Setahun setelah merilis Siksa Kubur (2024), Joko Anwar takmemadamkan baranya dan langsung membakar bioskop dengan intensitas tinggi Pengepungan di Bukit Duri (2025). Menceritakan tentang konflik rasial antara pribumi dan Cina Indonesia, Anwar ciptakan tegangan hebat dengan kompleksitas karakter yang konkret. Film ini mungkin jadi karya terbaik sang sineas sejauh ini.
Dalam Indonesia fiktif karangan Anwar di Pengepungan di Bukit Duri, rasanya perkara konflik horizontal antara pribumi dan Cina Indonesia dari tahun 1998 belum selesai. Bahkan, dalam cerita yang dibuka tahun 2009 ini, masalahnya makin memanas. Edwin, seorang anak SMA keturunan Cina, berada di tengah-tengah konflik ini.
Kerusuhan pada 2009 dalam dunia film ini diceritakan menjadi paling panas sepanjang sejarah negara. Sepulang dari sekolah, kakak Edwin, Silvy, ditarik oleh massa dan hendak diperkosa. Edwin yang mencoba melerai dipukul dan terjatuh pingsan. Sesudah ia bangun, kakaknya telah tiada, hanya tersisa pakaiannya saja.
Maju ke tahun 2027, Edwin yang kini telah dewasa (diperankan oleh Morgan Oey) mengunjungi Silvy yang sakit parah. Permintaan terakhir Silvy adalah meminta Edwin mencari keponakannya yang sejak kecil telah diasuh oleh orang lain. Untuk mencapai tujuan ini, Edwin pun keliling mengajar SMA dan sampailah ia di tujuan terakhirnya, SMA Bukit Duri.
SMA Bukit Duri berdiri di bangunan yang bobrok dan kotor. Anak-anaknya pun terlihat takbisa diatur dan bengal, gambaran kecil dari distopia Jakarta dalam benak Anwar. Di sana, Edwin dihadapi oleh Jefri (Omara Esteghlal), jagoan di sekolah yang kerap memukuli “babi”, sebutan bagi etnis Cina Indonesia dalam film ini, bersama gengnya.
Tensi tinggi hubungan Edwin dan Jefri berujung ke didepaknya sang murid dari sekolah. Jefri yang takterima dengan hal ini mengajak gengnya untuk mengepung Edwin beserta Diana (Hana Malasan), yang juga guru di SMA Bukit Duri, serta Kristo (Endy Arfian) dan Rangga (Fatih Unru), yang juga murid di sekolah. Seiring dengan pengepungan geng Jefri ke Edwin dkk., kerusuhan kembali pecah.
Di sinilah Anwar benar-benar mempertontonkan kemampuan menulis ceritanya, lalu membangun dan mengeskalasi konflik menuju klimaks dalam penyutradaraannya. Ada negosiasi menarik dari pihak antagonis dan protagonis bak negosiasi polisi dengan penyandera. Awalnya, negosiasi ini dilakukan dengan hati-hati. Penyebabnya ialah keinginan Anwar yang sepertinya mau tetap memegang nilai norma dan tidak memudahkan bunuh-membunuh walaupun kekerasan telah bertebaran.
Negosiasi ini pun memberikan sisi yang menarik. Kita melihat protagonis yang bengis dan naif, takubahnya seperti antagonisnya juga. Hal yang membedakan mereka mungkin sebatas siapa yang memukul duluan. Ini pun jadi hal penting untuk menghidupkan bahwa protagonis yang kita bela ini ada di sisi baik dan normatif.
Di sisi lain, Anwar juga sedikit membuka masalah tokoh Jefri yang disiksa oleh orangtuanya sehingga ia menjadi petasan bersumbu pendek yang meledak-ledak. Di sini Anwar coba memainkan moralitas tentang anak-anak SMA yang gagal diasuh oleh orangtuanya. Anak-anak bengal yang tadinya kta lihat sebagai antagonis lurus kini berkelok-kelok, ada kompleksitas baru yang bisa menarik empati penonton.
Saat emosi anak muda takterbendung, tensi pun pecah dan akhirnya kekerasan takbisa dihindari. Kita pun melihat kelihaian Anwar dalam mengemas aksi penuh ketegangan. Koreografi pemainnya di satu sisi memang terlihat terstruktur, bagus buat estetika, tetapi mengurangi nilai realitas saat karakter-karakternya tidak dideskripsikan sebagai petarung andal.
Dalam pertarungannya pun Anwar masih bermain-main dengan moralitas dengan menampilkan keraguan dari kedua kubu karakter. Morgan pun tampil apik, ia bisa menampilkan karakter yang tegas dan bengal, tetapi juga penuh kasih. Selingan-selingan kecil ini yang memanusiakan film ini. Namun, saat antagonis utama sudah gelap pemikirannya, tiada lagi resolusi selain bunuh-membunuh. Sebagai antagonis utama, Esteghlal tampil brilian, tatapannya punya kegelapan yang mendalam dan kebengisannya membuat ia kharismatik.
Memang, masih ada beberapa adegan yang terlalu naif dan dialog-dialog selingan yang bisa dipoles lebih baik. Seperti biasa, Anwar pun mengakhiri filmnya dengan menggantung yang sedikit mengurangi kesolidan filmnya. Namun, semenjak The Raid (2011), rasanya tidak ada film Indonesia yang menampilkan ketegangan seintens Pengepungan di Bukit Duri (2025). Konfliknya pun dapat mencerminkan situasi di Indonesia dan nilai moral yang dikandung dalam bentuk kesalahasuhan orangtua menciptakan kompleksitas yang elok. Film terbaik dari Joko Anwar sejauh ini.

Baca juga: Review Joko Anwar’s Nightmares and Daydreams (2024)
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Farhan Iskandarsyah