Membangun Fantasi dari Kenyataan Masa Kini Bersama Pixar

0
1380
Membangun Fantasi dari Kenyataan Masa Kini Bersama Pixar

Berfantasi dengan medium film animasi memang bisa jauh lebih liar ketimbang membuat film aksi nyata. Film animasi lebih bebas berwarna-warni ria, menciptakan karakter-karakter serta latar tempat yang jauh dari kenyataan, hingga menghadirkan jalan cerita yang di luar nalar. Dengan segala kebebasan ini, film-film animasi Pixar justru sukses membangun fantasi dari kenyataan masa kini.

Disney dan Fantasi “Ideal” dalam Film-Film Animasi

Salah satu studio film animasi tertua yang hingga sekarang masih menjadi nomor satu, Disney, berpengaruh besar pada stereotipe dalam film-film animasi. Film-film animasi buatan Disney kerap kali dihiasi dengan petualangan fantastis dan dilengkapi dengan seni rupa yang kita lihat “ideal”. Selalu ada keindahan yang terlalu magis bagi dunia nyata dalam film-film animasi Disney. Lalu, ada juga tokoh utama yang sangat rupawan, memiliki paras dan tubuh ideal.

Dalam benak kita, film-film animasi Disney ini sudah menetapkan standar ideal bagi film-film animasi. Sebagian besar ceritanya didasarkan dari dongeng-dongeng masa lalu sehingga terasa jauh dari kenyataan pada masa kini. Dengan mengincar pasar anak-anak, film-film Disney yang kita terima pada masa kecil pun hanya menjadi fantasi, sekadar eskapisme dari sulitnya masa pertumbuhan.

Walaupun penuh hiburan dan sarat makna, ada penanaman idealisme yang cukup keliru oleh film-film animasi Disney. Adanya protagonis-protagonis yang sempurna dan cerita ala Cinderella, ketika keajaiban terjadi dalam proses cepat, hal ini dapat menanamkan pola pikir yang keliru bagi anak. Anak pun tumbuh mengejar fantasi-fantasi takmasuk akal tersebut yang pada akhirnya berakhir menjadi mimpi semata.

Hadirnya Studio Ghibli dari Jepang menimbulkan persaingan yang baik bagi Disney. Pendekatan-pendekatan dalam film-film animasi Ghibli takselalu mengejar keidealan. Bahkan, dalam salah satu film pertama mereka, Grave of the Fireflies (1988), terkandung realisme keras yang didasarkan dari peristiwa sejarah Jepang. Mereka juga banyak menggunakan karakter anak-anak yang terperangkap dalam dunia magis layaknya Spirited Away (2001). Dengan begini, ada kedekatan emosional yang lebih kuat dalam film-film Ghibli ketimbang Disney.

Studio Ghibli dan Disney mungkin tidak menimbulkan persaingan langsung. Pasalnya, Ghibli yang berbahasa Jepang mungkin pasarnya hanya eksklusif di Asia Timur saja. Apalagi, Disney hanya butuh sedekade untuk menjadi pendistribusi film-film Ghibli secara internasional. Mereka juga memiliki hak untuk menyulihsuarakan film-film Ghibli ke bahasa Inggris.

Toy Story oleh Pixar: Wujud Baru Film Animasi

Keberadaan Disney sebagai si nomor satu film-film animasi dapat ancaman paling besar dari Pixar. Studio film animasi ini hadir dengan model yang sebelumnya tidak pernah ada: film animasi tiga dimensi. Pixar pertama kali merilis film panjang animasi tiga dimensi dalam Toy Story (1995) yang mengubah dunia sinema, terutama bagi film-film animasi.

Animasi tiga dimensi yang dihadirkan Toy Story membuat masyarakat pada masa itu terkejut karena kenyataan yang dihadirkan. Detail desain visual animasi dalam film ini memukau. Selain latar daerah perumahan yang baik, ada detail hebat dalam karakter-karakter mainan yang hadir. Namun, yang diberikan film ini bukan hanya visual animasi tiga dimensi yang mendekati kenyataan saja, tetapi idealisme yang dibangun di belakangnya.

Dalam Toy Story, kita disuguhkan cerita tentang mainan-mainan seorang anak yang hidup. Dalam film ini, tidak ada kastil besar yang indah atau misterius, hanya ada rumah-rumah suburban saja. Tidak ada karakter-karakter magis yang tidak pernah kita jumpai di dunia nyata, yang ada hanya mainan-mainan sehari-hari yang hidup. Tidak ada juga kejadian-kejadian magis yang berbau sihir. Cerita malah berfokus pada persaingan dua mainan yang ingin jadi favorit pemiliknya.

“Mainan”, “anak” dan latar “rumah”, hal-hal yang sangat dekat pada kehidupan masa kini, tetapi dulu tidak dikira akan sangat berhasil bagi film animasi anak. Dari persepsi film-film animasi Disney yang dibahas di atas, hal yang dihadirkan Pixar dalam Toy Story begitu berbanding terbalik. Fantasi yang mereka bangun didasarkan dari realisme kontemporer, kenyataan yang terjadi pada masa kini, bukan pada masa lalu layaknya film-film animasi Disney.

Meminjam teori dari visual-arts-cork.com, realisme dalam seni merupakan upaya untuk menjauhkan dari kata “ideal” menuju hal yang biasa. Kata “ideal” sendiri tertanam dalam film-film animasi klasik Disney yang selalu ada kastil mewah, tokoh utama rupawan, dan kehidupan indah yang terasa seperti mimpi belaka. Sementara itu, Pixar dengan pendekatannya lebih realis, mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang paling dasar yang lebih dibutuhkan dalam pertumbuhan manusia.

Toy Story pun menawarkan relevansi pada esensi cerita yang lebih mudah dicerna dan diterapkan. Dikisahkan,Woody sebagai mainan yang difavoritkan terusik akan kedatangan Buzz Lightyear. Dilihat dari sudut pandang lain, mungkin kita bisa melihat persaingan antarsaudara. Kerap kali anak-anak kesulitan saat tidak lagi menjadi favorit karena orang tua lebih memerhatikan adiknya.

Kita melihat sosok Woody sebagai pemeran utama yang tidak sempurna. Woody egois dan ingin menang sendiri, bukan sosok superbaik yang hadir dalam film-film animasi pendahulunya. Tingkah yang dilakukan Woody kepada Buzz membuatnya sulit untuk disukai. Namun, jalan cerita yang ditulis John Lasseter, Pete Docter, Andrew Stanton dan Joe Ranft memberikan resolusi yang menarik.

Woody yang dikucilkan oleh teman-temannya merefleksikan perbuatannya buruknya. Ia pun coba menyelamatkan Buzz yang jatuh ke tangan Sid, anak yang berlaku kasar pada mainannya. Aksi Woody bukan semata untuk mengembalikan rasa percaya teman-temannya, tetapi atas dasar perasaan salah yang ia perbuat dan keinginan dari hati nurani untuk memperbaikinya.

Buzz pun tidak hanya diselamatkan Woody dari genggaman Sid saja, tetapi juga dari krisis eksistensinya. Ia meyakinkan Buzz (dari ribuan Buzz Lightyear lainnya) bahwa dirinya spesial karena ia milik Andy, seseorang yang akan melihatnya sebagai mainan yang spesial. Woody pun pernah merasakan hal yang sama saat eksistensinya terasa tergerus karena kedatangan Buzz, mainan yang lebih modern. Sungguh, resolusi yang absolut, menanamkan berbagai macam nilai kompleks bagi anak dengan cara yang mudah diterima.

Selalu Spesial dan Dekat dengan Kehidupan Masa Kini

Film Toy Story sendiri dibuat sekuel hingga tiga film dan masing-masing filmnya memiliki keunikan sendiri. Toy Story 2 (1999) membahas tentang eksistensialisme para mainan saat Andy taklagi tertarik memainkan mereka. Toy Story 3 (2010) merupakan perpisahan manis antara para mainan dan Andy. Lalu, seri terakhir, Toy Story 4 (2019), merupakan perpisahan Woody dengan identitasnya sebagai “mainan Andy” dan menjadi independen.

Pixar pun melanjutkan kegemilangannya menciptakan film-film animasi yang dengan mudah menyentuh hati para penontonnya. A Bug’s Life (1998) merupakan kisah fabel serangga, ide yang unik karena kehidupan binatang kelas ini jarang dibahas. Monster’s University (2001) merupakan pertama kalinya Pixar bermain dengan makhluk fantasi, dengan menggunakan latar kontemporer, tetapi sedikit futuristik.

Selanjutnya, ada Finding Nemo (2003) yang menjadi petualangan hebat, manis, dan indah. Film ini berkisah tentang seekor ayah ikan laut yang berusaha keras mencari anaknya hingga ke ujung samudera. Film ini pun memiliki bobot menarik dengan adanya kritik pencemaran lingkungan di lautan. Perkara mengenai pencemaran lingkungan semakin fantastis dibahas Pixar pada Wall·E (2008). Film tersebut dengan mudah mengajarkan kita dan anak-anak untuk lebih peduli dan mencintai bumi ini. Sementara itu, Finding Nemo sendiri dilanjutkan dengan Finding Dory (2017), lebih indah secara visual, tetapi bobotnya berkurang.

Setelah itu,The Incredibles (2004) menjadi awal Pixar menggunakan karakter utama manusia. Mereka menulis cerita dengan cermat, membahas kompleksitas keluarga yang dikemas dengan subgenre film yang mulai populer pada saat itu, yaitu pahlawan super. Kegemilangan Pixar pada dekade 2000 dilanjutkan dengan Cars (2006) yang memberikan kritik terhadap perkembangan transportasi.

Beralih ke Ratatouille (2007), Pixar memberikan drama yang begitu unik dan menarik. Ada kritik tentang kehidupan Paris yang elegan, tetapi berbanding terbalik dengan banyaknya tikus di sana. Film ini menarik karena dapat dengan detail membahas tentang kehidupan restoran dan bercampur dengan cerita fabel kontemporer. Dekade 2000 Pixar pun ditutup dengan Up (2009) yang coba mengartikulasikan ulang apa makna cinta dan kebahagiaan untuk orang berumur.

Jika film-film Pixar di atas terasa dekat dengan kehidupan kita, berarti sesuatu yang mereka ingin tuju memang berhasil. Dalam wawancara acara Tavis Smiley pada 2007, salah satu pendiri dan sutradara film-film Pixar, John Lasseter, mengemukakan formula kesuksesan kisah-kisah Pixar. Menurutnya, “(sebuah film) harus berkisah tentang pertumbuhan karakter utamanya dan bagaimana ia berubah. Itulah yang benar-benar menyentuh orang-orang.”

Dari pernyataan di ataslah kita mengetahui hal yang membuat film-film Pixar begitu hidup. Lalu, Lasseter menambahkan bahwa ia mengusahakan film-filmnya untuk dapat dikonsumsi oleh segala usia dengan kisahnya yang kompleks, tetapi mudah dimengerti juga oleh anak-anak. “Kami (pekerja Pixar) senang mengajak anak-anak kami ke bioskop. Sering kali filmnya sangat membosankan dan saya berkata, “saya tak ingin membuat film seperti itu,” pungkas Lasseter.

Masa Depan dan Regenerasi

Dengan dasar yang menjunjung kenyataan pada masa kini, fantasi yang ada dalam film-film Pixar menghadirkan warna menarik ke dunia sinema. Mereka menaikkan standar yang begitu tinggi terhadap film-film animasi, yang sangat sulit diikuti oleh para pesaing lainnya. Bahkan, pada dekade 2010, Pixar sendiri terlihat kesulitan mengikuti standar tinggi yang mereka ciptakan.

Ada beberapa film Pixar yang fantastis pada dekade 2010 layaknya Toy Story 3, Coco (2017) dan yang terhebat, Inside Out (2015). Film lainnya baik, tetapi kesulitan menggapai standar hebat Pixar tersebut. Yang terburuk mungkin dua sekuel Cars, Cars 2 (2011) dan Cars 3 (2017) yang dianggap gagal dari segi kualitas.

Selama ini, kesuksesan Pixar selalu didalangi oleh para petingginya yang juga menjadi sutradara film-filmnya, yaitu John Lasseter, Andrew Stanton, Pete Docter, Brad Bird dan Lee Unkrich. Lasseter saat ini sudah menghabiskan kontraknya dengan Disney setelah ada isu pelecehan seksual yang dilakukannya. Sementara itu, Unkrich juga keluar dari Pixar pada tahun 2019 untuk menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga.

Lain kisah dengan Bird dan Stanton, kedua sineas ini masih aktif, tetapi sering kali terlibat proyek di luar Pixar. Nama yang tersisa tinggal Pete Docter. Pada akhir tahun 2020 ini, Pixar akan merilis film Soul, film Pixar keempat yang disutradarai Docter. Harapan besar sepertinya ada di punggungnya untuk menentukan masa depan Pixar.

Sementara itu, regenerasi sudah mulai terlihat sejak dekade 2010. Nama-nama baru yang menjabat jadi sutradara sudah mulai terlihat: Mark Andrews dan Brenda Chapman untuk Brave (2012), Dan Scanlon untuk Monsters University (2013) dan Onward (2020), Peter Sohn untuk The Good Dinosaur (2016), Brian Fee untuk Cars 3,  dan terakhir Josh Cooley untuk Toy Story 4. Namun, mereka sepertinya masih butuh jam terbang untuk menyaingi para pendiri Pixar.

Bagaimanapun, regenerasi ini sangat vital, agar tidak terjadi kasus serupa layaknya Studio Ghibli. Studio animasi asal Jepang tersebut saat ini kesulitan setelah ditinggal dua pendiri mereka: Hayao Miyazaki pensiun, Isao Takahata wafat. Miyazaki sendiri dikabarkan sudah kembali dari pensiunnya dan tengah menggarap proyek film baru bersama Ghibli.

Harapan terlantun agar Pixar panjang umur dan kembali menghasilkan karya-karya hebatnya pada dekade mendatang. Semoga akuisisi oleh Disney pada tahun 2006 tidak benar-benar mengubah esensi dasar Pixar. Begitu juga dengan Studio Ghibli yang selalu berhasil menghadirkan kisah-kisah unik dari Jepang.

Infografik Membangun Fantasi dari Kenyataan Masa Kini Bersama Pixar oleh ulasinema

Baca juga: Rekomendasi Film Keluarga

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan