Review Film F1 (2025): Hiburan Kisruh

0
5
Review Film F1 (2025): Hiburan Kisruh

Untuk memperluas merek dagangnya, olahraga balap papan atas, Formula One, menciptakan film F1 (2025). Film ini pun menggaet Joseph Kosinski untuk jadi sutradara. Menariknya, Brad Pitt didapuk sebagai aktor utama, umur uzurnya takcocok dengan olahraga yang dipenuhi oleh orang dewasa muda.

Perluasan Merek Dagang

Sejak kemunculan Drive to Survive yang melihat di balik layar dan mendramatisasi persaingan para pembalap, Formula One menjadi olahraga terdepan yang mengglobal dengan pendekatan film. Dampaknya pun signifikan, olahraga ini kembali menggaet penggemar muda. Bahkan, mereka menambah demografi baru dari melesatnya penggemar baru dengan gender perempuan. Salah satu caranya ialah menaikkan pemerekan para pembalap dan pimpinan tim mereka.

Keberhasilan ini mungkin membuat mereka melihat lebih jauh dalam meluaskan merek dagangnya. Film Hollywood pun dibuat, bekerja sama dengan Apple dan Warner Bros., blockbuster untuk menarik penonton baru dipersiapkan. Kosinski sebagai sutradara dan penulis skenario juga bekerja sama dengan Ehren Kruger yang juga menemaninya dalam Top Gun: Maverick (2022). Uniknya, mereka menggaet Pitt sebagai aktor utama.

Dramatisasi Berlebihan?

Pitt berusia 61 tahun dan di cuplikan pemasaran film, muka tuanya tidak ditutup-tutupi. Dalam cuplikan tersebut pun dijelaskan bahwa Pitt memerankan Sonny Hayes yang merupakan pembalap Formula One pada tiga puluh tahun lalu. Ia pernah menghadapi pembalap legendaris seperti Ayrton Senna dan Michael Schumacher, nama-nama pembalap papan atas pada tahun 90-an. Seiring cerita pun dijelaskan bahwa Sonny kecelakaan parah di Grand Prix Spanyol pada tahun 1994 hingga menyebabkan tubuhnya takberaturan.

Ruben Cervantes (Javier Bardem) sahabat satu tim Sonny pada masa lalu, kini bertindak sebagai pemilik tim khayalan APXGP F1, menawarkannya membalap lagi. Ia membawa nama Louis Chiron yang memenangi Grand Prix Monako pada tahun 1955 di usia 55 tahun untuk membuat karakter Sonny masuk akal. Jika dikalkulasikan pada umur termuda tanpa mengikuti umur Pitt, Sonny kira-kira berusia sekitar 50-an awal. Ini pun dengan asumsi bahwa ia alami kecelakaan pada umur 20-an awal, umur lumrah buat para pembalap yang memulai karier di Formula One. Namun, dengan tingginya tuntutan fisik olahraga ini pada zaman sekarang dan melihat kondisi Sonny yang selamat dari kecelakaan parah, rasanya kisah ini sangat mustahil.

Bagaimanapun, film Hollywood memang butuh bumbu spesial saat kita sedikit melupakan tentang realisme. Hadirnya Sonny dengan usia uzur di olahraga anak muda ini mungkin membuat karakternya tidak bisa kehilangan apa-apa lagi dan menjadikannya lebih habis-habisan. Romantisasi terhadap orang tua seperti ini serupa dengan karakter Maverick di film Kosinski sebelumnya Top Gun: Maverick.

Sonny pun akhirnya balapan dengan APXGP yang sepanjang musim belum mendapatkan satu poin pun. Agar Ruben selamat dari kebangkrutan dan bisa menyelamatkan dan menjaga timnya, tim APXGP pun harus setidaknya menang sekali. Mengingat kualitas kecepatan mobil ini dari yang diceritakan, rasanya mustahil untuk menang. Namun, cerita underdog yang tiba-tiba jadi pemenang memang sangat menarik. Di Formula One aslinya pun kita pernah lihat hal ini terwujud saat McLaren yang tadinya di papan bawah klasemen naik jadi pesaing pada tahun 2023.

Dalam beberapa balapan pertama, kita melihat cara mengemudi Sonny yang ugal-ugalan. Dia beberapa kali melakukan cara cerdik untuk membantu rekan setimnya, Joshua Pearce (Damson Idris), meraih posisi. Jika cerita sungguhan, Sonny rasanya sudah kena diskualifikasi, tetapi di film ini dia tidak mendapatkannya. Ide gila Sonny sempat membantu Joshua, tetapi ide gila tersebut malah menjadi petaka bagi rekan setimnya itu.

Dengan Joshua yang alami kecelakaan, kini Sonny mengambil alih pembalap utama tim. Ia pun tak serta-merta langsung menjadi juara, tetapi perlahan mendapatkan poin dan mulai bersaing untuk raih podium. Kedatangan Sonny pun membawa angin segar bagi tim, adegan ia lari mengelilingi sirkuit bersama kru jadi pemanis yang oke. Ia pun terlibat asmara dengan direktur teknik tim, Kate McKenna (Kerry Condon), suatu hal yang sangat Hollywood.

Setelah Joshua kembali, persaingan dengan Sonny pun kembali. Walaupun Sonny sebelumnya menolongnya, tetapi kearoganan Joshua sulit untuk diterima. Persaingan dengan pembalap satu tim memang lumrah di Formula One, tetapi fluktuasi hubungan Sonny-Joshua agak aneh.

Di bagian akhirnya, sudah bisa ditebak keduanya bekerja sama. Di balapan pamungkas, Sonny yang mulai di posisi ke-20 bisa menyusul dan kerja sama dengan Joshua untuk raih kemenangan. Mungkin kita sudah menebak jika salah satu dari mereka ada yang menang untuk memberikan akhiran positif bagi film ini. Namun, sebagai penggemar Formula One, pergerakan mobil Sonny & Joshua terasa mustahil.

Walhasil, Hiburan Solid

Memang sulit untuk menyenangkan semua orang, terutama penggemar garis keras, dan kita pun harus menerima bahwa film F1 (2025) ini memang fiksi. Walaupun terlihat sangat dramatis, film ini sebenarnya membahas beberapa hal teknis yang baik buat Formula One seperti penggunaan ban yang tepat, pentingnya perancangan aerodinamis, hingga pembahasan slipstream & udara kotor. Hadirnya beberapa pembalap Formula One asli pun menambah rasa otentik dari film ini.

Balapan terakhir di Yas Marina jadi klimaks yang dramatis dan menghibur. Putaran terakhirnya terasa magis, mewujudkan mimpi dari Sonny yang merasa “terbang” saat ia bahagia berbalapan. Secara teknis pun hampir tanpa cela. Penyuaraannya dahsyat dan tekstur kamera IMAX kembali menunjukkan tajinya. Pada akhirnya, memang film F1 (2025) jadi hiburan yang solid, walau dari segi balapannya masih kisruh.

Baca juga: Review Film Top Gun: Maverick (2022) – Meledak di Udara

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Farhan Iskandarsyah