Sebagai sutradara pilih tanding, Christopher Nolan tidak membebani diri untuk terus memproduksi sebuah film tiap tahun dengan kualitas receh. Misalnya Dunkirk (2017), naskah yang ditulis oleh Nolan sendiri telah dirampungkan sejak 2015. Jika pada masa lalu Nolan telah menggarap film bertema pahlawan super (trilogi The Dark Knight), antariksa (Interstellar), detektif (Insomnia), dan eksplorasi fiksi-sains (Inception), Dunkirk berbeda. Film yang rilis pada Juli 2017 ini menjadi karya pertama Nolan yang berasal dari kejadian nyata dalam lintasan sejarah.
Pantai Dunkirk di Prancis merupakan palagan yang menyaksikan ratusan ribu prajurit Inggris dan sekutu mereka berjuang mempertahankan hidup hanya demi satu misi: pulang karena kalah perang. Implikasi peristiwa ini tidak hanya sekadar menciptakan letupan yang membuat Winston Churchill diingat sebagai Perdana Menteri Inggris paling heroik, tetapi juga mempertegas poros pertarungan Perang Dunia II yang akan berlangsung beberapa tahun kemudian. Peran Churchill dalam peristiwa ini dapat dilongok di Darkest Hour (2017), sebuah film biopik tentang pergulatan politik pada masa-masa genting evakuasi Dunkirk.
Dalam era milenium, kisah Dunkirk secara sekilas telah ditampakkan pada adegan pamungkas Atonement (2007). Karakter utama, Robbie Turner (James McAvoy) menjadi salah satu prajurit yang gagal “pulang” bersama manusia-manusia nelangsa di bibir pantai. Melalui Dunkirk, Nolan berusaha menarasikan sembilu serupa dengan ramuan tiga pemosisian latar yang berbeda. Plot melompat-lompat semacam inilah yang membuat Nolan ditandai para produser sebagai jaminan mutu.
Ramuan khas semodel plot mimpi empat lapis di Inception (2010) dipakai kembali. Kali ini, pemisahan plot ditera secara tegas pada awal menjadi tiga: kegetiran ribuan prajurit di bibir pantai, keruwetan pertempuran jet di langit, serta heroisme sipil kala menyeberangi lautan. Tiga plot ini tidak hanya dibagi menurut latar tempat, tetapi juga latar waktu. Perbedaan waktu seminggu di darat, sehari di laut, dan sejam di udara nyatanya mampu ber-interkoneksi pada akhir cerita. Alur yang memusingkan ini telah dikecap penggemar sejak karya-karya Nolan terdahulu dan telah mendapat julukan sendiri: Nolan’s time.
Meski bergenre film perang, tak terlihat upaya glorifikasi Inggris sebagai pemenang perang, sebagaimana pedoman “formula Hollywood” dalam film-film perang lainnya. Dengan menempatkan kerinduan prajurit dan keberanian warga sipil menerjang Selat Dover sebagai bangunan utama rasa emosional dalam film ini, rasa “saling memiliki” barangkali menjadi penyebutan paling tepat sebagai motif narasi Dunkirk. Para prajurit ingin pulang ke rumah, tempat yang ingin mereka datangi sesudah bertempur, dan sebaliknya, warga sipil merasa berutang budi pada para prajurit tersebut, dan berusaha menebus utang tersebut dengan menjemput mereka.
“Orgasme emosional” barangkali dicapai saat ratusan kapal sipil jumpalitan menembus ombak di Pantai Dunkirk dan Komandan Bolton menyahut, “(Itu) Rumah.” Benar, seperti halnya film-film Nolan sebelumnya, kita selalu dihanyutkan dengan membuncahnya keinginan untuk “pulang”.
Banyak reviewer mengatakan kita perlu menonton Dunkirk (2017) di studio dengan penataan suara mumpuni. Walaupun belum berkesempatan mengicip di studio IMAX—mengingat di kota saya studio mahal itu belum jua dihadirkan, telinga dan bulu roma saya cukup sensitif untuk merasakan desingan peluru dan kebisingan mesin jet. Saya berasumsi ada dua penyebab mengapa Dunkirk lebih mengena dari sisi tata suara ketimbang film-film Nolan lainnya.
Pertama, rangkaian scores dari Hans Zimmer betul-betul padu dengan sinematografi. Komposer langganan Nolan itu menggunakan elemen detikan jam dari jam saku sang sutradara untuk meracik score “Supermarine”, yang dengan telak mampu menyeret penonton ke kokpit jet tempur. Yang kedua sudah pasti berasal dari kekolotan Nolan menggunakan efek praktikal ketimbang memberdayakan CGI. Practical effect yang dihasilkan dari pesawat yang benar-benar dijatuhkan dari udara (bukan animasi komputer dan akibatnya, tak ada dentuman sintetis) selain menghasilkan realitas gambar, juga menciptakan suara yang benar-benar nyata dan menyayat. Percayalah, benturan antara tubuh pesawat dengan laut tenang atau jeritan peluru saat menembus kapal karam tempat prajurit bersembunyi sanggup membuat kuduk meringis.
Namun, seperti yang diulas Ardyan M. Erlangga di Mojok.co, Nolan selalu punya problem kambuhan. Adegan baku tembak jet cenderung berulang-ulang tanpa ada koreografi lebih lanjut. Dunkirk juga menghilangkan kesempatan penonton untuk menyesap emosi lebih lama. Bagaimana tidak, banyak adegan-adegan yang seharusnya membuat penonton menangis, atau sekadar mengingat kematian, menjadi terlupa sebab layar segera dialihkan ke adegan pertempuran di tempat lain. Tempo cepat yang diinginkan Nolan memiliki konsekuensinya tersendiri. Detik ini kita menyaksikan prajurit tenggelam, lalu detik berikutnya kita berkejaran dengan peluru.
Bagaimanapun, performa Fionn Whitehead amat menawan untuk ukuran pemuda yang menjalani debut film besardan akting Mark Rylance tak pernah mengecewakan. Saya tantang Anda untuk menonton film ini, lalu bisukan suaranya, matikan takarirnya, kalau perlu menyetel mode hitam putih, lantas cermati. Adakah film yang punya kekuatan bercerita sebesar Dunkirk sehingga kita mampu menjadikannya nirsuara, tetapi tetap mampu mencernanya?
Angkat topi untuk Nolan. Saya bertepuk tangan begitu credit scene tergerai.
Baca juga: 10 Film Terbaik 2017 versi ulasinema
Artikel ini merupakan artikel kiriman pembaca ulasinema. Anda bisa kirimkan artikel ke alamat surel ulasinema@gmail.com.
Penulis : Muhammad Najmul Ula
Penyunting : Muhammad Reza Fadillah
Sumber Gambar : IMDb.com