Review Film The Black Phone (2021)

0
297

Taklanjut memegang sekuel Doctor Strange, Scott Derrickson kembali ke asalnya dengan menyutradarai film horor, The Black Phone. Dengan konsep unik dan Ethan Hawke sebagai antagonis utama, film ini menghadirkan nuansa horor klasik. Sayangnya, ada beberapa hal yang kurang maksimal.

Derrickson merangkai awalan cerita dengan sangat ciamik. Dengan perlahan, ia mengenalkan sosok Finney (Mason Thames), anak remaja awal yang kerap dirundung oleh teman-temannya. Selain itu, pembangunan beberapa karakternya juga sangat apik. Madeleine McGraw yang berperan sebagai Gwen, adik Finney, selalu mencuri dan menguasai setiap adegan yang ia miliki.

Dikisahkan Gwen merupakan seorang anak yang memiliki kekuatan supernatural. Ia bisa melihat kejadian-kejadian di tempat lain saat sedang bermimpi. Kali ini, ia mendapat penglihatan tentang penculikan anak remaja tanggung yang meninggalkan balon hitam. Walaupun berbau mistis, Derrickson nampaknya kesulitan, atau mungkin enggan terlalu mendalam di area ini.

Tokoh menarik lainnya ialah ayah Finney dan Gwen, Terrence (Jeremy Davies), orang tua keras, pemabuk, dan kasar. Sifatnya ini diperdalam dengan kehilangan istrinya yang memiliki kemampuan serupa dengan Gwen. Karakter-karakter ini dan beberapa karakter lainnya pun begitu menarik. Masing-masing dari mereka diberi perjalanan yang menarik dan akhiran yang sepadan, terutama Terrence.

Di sisi pengenalan cerita, skenario yang ditulis Derrickson dan C. Robert Cargill menguatkan latar belakang tokoh-tokohnya ini. Suasana kehidupan remaja awal pada era ‘70-an di suburban Amerika Serikat dihidupkannya dengan kuat terlebih dulu. Terornya pun ditebar dengan lembut untuk membangun suasana mencekam nantinya.

Selain itu, tensi awal film yang dibangun dengan halus tiba-tiba dikejutkan dengan adegan penculikan Finney. Film yang tadinya cukup eskploratif dalam menjelajahi lingkungan suburban kini hanya terperangkap dalam rubanah gelap dengan ukuran sedang. Kemudian, teror utama datang, ialah sang Penculik bertopeng iblis.

Sementara itu, nama yang belum disebut ialah Ethan Hawke yang menjadi nilai jual utama The Black Phone ini. Sebagai yang utama, Hawke sebenarnya takbanyak tampilkan wajahnya. Sebagian besar adegannya memakai topeng dan ia harus tampil mengintimidasi lewat nada dialognya dan gerak tubuhnya.

Dalam nada dialognya sebagai sang Penculik, Hawke menyuarakan kompleksitas karakternya yang mentalnya terusik. Ia memainkan nada malu, bingung, lalu meledakkan amarah dengan jernih. Gerak tubuhnya memang minim, tetapi ada satu adegan sempurna ketika ia mengangkat dan membuka kedua tangannya ke samping wajahnya.

Walau apik, Hawke sebenarnya takbenar-benar memberikan penampilan yang sangat spesial. Karakternya unik, tetapi takkan menjadi faktor utama pendorong kita ke bioskop. Hal terbaik dari cerita di rubanah datang dari telepon genggam berwarna hitam yang kabelnya terputus.

Telepon hitam, yang jadi judul film ini, ternyata bisa menangkap gelombang elektromagnetik dari arwah-arwah gentayangan. Unsur mistis masuk dalam The Black Phone. Arwah gentayangan, atau hantu ini, datang dari anak-anak yang dibunuh oleh sang Penculik. Tujuan mereka ternyata unik, menyelamatkan Finney karena ingin membalas dendam kepada Penculik.

Bantuan dari para hantu tersebut memang kreatif dan cukup untuk membuat Anda tetap duduk pada setengah akhir film. Yang disayangkan, mungkin, dalam ruang yang sempit tersebut, beberapa momen terkesan agak repetitif, terlalu berlama-lama sehingga sedikit membosankan. Hal yang menjaga tensi kita mungkin beberapa jumpscare yang terlalu tiba-tiba dan takdibangun dengan manis.

Sementara itu, bagi penonton, mungkin, pencarian Finney yang dilakukan oleh polisi dan Gwen terasa menarik. Tokoh anak perempuan ini lagi-lagi bersinar dengan candaan-candaannya. Sayangnya, pada setengah akhir ini, penuansaannya agak terkesan datar sehingga kita kurang merasakan desakan dari Finney yang sebenarnya di ambang kematian. Penyelesaian akhirnya pun cukup cepat bagi rintangan yang terasa susah-susah gampang.

Bagaimanapun, poin utama Derrickson mungkin bukan untuk menebar ketakutan dan membuat penonton tegang selama 100 menit. Dari awal, pesan film disuarakan jelas dengan salah satu teman Finney, Robin Arellano (Miguel Cazarez Mora). Sang karakter utama harus membela dirinya sendiri dalam situasi paling genting.

Dengan memasukkan nilai kecil ini, lalu mengulanginya lagi pada adegan klimaks membuat pesan yang disampaikan cukup jelas. Dengan begitu, pembangunan pada awal cerita menjadi sangat berarti walaupun pada akhirnya rintangannya terlalu lama dan repetitif. Keseluruhan, The Black Phone hadir sebagai ide horor segar di tengah badai saga.

Infografik Review Film The Black Phone (2021)

Baca juga: It Follows (2014) – Seks Sebagai Medium Pembebasan Diri

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan