Dengan maraknya isu rasial yang terjadi di Amerika, terbesit di benak saya untuk menonton kembali salah satu film favorit saya, The Intouchables. Saya memilih untuk menghangatkan hati dengan cerita persahabatan teraneh yang mungkin pernah saya tonton.
Bukan, film ini bukan film Hollywood, bahkan bukan film berbahasa Inggris. The Intouchables mengambil latar tempat kota Paris. Diangkat dari kisah nyata, film ini bercerita tentang persabatan Philippe (François Cluzet), seorang miliuner kaya yang lumpuh, dengan Driss (Omar Sy), seorang imigran berkulit gelap yang baru saja keluar dari penjara.
Pertemuan tidak sengaja antara kedua tokoh utama ini dimulai ketika Philippe mencari seorang penjaga untuk merawatnya. Pada hari itu, cukup banyak pelamar dengan berbagai latar belakang, mulai dari seorang lulusan sekolah perawat hingga perawat profesional. Mereka semua tidak membuat Philippe terkesan.
Driss pun datang dan memaksa masuk dengan gaya berandalnya untuk mendapat tanda tangan sebagai syarat untuk mendapatkan tunjangan pengangguran. Dia sama sekali tidak berniat untuk menjadi penjaga Philippe. Entah bagaimana, Philippe terlihat menyukai karakter Driss yang slenge-an, kurang tata krama, dan relatif kurang terpelajar itu. Dia meminta Driss untuk datang keesokan harinya dan menjanjikan tanda tangan untuk mengklaim tunjangan pengangguran.
Alih-alih memberikan tanda tangannya pada keesokan hari, Philippe menawari Driss pekerjaan untuk menjadi penjaganya. Driss terkejut dan heran, tetapi menerima penawaran itu. Hari itu menjadi awal persahabatan aneh mereka.
Kisah persahabatan ini cukup unik sebab secara garis besar keduanya memiliki karakter, latar belakang, dan selera yang berbeda. Philippe merupakan seorang miliuner kaya yang tinggal di rumah megah; Driss merupakan seorang imigran dengan catatan kriminal yang tinggal di apartemen sempit bersama bibinya. Philippe merupakan seorang pecinta seni lukisan dan kata-kata indah, Driss bahkan tidak memahaminya sama sekali. Philippe penyuka musik klasik, Driss merupakan penggemar Earth, Wind, & Fire (grup musik R&B Amerika). Mereka berdua bagai dua sisi koin, bertolak belakang, tetapi saling mengisi satu sama lain.
Driss: Kau menyukai lukisan?
Philippe: Ya. Saya menggemari Raphael.
Driss: Saya lebih menyukai kura-kura ninja lainnya.
Banyaknya perbedaan di antara kedua karakter utama menyajikan banyak dialog berbeda konteks yang terjadi dan ditampilkan dalam banyak adegan. Seperti penggalan dialog di atas, seorang Philippe mengagumi Raphael, seorang pelukis kenamaan asal Italia dengan nama lengkap Raffaello Sanzio da Urbino. Sedangkan Driss menangkapnya lain dan mengira Philippe mengagumi Raphael, salah satu tokof fiktif dalam Teenage Mutant Ninja Turtles. Dalam film ini, perbedaan konteks di antara mereka selalu membuat saya tergelak; kepolosan Driss menjadi antitesis dari keseriusan Philippe.
Imajinasi saya terkadang melayang membayangkan bagaimana persahabatan aneh ini dapat terjadi. Jika menyelami karakter Philippe lebih dalam, dapat dikatakan ia merupakan seorang yang melankolis, dan jauh di dalam dirinya Philippe menyadari ia seorang yang kesepian, sangat kesepian. Di sinilah sekali lagi seorang Driss menjadi antitesis dari kesepian Philippe. Driss menjadi sahabat yang baik dan selalu membuatnya tertawa serta memperlakukan Philippe lebih dari seonggok daging yang takberfungsi sebagian.
Antoine: Orang-orang sepertinya, tidak mempunyai belas kasihan (pity)
Philippe: Itulah yang kumau, tanpa belas kasihan (pity)
Milan Kundera dalam novelnya The Unbearable Lightness of Being menulis bahwa kata pity” berkonotasi pada perasaan merendahkan si penderita. Seseorang dengan harga diri tinggi seperti Philippe tentunya tidak senang dengan kenyataan bahwa orang-orang memiliki belas kasihan terhadapnya, saya yakin Philippe paham betul akan makna dari kata ini. Driss memperlakukan dan merawat Philippe tanpa mengasihani Philippe, itu sudah lebih dari cukup bagi Philippe, ia sama sekali tidak peduli dengan asal-usul atau apapun tentang seorang Driss.
Saya rasa, Philippe memilih Driss sebagai penjaganya karena dia membutuhkan seorang sahabat alih-alih seorang pegawai. Philippe takingin merasa dikasihani, ia ingin diperlakukan sebagai manusia, belas kasih baginya merupakan sebuah siksaan. Driss, dengan baiknya memanusiakan Philippe, mendobrak dinding pembatas di antara mereka.
Memanusiakan manusia yang dilakukan Driss terhadap Philippe memiliki konteks yang erat dengan humanisme. Mengutip Endar S. Hendrikus dalam bukunya Humanisme dan Humaniora mempunyai pandangan bahwa humanisme, baik sebagai gerakan maupun sebagai aliran berpikir, menyimpan cita-cita dan usaha mendasar untuk menempatkan dan memperlakukan manusia secara lebih manusiawi. Dalam film The Intouchables, Driss menempatkan Philippe lebih manusiawi,terlepas dari konflik yang terjadi sepanjang film. Hingga perpisahan yang sebenarnya takmereka inginkan, mereka berdua selalu menyimpan kerinduan. Keduanya takpernah berhenti menyayangi satu sama lain.
Dalam kisah persahabatan lintas ras, status, dan kelas masyarakat dalam film The Intouchables, kita dapat melihat wujud paripurna dari konsep memanusiakan manusia. Di satu sisi, Philippe memanusiakan Driss tanpa melihat ras, status, dan masa lalunya. Di sisi lain, Driss memanusiakan Philippe tanpa mempedulikan kondisi tubuh dan kekayaannya. Di antara mereka, hanya ada persahabatan tulus antardua manusia.
The Intouchables mengajarkan banyak hal kepada kita. Film yang diangkat dari kisah nyata persahabatan lintas ras ini seakan menyadarkan saya bahwa harapan itu masih ada dan akan tetap ada. Pada hakikatnya kita adalah manusia dan sudah seharusnya kita sebagai manusia, memanusiakan manusia.
“I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character.”
Begitulah isi penggalan pidato Martin Luther King Jr. pada tahun 1963. Sekarang saatnya kita mewujudkan mimpi Martin Luther King Jr., dimulai dari diri kita sendiri, seperti halnya Philippe dan Driss mewujudkannya.
Baca juga: A Rainy Day in New York (2019): Realitas, Mentalitas dan Cinta
Penulis: Muhammad Adyataruna
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah