Danny Boyle dan Alex Garland kembali berkolaborasi dalam saga 28 Days Later (2002) yang telah ia tinggalkan selama 23 tahun, 28 Years Later (2025). Sama seperti 28 Weeks Later (2005), karakter-karakternya takada yang kembali. Namun, film ini kembali ke dunia yang sama saat tanah Inggris terjangkit virus yang kurang lebih membuat manusia menjadi zombi.
Di film ketiga dari saga 28 … Later ini, kita kedatangan protagonis baru dalam lelaki remaja 12 tahun bernama Spike (Alfie Williams). Ia tinggal di pulau terpencil dekat Pulau Britania yang menjadi tempat aman bagi sekelompok manusia untuk kembali memulai kehidupan. Hari itu Spike diajak ayahnya, Jamie (Aaron Taylor-Johnson), untuk menyentuh tanah utama untuk pertama kalinya sebagai salah satu proses pendewasaan masyarakat setempat.
Di sana, Spike diajarkan Jamie untuk membunuh zombi pertamanya. Namun, masalah menjadi rumit saat mereka bertemu dengan zombi Alfa yang bisa memimpin kelompok dan memiliki kekuatan fisik yang lebih. Hampir seharian mereka berlindung dari Alfa hingga pagi hampir tiba, mereka terpaksa kabur dan berlari ke gerbang utama. Alfa hampir menangkap mereka di depan gerbang, tetapi selamat berkat pertolongan warga.
Dalam perjalanannya, Spike melihat asap yang menurut ayahnya tempat tinggal seorang dokter gila Ian Kelson (Ralph Fiennes). Ide gila pun memasuki pikiran Spike, ia ingin membawa ibunya, Isla (Jodie Comer), yang punya masalah kesehatan dan memorinya terbatas. Spike pun melaksanakannya, tersulut dengan emosi setelah melihat ayahnya selingkuh.
Keputusan untuk membuat protagonis utama cerita dengan tokoh remaja berusia 12 tahun di tengah kiamat merupakan langkah berani dari Garland. Apalagi, ia harus membawa ibunya yang takberdaya di tengah serbuan zombi di tengah kemampuannya yang terbatas. Untuk membuat cerita terus berkembang, tokoh Spike harus tetap hidup dan beberapa keberuntungan menghampirinya.
Menerima satu keberuntungan mungkin wajar, tetapi mendapat tiga kali memang memberikan kesan fiksi. Keberuntungan pertama Spike agak janggal, sebab kita melihat karakter Isla yang tiba-tiba keluar dari karakternya. Keberuntungan keduanya saat diselamatkan Erik (Edvin Ryding), tentara asal Swedia paling masuk akal.
Sayangnya, Erik yang sempat mendapatkan adegan perkenalan di luar cerita utama justru takbertahan lama. Mungkin, tujuan adegan Erik dan pasukan NATO yang akhirnya tewas semua, ingin memperkenalkan antagonis utama, yakni Alfa lainnya yang diberi nama “Samson” (Chi Lewis-Parry) oleh Kelson. Tetap saja, petualangan Erik dan pasukan NATO pun terasa menjadi subplot yang tanggung.
Di keberuntungan ketiga, Spike dan Isla yang baru menyelamatkan seorang bayi dikejar oleh Alfa Samson diselamatkan oleh Kelson. Sang dokter menembakan peluru bius yang langsung efektif menghentikan gerakan zombi tersebut. Namun, anehnya, Kelson taklangsung menggunakan cara serupa pada adegan akhirnya bersama Spike saat dikejar lagi oleh Samson. Mereka pun sempat tersudut walau akhirnya Spike yang menembakan panah bius tersebut ke Samson.
Setelah semua kegemuruhan, sekuen menjadi lebih intim saat Spike dan Isla memasuki kuil Kelson. Sang dokter yang tadinya dianggap aneh karena mengumpulkan dan membakar mayat-mayat ternyata melakukannya untuk membangun kuil penghormatan yang terdiri dari tulang-belulang dan tengkorak-tengkorak. Untuk manusia normal, sulit untuk menerima kegilaan kuil ini, tetapi rasanya Spike sudah menerimanya begitu saja demi menyelamatkan ibunya.
Garland mencoba memasukkan unsur filosofis penuh sentimen di kuil ini. Tubuh Kelson yang berwarna oranye karena ia menggunakan iodin membahas tentang memento mori. Adegan ini ingin membangun rasa simpati penonton untuk membuat sosok Kelson lebih diterima penonton. Namun, tetap saja sulit menerima Kelson. Belum lagi pada adegan puncak saat Spike ikut “tergilakan” dan mencium tengkorak ibunya yang baru meninggal.
Sentimennya sebenarnya cukup terasa dan dengan akting hebat dari Williams dan Comer, penonton tersentuh. Sayangnya, di tengah latar aneh tulang-belulang tersebut, ada perasaan mengganjal sehingga emosi kita takbisa terpenuhi. Mungkin, di tengah latar apokaliptik yang terbangun, memang perasaan aneh seperti ini yang ingin diwujudkan.
Secara keseluruhan, untuk ukuran film zombi, Boyle mengambil jalan yang lebih minimalis dan intim dengan mengambil latar di daerah terpencil. Adegan ayah dan anak berburu di tengah hutan mengingatkan kita kepada keindahan Leave No Trace (2018) karya Debra Granik. Sayangnya, keindahannya rasanya takbisa ditangkap dengan maksimal karena kualitas ponsel iPhone 15 masih terasa terbatas jika ditampilkan di layar lebar.
Dengan menggunakan kamera ponsel tersebut sebenarnya Boyle bisa banyak bereksperimen dan menampilkan gaya yang unik. Beberapa tembakan gambarnya takkonvensional: asimetris dan miring yang mengingatkan kita ke gaya Boyle tahun 2000-an atau gaya Guy Ritchie di Lock, Stock, and Two Smoking Barrels (1998). Tembakan statis dengan perlengkapan kamera yang memutar menambah variasi gaya film ini.
Hal-hal ini melengkapi gaya 28 Years Later (2025) yang membuat Boyle menonjolkan sisi auteur-nya. Gaya ini mungkin bisa disukai, terutama yang menyukai film-film Inggris ala Boyle atau Guy Ritchie, tetapi bagi saya sulit. Film ini pun jauh dari blockbuster konvensional sebab produksinya terasa minimalis, tetapi di satu sisi terasa megah juga. Walau mungkin sulit diterima khalayak, takbisa dimungkiri bahwa Boyle dan Garland ciptakan sesuatu yang berani dan unik di sini.

Baca juga: The Last of Us Season 2 (2025) – Terasa Inkonsisten
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Farhan Iskandarsyah