama yang sempurna: ia bisa mengontrol amarahnya dan cerdik dalam melaksanakan taktiknya. Selain itu, naga yang dikendarainya juga naga terkuat di Westeros saat ini, Vhagar, pun menjadikannya pion berbahaya. Mitchell pun memerankannya dengan lihai saat sosok keras dan menakutkannya membuat gerak-geriknya selalu membuat kita bergidik.
Walaupun para karakter ini meramaikan permainan takhta dalam musim kedua ini, rasanya karakter mereka takterlalu menonjol. Hal yang membuat Game of Thrones spektakuler ialah adanya karakter-karakter seperti Baelish, Varys, Theon, dan Margaery di samping karakter-karakter utamanya yang kuat. Karakter-karakter yang seperti sampingan ini selalu punya strategi kuat untuk membuat permainan makin ramai. Kisah serialnya pun jadi terasa padat dengan hadirnya mereka.
Sayangnya, House of the Dragon takmampu membuat karakternya seapik serial induknya. Hadirnya sosok-sosok baru hanya seperti figuran yang membantu para karakter utama dan memperpanjang ceritanya saja. Mungkin, membangun serial bermusim-musim hanya didasarkan dari satu buku saja tidak cukup: ceritanya jadi berongga sehingga banyak memasukkan adegan-adegan konvensional. Hanya saja, kisah yang ditulis George R.R. Martin ini sangat menarik dan setidaknya House of the Dragon Season 2 ini cukup baik menghidupkannya, walau masih di bawah ekspektasi.
Baca juga: Review The Boys Season 4 (2024): Musim Orak-Arik dengan Pengait Kuat
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan