Review Film SIN (2019): Kisah Romantis Kaya Rasa, tetapi Antiklimaks

0
3817
Review Film SIN (2019): Kisah Romantis Kaya Rasa, tetapi Antiklimaks

Film SIN diadaptasi dari novel berjudul sama, karya Faradita yang rilis pada 2017 lalu. Sebelum dirilis dalam bentuk novel, SIN lebih dulu populer dalam format Wattpad. Artinya, kisah Metta Rinjani dan Raga ini sudah memiliki banyak penggemar. Pembaca Wattpad maupun novelnya bisa membandingkan imajinasi mereka dengan visual dalam layar lebar. Namun, ada juga penonton yang sama sekali tidak mengetahui kisah Metta dan Rinjani, dan saya salah satunya.

Metta (Mawar de Jongh) ialah gadis SMA yang tidak punya keluarga sama sekali. Walaupun begitu, hidupnya serba berkecukupan, sebab ada ayah yang selalu mengiriminya uang. Namun, ayahnya tidak ingin bertemu sama sekali dengannya. Hal ini membentuk karakter Metta yang keras kepala, pembangkang, pemabuk, dan suka memainkan perasaan teman lelaki yang menyukainya. Menurutnya, semua lelaki suka karena kecantikan dan tubuh moleknya. Dia membangkang ke pergaulan bebas untuk cari perhatian ayahnya, tetapi semuanya gagal. Dia tetap sendiri, bahkan temannya menilai dia hidup dari sugar daddy.

Gadis SMA ini membutuhkan lelaki yang mematahkan pendapatnya. Hadirlah Raga (Bryan Domani), teman baru di sekolahnya. Mereka bertemu di tempat Raga bertarung tinju bebas secara ilegal. Raga berasal dari keluarga berada yang juga membangkang seperti Metta. Penggemar Bryan akan sangat dimanjakan dengan penggambaran Raga yang sportif di film ini. Nampak sekali Bryan berusaha menjiwai karakter Raga dengan kemampuan tinjunya.

Metta pun jatuh cinta pada Raga, sayang cintanya takterbalas. Hubungan Metta dan Raga tergambar apik dari kejar-kejaran yang romantis. Mereka saling menaruh percaya dengan perlahan. Namun, Metta dan Raga tidak seharusnya jatuh cinta. Raga mengetahui Metta adalah adiknya, dia menjauh dan memutuskan hubungan saat Metta telah memberikan segalanya. Saat itulah musuh Raga menjadikan Metta target untuk menekan Raga. Hidup mereka menjadi kusut.

Review Film Sin (2019): Bryan Domani dan Mawar De Jongh dalam Film SIN

Secara visual, dari awal film ini menawarkan warna-warna yang menarik. Tabrakan warna yang kontras dan gemerlap lampu dari bangunan, mobil, hingga klub malam memberikan kesan kemewahan yang setara dengan kekayaan masing-masing tokoh film ini. 2/3 durasi film ini sangat menyenangkan untuk dinikmati. Dari sisi gemerlap dunia kaum berada, mobil mewah, apartemen mewah, hingga diskotek, semua bisa dinikmati tanpa beban oleh anak-anak SMA kalangan berada. Chemistry Raga dan Metta juga menggoda, ditambah dengan lagu-lagu apik yang sangat mudah membawa mood film ini.

Sampai dengan perpisahan Metta dan Raga, film ini juga masih menjaga konsistensi visual. Properti digunakan untuk menegaskan perasaan masing-masing karakternya. Sayangnya, penyelesaian film ini terlalu tergesa-gesa karena semua hanya bertumpu pada karakter Metta dan Raga. Tiba-tiba karakter Metta menjadi lemah dan mudah menyerah, terasa janggal. Konflik untuk memuncakkan emosi dalam film ini tidak sebanding dengan cara membangun cerita dari awal, sehingga terasa janggal dan mengecewakan.

Tidak ada usaha untuk memanfaatkan karakter lain untuk menguatkan cerita. Jeremy Thomas punya potensi untuk menutup kekurangan akting Hans de Kraker yang kaku sebagai ayah Metta dan Raga, sayangnya kurang digali secara sempurna. Kembali ke awal, bahwa saya menonton tanpa membaca novelnya, saya tidak bisa memastikan apakah sutradara Herwin Novianto berusaha patuh pada novelnya atau ada pertimbangan lain. Jika memang untuk mematuhi cerita novelnya, maka penggemar novel SIN mungkin menikmati film ini dengan baik.

Tulisan review film SIN ini merupakan kiriman pembaca ulasinema. Jika anda ingin kirimkan tulisan, silakan kirim ke ulasinema@gmail.com!

Penulis: Puput Puji Lestari
Penyunting: Redaksi