Review Film Leo (2023): Kupas Keresahan dalam Komedi Musikal

0
126
Review Film Leo (2023): Kupas Keresahan dalam Komedi Musikal

Setelah Eight Crazy Nights (2002) dan waralaba Hotel Transylvania (2012-2022), Adam Sandler kembali menjadi pengisi suara film animasi bertajuk Leo (2023). Ia turut menulis cerita film ini bersama Paul Sado dan Robert Smigel. Dalam bingkai komedi musikal, Leo membidik isu-isu substantif terkait dunia pendidikan, krisis eksistensial, dan masa kanak-kanak.

Film ini berpusat pada seekor tuatara, Leo (Sandler), yang tinggal dalam kandang di kelas yang sama selama 70 tahun. Hari-harinya diisi dengan mengamati tingkah anak-anak dan guru bersama sahabat kura-kura satu kandangnya, Squirtle (Bill Burr). Setiap kejadian di kelas menjadi pusat hiburan dan kelakar Leo-Squirtle.

Situasi berubah saat Leo merasa umurnya taklagi panjang. Ia dihimpit rasa sesal dan cemas sebab memandang hidupnya penuh kesia-siaan. Di waktu bersamaan, datang guru pengganti bernama Malkins yang menggemparkan seisi kelas lewat karakternya yang keras dan gaya didiknya yang otoriter.

Malkins menugasi setiap murid untuk membawa Leo ke rumah mereka secara bergantian. Informasi ini lalu dilihat Leo sebagai peluang untuk kabur dan menghidupi mimpi terbesarnya: hidup bebas di kawasan alam liar The Everglades.

Upaya Penorehan Makna dalam Kenangan

Dalam film ini, karakter Leo terlihat coba menorehkan kenangan terbaik sebelum waktu memanggilnya. Dia menakwilkan visinya ini dengan bermukim di The Everglades untuk menjalani sisa hidupnya sebagai tarantua secara utuh.

Namun, dalam upayanya kabur dari kejaran siswa-siswi Malkins, Leo justru menjumpai hal baru. Ada rasa bahagia penuh kehangatan yang ia temukan saat berinteraksi dengan anak-anak ini. Perasaan tersebut lalu menjelma jadi kompas hidup baru Leo: untuk dicintai dan dikenang orang-orang sekitarnya.

Ide penorehan makna dalam kenangan ini serupa dengan film Coco (2017) besutan Lee Unkrich. Dalam cerita film ini, usia roh di alam baka amat dipengaruhi jumlah manusia yang mengingatnya di dunia nyata. Kenangan menjadi buah eksistensi sebab hilang dalam memori manusia artinya hilang selamanya tanpa bekas.

Hal ini juga dimuat dalam film Leo, yakni tokoh Leo takingin dirinya “hilang” ditelan waktu tanpa meninggalkan kenangan. Menariknya, keinginan ini terbentuk dalam perjalanan spiritual tokoh Leo setelah ia melewati krisis. Motivasinya menjadi kian kokoh dan meyakinkan sebab lahir dari beragam guncangan konflik di sepanjang cerita.

Pemilihan latar sekolah juga memengaruhi cara pandang tokoh Leo terhadap hidupnya. Kecerdasan emosional tokoh ini didapat dari pengamatannya terhadap anak-anak selama 70 tahun di kelas. Namun, di sisi lain, suasana monoton kelas juga membatasi pengalaman Leo terhadap dunia di luar sekolah sehingga dirinya “haus” mencari arti hidupnya sendiri.

Elemen Musikal dan Visi Adam Sandler

Aspek musikal terasa dominan membingkai perjalanan karakter-karakter di film ini. Pengenalan tokoh murid-murid Malkins dan problem mereka, misalnya, sering kali dibalut lagu-lagu komedik yang dibawakan Sander dan aktor pengisi suara lainnya secara apik. Hal ini memudahkan penonton menyelami gejolak emosi dan pemikiran para tokoh.

Dalam sebuah wawancara di Variety, co-director film Leo, Robert Smigel, mengatakan Sandler berharap rupa akhir proyek ini seperti film Grease (1978) versi anak-anak. Smigel mengaku tertarik terhadap ide tersebut dan tampak memproyeksikannya saat melukis keresahan tokoh dalam balutan musikal.

Sebagian besar lirik lagu di film ini juga dibuat sedemikian rupa sesuai dunia dari kacamata anak-anak. Keresahan dan kepolosan tokoh terangkum dalam setiap baitnya sehingga kita bisa dengan mudah memahami konflik mereka secara komprehensif.

Pendekatan musikal juga menjauhkan karakter Leo dari kesan menggurui di sepanjang cerita. Lirik-lirik lagu tema yang kental dengan unsur jenaka ampuh menampilkan Leo sebagai tarantua bijak yang membumi. Penokohannya jadi kian terasa lebih berwarna dan segar.

Kuat dalam Penokohan Representatif

Salah satu tantangan dalam film fantasi adalah membuat ceritanya dekat dengan penonton. Leo berhasil menyiasati hal ini lewat penokohan representatif. Hampir setiap karakter yang muncul terasa mewakili berbagai problem dalam kehidupan nyata.

Sebagai contoh, tokoh Malkins secara hiperbolis merepresentasi sosok guru konservatif yang menjunjung gaya mengajar otoriter. Orang tua Jayda menggambarkan kaum menengah atas yang lekat dengan stigma mendobrak aturan semena-mena. Eli mewakili anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua protektif sehingga sulit menjalin relasi.

Melalui gaya penokohan ini, Leo mampu memangkas jarak antara karakter dengan audiens. Bahkan, film ini berhasil membuat karakternya dipahami dan dicintai. Penonton bisa bersimpati pada tiap-tiap tokoh dan berkompromi dengan unsur fantasi di dalamnya.

Penokohan representatif juga membuka ruang bagi Smigel, Sado, dan Sandler untuk mengkritik sejumlah isu substantif dalam dunia pendidikan, seperti proses pembelajaran yang terlalu berorientasi pada hasil serta kehadiran sosok anak emas dalam kelas yang dilatari hubungan khusus wali murid dan pihak sekolah. 

Sentil Beragam Isu Lewat Visualisasi Manis dan Jenaka 

Seperti yang disinggung sebelumnya, Leo menyentil sejumlah aspek dalam dunia pendidikan. Namun isu-isu yang disorot takhanya berkutat di sana saja. Ada pula topik lain seperti keresahan kaum lansia dalam “late life crisis”, duka anak dari keluarga “broken home”, serta kecemasan anak-anak pada masa transisi sekolah dasar ke menengah.  

Meski begitu, film ini tetap terasa ringan berkat suguhan visual manis dan jenaka yang menyegarkan mata. Pengisahan cerita yang diselipi unsur komedik ini menjadi amunisi andalan agar perhatian penonton terus terjaga hingga film usai.

Di akhir film Leo, penonton diingatkan pada ide pemaknaan hidup yang dapat digali dari ketulusan dan kebaikan sederhana. Segala rupa keresahan bisa diredam saat kita berupaya saling memahami dalam sebuah ikatan. Layaknya tokoh Leo, kita mampu menyiasati kefanaan dalam hidup lewat cinta yang terus bergulir dalam kenangan.

Infografik Review Film Leo (2023): Kupas Keresahan Komedi Musikal

Baca juga: Membangun Fantasi dari Kenyataan Masa Kini Bersama Pixar

Penulis: Farhan Iskandarsyah
Penyunting: Anggino Tambunan