Melalui karya terbarunya, Midsommar, Ari Aster, menegaskan kegagalan manusia modern dalam memahami kebudayaan yang mengakui “Dunia Sana”. Tabrakan cara pandang yang logis dan takhayul menjadi benang merah kisah ini. Ide tersebut “menjebak” kita dalam kebingungan sekaligus ketakutan.
Ide menabrakkan yang mistis dan logis dalam medium film bukan sesuatu yang baru. Ide ini cenderung ditarik ke dalam film bergenre horor atau thriller. Ada beberapa film keluaran studio A24 yang juga menerapkan ide ini. Dua film yang mewujudkannya, yaitu The Killing of Sacred Deer (2017) dan Hereditary (2018).
The Killing of Sacred Deer menabrakkan dunia medis dengan kutukan yang dianggap takmasuk akal. Dr Steven Murphy, dibantu beberapa dokter spesialis, takmampu mendeteksi kelumpuhan tiba-tiba yang dialami anaknya. Di sisi lain, Dr. Steven pernah diancam keluarga pasien bahwa anaknya akan mengembuskan napas dalam waktu dekat sebagai bentuk pembalasan kesalahan Steven pada masa lalu.
Adapun dalam Hereditary (2018), yang juga digarap Ari Aster, kita mendapati misteri perjanjian Annie dengan makhluk lain. Annie, tokoh utama, mengalami kesedihan tidak berkesudahan: ibunya wafat dan anaknya mengalami “guncangan”. Rasa keputusasaan menuntun Annie yang takpercaya dengan “Dunia Sana” mulai mencari tahu lebih. Ia memulai ritual dan menyakinkan keluarganya yang menganggapnya takwajar.
Pilihan ide ini tidak terlepas dari upaya pengarang cerita menirukan realitas yang ada di masyarakat modern. Masyarakat modern memilih enggan memahami simbol atau realitas yang berasal dari “Dunia Sana”, sebuah realitas yang takbisa dibuktikan secara empiris. Keengganan tersebut membuka jurang dalam untuk memahami “Dunia yang berada di sana”.

Midsommar: Mistis dan Logis
Film ini berlatar musim panas di Swedia. Hampir sepanjang hari matahari menerik, terang jadi lebih panjang. Empat mahasiswa antropologi dan seorang mahasiswa psiklogi—dengan alasan liburan dan mencari bahan tesis—tiba di sebuah entitas terisolasi. Mereka menemukan kebudayaan yang unik: pakaian yang serbaputih, rangkaian bunga di kepala, guratan simbol-simbol di dinding rumah, nyanyian, dan produk kebudayaan yang dianggap asing.
Dalam pengisahan, Christian dan Dani menjadi fokus cerita. Sepasang kekasih ini pergi ke Swedia lebih untuk berlibur sebab Dani baru mendapat “guncangan” hidup. Josh dan Mark berencana membuat tesis sekaligus bersenang-senang. Salah satu dari mereka yang juga penduduk asli, Pelle, memandu perjalanan. Mulanya mereka terkagum-kagum dengan penduduk asli tempat Pelle bermukim. Namun, lambat laun keanehan mulai bermunculan dan menghantam nilai moral yang mereka amini.
Sepanjang film, kita akan mencoba memahami cara pandang masyarakat yang tak umum dan ritual-ritual yang “aneh”. Salah satunya adalah ritual mengorbankan jiwa pada bagian awal yang menghantam telak nilai yang ada pada tokoh sekaligus kita. Pembiaran orang lain untuk “bunuh diri” kita cap sebagai sesuatu yang tidak pantas. Namun, hal tersebut tidak berlaku di kampung tersebut.
Kejadian tersebut tidak sampai membuat mereka kabur. Malah sebaliknya, ada rasa ingin tahu lebih untuk mengabarkan keunikan yang mereka temui pada masyarakat luas. Hal tersebut digambarkan tokoh Josh. Ia bersemangat untuk mentransliterasi “kitab suci” penduduk kampung tersebut dan memahaminya secara utuh. Insting antropolognya bekerja. Begitu juga yang dirasakan Christian yang juga tengah kebingungan mencari topik tesis.
Berbeda dengan Josh dan Christian, Mark digambarkan sama sekali tidak peduli dengan masyarakat yang ia kunjungi. Ia tidak memiliki niatan dan kesabaran untuk mempelajari tingkah laku dan kebudayaan di kampung tersebut. Penghayatan penduduk kampung terhadap “Dunia Sana” tidak Mark indahkan dan tak ia maknai. Bentrok cara pandang mulai terjadi antara pendatang dan pendiam kampung.

Kegagalan mereka dalam memahami komunitas tersebut serupa kita yang enggan menangkap simbol adanya “Dunia Sana”. Kausalitas yang ketat menyebabkan beberapa dari kita menyampingkan “Dunia Sana”, bahkan menghilangkan dugaan-dugaan mistis dalam memaknai hidup. Beberapa dari kita menuntut segala hal dapat dijelaskan secara logis meskipun ia sangat abstrak, misalnya cinta, kejahatan, dan ketakutan.
Simbol-simbol yang terdapat dalam film bukan hanya aksara yang asing, melainkan juga segala tingkah laku tak umum yang dihasilkan dari penduduk kampung. Apabila kita menganggap mereka primitif dan belum dimerdekakan secara akademis, makna dari kebudayaan mereka tidak kita dapati. Cara yang dilakukan tokoh, terutama Josh, dianggap tepat, yakni ikut merasakan menjadi penduduk kampung. Namun, setelah menghayati jadi penduduk, Josh belum sempat memaknainya ulang dari cara pandang modern.
Pemaknaan ulang belum didapat sebab usaha pemahaman barulah sampai ikut merasakan. Sekelompok mahasiswa tersebut belum sampai mereproduksi makna baru dari cara pandang modern. Barangkali Ari Aster menuntut kita mereproduksi makna baru dari aksi “kebrutalan” di desa tersebut. Reproduksi diserahkan kepada penonton dalam memaknai tabrakan realitas “Dunia Sini” dan “Dunia Sana”.
Di sisi lain, Ari Aster secara gamblang menunjukkan bahwa kita mustahil memahami “Dunia Sana. Dalam memaknai “Dunia Sana”, kita tidak akan menemukan makna yang sebenarnya, yaitu makna objektif. Hal yang kita dapat lakukan, yaitu mereproduksi makna sesuai kebutuhan masyarakat modern.

Sumber Gambar: IMDb.com
Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah
Infografik: Farhan Iskandarsyah