Dalam film Perang Kota (2025), Mouly Surya mengadaptasi novel sastra klasik Mochtar Lubis berjudul, Jalan Tak Ada Ujung (1952). Surya menggaet Chicco Jerikho (sebagai Isa), Ariel Tatum (Fatimah), dan Jerome Kurnia (Hazil). Film ini berkisah tentang situasi tegang pasca-kemerdekaan Indonesia pada tahun 1946.
Sama seperti novel Jalan Tak Ada Ujung, film Perang Kota (2025) berlatar di Jakarta pasca-kemerdekaan, tahun 1946, ketika tentara Belanda datang menumpangi pasukan Inggris yang dibantu juga oleh tentara India. Karakter-karakternya pun sebagian besar sama dan latar belakangnya pun hampir serupa. Mulai dari Isa, seorang guru musik yang membantu perjuangan; Fatimah, istri Isa berusia lebih muda yang tidak puas secara seksual karena kekurangan suaminya; dan Hazil, sahabat Isa yang juga lebih muda dan juga pejuang kemerdekaan.
Serupa juga dengan novelnya, adegan awal langsung intens. Tembak-tembakan terjadi saat tentara India yang dikepalai oleh Inggris dan Belanda, menyerbu sebuah gang di Jakarta. Masih ada perbincangan beberapa orang di warung kopi Pak Damar dan situasi tegang di warung Baba Tan. Namun, dari awal sudah jelas bahwa Surya membuat beberapa perbedaan dari novel ke filmnya.
Hal pertama yang kita lihat adalah mudahnya Isa dalam mencuri buku pelajaran dari sekolah tempat ia mengajar. Di novel, Isa banyak berpikir dan ragu-ragu dalam melakukan tindakan kejahatan, tetapi di sini dia tegas. Benar saja, sepanjang film pun karakter Isa dengan pergulatan batin serta ketakutannya menghadapi peperangan tidak hadir. Isa di Perang Kota seorang pemberani, berbadan kekar, dan hampir tiada keraguan dalam pikirannya. Pemilihan Jerikho sebagai Isa jika berdasarkan novel memang kurang pas, tetapi Isa dalam film ini pas diperankannya.
Berlanjut ke adegan intens di gang, di novel tujuan utama pasukan penjajah menyerang di sana berbeda dengan di filmnya. Kalau di novel untuk menjemput orang Indo yang merasa terancam, sementara di film karena ingin menangkap Baba Tan karena dianggap berbahaya. Lanjut di adegan film ini pun ditunjukkan bahwa Isa terlibat dalam baku hantam dan membunuh orang, sesuatu yang ia takkan ia lakukan di novel. Fatimah pun tiba-tiba memegang senapan dan menembak mati tentara dari India, hal yang bahkan mustahil ada di novel.
Dari sini pun kita telah mencapai konklusi bahwa Surya menciptakan sendiri versi ceritanya, terlepas dari progresi novel karya Lubis. Wajar saja jika ia menggunakan titel Perang Kota dalam filmnya ketimbang ikut judul novelnya, Jalan Tak Ada Ujung. Memang ada beberapa plot kunci yang serupa, mulai dari adanya perselingkuhan hingga peristiwa pelemparan granat, sampai akhiran dari kisah Isa. Namun, selebihnya cukup berbeda.
Dalam Jalan Tak Ada Ujung, kita melihat banyak sisi manusiawi ketimbang sarat aksi. Ketakutan Isa jadi fokus cerita. Di Perang Kota, aksi lebih ditawarkan untuk lebih menghibur mata. Tampilannya pun sangat necis dan tata produksinya hampir sempurna. Rasio 4:3 pun membuat film ini terasa lebih klasik, dengan tekstur dan pewarnaan gambar sangat manis menciptakan karya neoklasik yang indah. Beberapa pergerakan kamera pun cemerlang. Keindahan visual film ini pun sedikit mengingatkan kita kepada First Cow (2020) karya Kelly Reichardt, yang bisa kita sebut sebagai film dengan visual terbaik dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada adegan akhirnya.
Sayangnya, kita terasa kehilangan sosok Isa yang ada di novel, pergulatan batinnya, ketakutannya yang membuat ia terasa lebih manusiawi. Perubahan Isa pada filmnya dapat dipahami dan bisa dimengerti dengan hadirnya banyak aksi. Namun, selain kesulitannya menghadapi perselingkuhan, takbanyak perjalanan karakter Isa. Adegan akhirnya memang ditembak dengan indah dan mungkin perwujudan solid dari adegan akhir yang digambarkan Lubis. Akan tetapi, karena minimnya perjalanan Isa, liberasinya jadi kurang terasa. Demikian juga Hazil dalam film ini porsinya jadi sedikit karena sifat-sifatnya yang mengeskalasi konflik di novel telah diambil oleh Isa.
Bagaimanapun, dalam adaptasinya, Surya benar-benar berhasil menghidupkan karakter Fatimah. Di novel, ia hanyalah seorang istri yang selingkuh dan enggan melayani lelakinya. Namun, di film, ia siap melayani suaminya dan mau berjuang, walaupun melakukan kesalahan juga yang membuatnya lebih manusiawi. Dalam penghidupan tokoh Fatimah ini, Surya menegaskan kembali pentingnya visi pencerita dalam menghidupkan karakter dari berbagai gender. Tema Jalan Tak Ada Ujung milik Isa dalam novel pun dipindahkan ke Fatimah, bahwa perempuan kerap menjalani penderitaan lebih panjang akibat kehilangan suaminya pasca-perang. Tatum pun jadi aktris yang pas memerankannya dan di beberapa adegan, permainan pianonya mencerminkan dengan baik betapa bagusnya ia berperan.
Walhasil, mengharapkan Perang Kota sebagai adaptasi utuh dari Jalan Tak Ada Ujung merupakan bekal yang salah dalam memasuki bioskop. Ada baiknya sebelum menonton, kita terima dengan pikiran kosong agar dapat disuapi dengan visi Mouly Surya. Perubahan karakter Isa jadi poin krusial yang menghilangkan esensi cerita, tetapi Surya berhasil ciptakan film dengan visual luar biasa dan esensi baru yang ia hadirkan pun cukup solid.

Baca juga: Pengepungan di Bukit Duri (2025) – Terbaik dari Anwar
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Farhan Iskandarsyah