Beau Is Afraid (2023): Teror yang Menggedor!

0
372
Beau Is Afraid (2023): Teror yang Menggedor oleh ulasinema

Berangkat dari penggarapan film-film pendek, Ari Aster ialah sineas yang “panjang akal”. Pembuktian tersebut maujud kembali dalam karya teranyarnya: Beau Is Afraid (2023). Kali ini, ia mengeksplorasi ketidakterjelaskannya ketakutan.

Sebagian ide film ini sebenarnya sudah pernah tertuang pada film pendeknya yang berdurasi 7 menit dengan judul serupa, Beau (2011). Dikisahkan niat pria paruh baya mengunjungi ibunya tertunda sebab kunci rumahnya hilang secara misterius. Lalu, rangkaian kejadian “takterjelaskan” menerornya, baik dari orang asing atau makhluk misterius.

Dua belas tahun berselang, pada film panjang teranyarnya yang berdurasi hampir 3 jam ini, tokoh Beau diperankan Joaquin Phoenix. Pemilihan ini agaknya tepat mengingat Phoenix sudah terbiasa dengan penokohan yang “kacau”. Ia pernah memerankan Freddy dalam The Master (2012) garapan Paul Thomas Anderson dan Arthur dalam Joker (2019) arahan Todd Phillips. Kedua tokoh tersebut memiliki isu kesehatan mental dan gagal bermasyarakat.

Selain keterlibatan Phoenix, keberhasilan dua film sebelumnya, Hereditary (2018) dan Midsommar (2019), cukup membuat film ternyarnya ini dinantikan. Musababnya, kedua film ini menawarkan kisah yang khas: tabrakan yang logis dan takhayul. Hereditary berkisah sebuah rahasia keluarga turun-temurun yang menyeramkan: perjanjian terlarang dengan “makhluk gaib”. Adapun pada Midsommar, muda-mudi terjebak dalam ritual persembahan yang mengerikan di sebuah desa terpencil.

Berbeda dengan dua film sebelumnya, dalam Beau Is Afraid Ari Aster tidak mengambil latar hal mistis dalam membangun ruang kisah. Kita tidak diberi penjelasan yang cukup mengenai Beau, baik narasi ataupun pengadeganan. Mula adegan diawali sudut pandang kita sebagai Beau yang keluar dari tubuh ibunya. Kita mendengar ketakutan ibunya, sekaligus kejengkelan ibunya pada suaminya yang dianggap takbecus. Lalu, pecah tangis ketakutan pertama Beau di dunia yang akan dijalaninya memulai kisah ini.

Mula adegan ini masih menyiratkan ciri khas film-film Ari Aster yang memuat isu hubungan domestik: kompleksitas keluarga, terutama anak laki-laki dengan ibunya. Hal ini sebenarnya termuat juga pada film pendeknya, Munchausen (2013). Dalam film ini, ketidakrelaan seorang ibu akan kepergian anaknya yang taklagi bergantung padanya menyebabkannya nekat membuat anak semata wayangnya jatuh sakit agar selalu di sisinya. Adapun pada The Strange Thing About the Johnsons (2011), anak laki-laki dan ibunya berebut cinta atas pria yang sama: kepala keluarga mereka, sang ayah. Puncak perseteruan berujung pada perkelahian yang “sadis”.

Dalam film ini, Beau digambarkan sebagai “anak kecil” dengan tubuh setengah baya. Ia selalu tunduk dan mendengarkan perkataan ibunya yang membesarkan seorang diri. Walhasil, kabar kematian ibunya pada ujung gagang telepon membuatnya terguncang hebat. Cuplikan mimpi-mimpinya saat kanak-kanak pun muncul kembali, termasuk pertanyaanya akan kebenaran kabar ayahnya: apakah ayahnya telah mati saat ia bayi atau masih hidup. Realitasnya inilah yang menjadi induk ketakutannya.

Dalam sebuah adegan, sebab rasa penasarannya akan ayahnya, ibunya memintanya naik ke atas loteng—sesuatu yang takpernah ia lakukan—untuk mengetahui kebenaran atas masa lalu. Di sisi lain, muncul adegan yang menyiratkan bahwa ibunya mencintainya dengan syarat, bukan dengan cinta yang tulus. Alhasil, Beau merasa bahwa ia selalu mengecewakan ibunya. Kasih ibunya pun menjelma benci yang tiada putus. Di samping itu, muncul mimpi bahwa ibunya menganggap kehadiran kekasih Beau mengancam dirinya serupa film pendeknya, Munchausen.

Hubungan yang kompleks ini nyatanya dihadirkan dengan alur yang longgar dan “belingsatan”. Perjalanan Beau ke rumah duka terganjal kepingan-kepingan mimpi yang menakutkan, misalnya hadirnya keluarga asing yang merawatnya selepas insiden penabrakan dan keterlibatannya dalam pementasan drama eksperimental di dalam hutan. Mungkin, hal ini akan membuat penonton amat kebingungan. Namun, plot yang “patah-patah” ini pangkal sensasi yang unik, serupa tipografi puisi yang bentuknya “nyeleneh” meski isinya takterjelaskan.

Sementara itu, perjalanan ini juga mengajak penonton untuk mendekonstruksi tokoh Beau. Beau digambarkan sebagai tokoh yang tak percaya diri dan gamang akan berbagai tindakan yang dipilihnya alih-alih mengeluhkan akan segala isi kepala. Seakan-akan “kesalahan” berada selangkah di depannya, bahkan untuk keputusan-keputusan yang kecil. Selain itu, ketakutan-ketakutannya menjelma rentetan peristiwa absurd, misalnya ia merasa orang-orang asing, termasuk gelandangan, berniat membunuhnya tanpa alasan yang takterjelaskan, kematian dapat disebabkan ia takminum obat dengan air, dan kekasihnya menjadi patung saat berhubungan badan dengannya.

Keanehan-keanehan ini mungkin dapat dikaitkan dengan terma Kafkaesque: istilah yang muncul dari kecenderungan tokoh-tokoh karangan penulis Jerman, Franz Kafka. Kafka menghadirkan “kurewetan hidup” tokoh-tokohnya dalam keseharian dan ketersiksaannya menghadapi mimpi-mimpi absurd. Yang mewakili hal ini adalah karangannya yang ikonik, The Metamorphosis (1915). Sang tokoh mendapati dirinya bangun dengan kondisi sebagai serangga dan terjebak dalam kamarnya.

Di sisi lain, ketakutan-ketakutan Beau dikemas dengan nuansa komedi. Salah satunya, Aster menggali komedi dari alat vital. Ide ini sebenarnya pernah ia coba pada film pendeknya, The Turtle’s Head (2014). Dikisahkan seorang detektif mendapati alat vitalnya taklagi berereksi. Berbagai jalan pintas yang ditempuhnya dan keresahannya pangkal komedi. Selain itu, secara lebih lugas, ia pernah membuat film pendek tentang eksperimen pada kelamin pria, TDF Really Works (2011). Hal ini juga ditampilkan dalam film ini, bahkan lebih komikal. Di loteng misterius yang kerap muncul pada mimpinya saat kanak-kanak, Beau mendapati monster berbentuk kelamin pria yang multitafsir.

Terlepas dari itu, apabila ditarik dari sisi yang luas, ketakutan-ketakutan Beau merupakan gambaran manusia dalam menjalin kehidupannya. Kecemasan dan kebingungan dapat mencengkram alam sadar manusia. Ketakutan akan esok yang misterius pun dapat mewujud pada mimpi-mimpi yang absurd. Pada beberapa waktu, ketakutan yang timbul takterjelaskan dan terus menghantui manusia.

Walhasil, eksperimen yang ditampilkan Ari Aster pada film ini merupakan maujud dari ide-ide sebelumnya yang makin “diliarkan”. Bentuk-bentuk penceritaan yang takumum menyiratkan ketekunan Aster dalam menyajikan cerita. Aster memang belum sampai pada “puncaknya”. Ekspektasi kita akan terus menderanya, apalagi setelah menyaksikan film ini. Mungkin, salah satunya, kita berharap sebuah kisah yang singkat waktu, tetapi dalam ide serupa film-film pendeknya terdahulu.

Infografik Beau Is Afraid (2023): Teror yang Menggedor oleh ulasinema

Baca juga: Midsommar – Memahami Dunia Samar

Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah