Review Film The Killer (2023): Letusan Peluru Kosong

0
139
Review Film The Killer (2023): Letusan Peluru Kosong

Tiga tahun selepas merilis Mank (2020), masih bekerja sama dengan Netflix, David Fincher kembali dengan karya teranyarnya, The Killer (2023). Film yang dibintangi Michael Fassbender dan tayang perdana di Festival Film Venesia ini agaknya menghadirkan dua sensasi: agak terhibur atau tertidur.

Konflik kisah bermula kala “si pembunuh” gagal menuntaskan misi krusial di Paris: targetnya lolos, pelurunya takbersarang di kepala. Dengan lekas, hukum “dunia kejahatan” pun bekerja. Kekasihnya, yang berada nun jauh, diserang secara misterius dan dirawat dengan luka serius. Dimulailah aksi balas dendam si tokoh atas pihak-pihak yang bersembunyi atas penyerangan tersebut.

Pada kisah ini, Fincher menghadirkan penokohan yang khas dan kukuh. Sejak mula adegan, si pembunuh—diperankan oleh Fassbender—punya dalil bahwa manusia mesti memaksimalkan free will dalam setiap keputusannya. Hal ini terlepas mana yang baik dan yang buruk—serupa penokohan Joker (2019), garapan Todd Phillips.

Pembunuh—yang nihilis dan skeptis—ini takpercaya bahwa kebenaran dapat ditegakkan di dunia. Keadilan pun merupakan impian yang utopis. Gagasan ini membuat tokoh frustrasi saat mengeyam pendidikan di jurusan hukum. Lantas, ia merasa bahwa dirinya dapat mengambil semua konsekuensi—serupa penokohan Prof.  Abe dalam film Irrational Man (2015), dosen filsafat yang berniat membunuh orang takdikenal sebagai bentuk eksistensi mendahului esensi.

Dengan penokohan serupa itu, “si pembunuh” coba merasionalisasikan segala hal. Kebenaran pun dapat “mekar” dari jalan pikir yang runtut dan logis. Kala melaksanakan aksinya, ia menyingkirkan rasa empati pada dirinya, “Forbid empathy. Empathy is weakness. Weakness is vulnerability.” Sama sekali ia tidak membiarkan hatinya dibalut perasaan emosional, secuil pun.

Sayangnya, ide penokohan yang kuat tersebut tidak diperhadapkan dengan tokoh oposisi yang sepadan. Kehadiran tokoh oposisi sebenarnya memungkinkan adanya tabrakan konflik yang lebih hebat, misalnya adu wacana eksistensialisme versus esensialisme. Selain itu, kisah akan berkembang dan potensi penokohan dapat dioptimalkan.

Fincher pun tidak memberikan ruang untuk “si pembunuh” dalam berkonflik batin atas sistem nilai yang dipercayai selama ini. Benar, sang tokoh mengalami goncangan saat mengetahui kekasihnya terluka, tetapi hanya sekilas dan takdikupas. Padahal, upaya pengoptimalan konflik batin pernah ia tampilkan secara mengesankan dalam film terdahulunya, Fight Club (1999).

Berdasarkan itu, Fincher seolah-seolah mengesankan bahwa nilai yang dipegang “si pembunuh” sudah final. Gagasan tersebut seakan tidak perlu diuji kembali untuk menggali antitesisnya—yang berpeluang memiliki potensi pelebaran konflik. Tidak adanya pengujian ini membuat kisah terasa hambar dan berjalan lurus. Oleh sebab itu, penonton yang tidak sabar, mungkin, segera meninggalkan tayangan atau menguap sebab kebosanan.

Ruang kosong ini pun membuat kisah tidak berkembang dengan kuat. Pemilihan latar yang melompat dari kota satu ke kota lain—dalam melancarkan misi—pun menunjukkan betapa kaitan film tidak rapat. Hal ini juga dirasakan hanya sebagai “tempelan” meskipun ada upaya merefleksikan kehidupan kota. “Paris awakens unlike any other city. Slowly. Without the diesel grind of Berlin or Damascus. Or the incessant hum of Tokyo.”

Kekosongan tersebut masih terselamatkan oleh rangkaian aksi penyamaran dan pertarungan jarak dekat yang menegangkan. Namun, hal ini sebenarnya masih belum cukup mengingat kita mengenali kekuatan Fincher dalam film-filmnya terdahulu seperti, Gone Girl (2014), The Girl with the Dragon Tattoo (2011), Zodiac (2007), dan Se7en (1995) yang menawarkan tenunan misteri yang mengesankan dan membetot mata kita sepanjang film.

Walhasil, The Killer merupakan sajian letusan peluru kosong. Daya ledakannya memenuhi ekspektasi kita. Namun, sayangnya tidak ada satu pun peluru yang mengenai harapan kita.

Baca juga: Killers of the Flower Moon – Keajaiban Scorsese

Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah