Review Film Perempuan Tanah Jahanam (2019)

1
4166
Review Film Perempuan Tanah Jahanam (2019)

Jika Anda membuat sebuah karya yang sangat baik, apalagi sebuah masterpiece, karya tersebut akan terus menghantui Anda sepanjang karier. Perkaranya, masyarakat pasti mengharapkan Anda membuat karya yang setara atau bahkan melebihi karya terbaik Anda. Joko Anwar pun harus mengatasi hal ini ketika memproduksi Perempuan Tanah Jahanam usai kesuksesan Pengabdi Setan (2017).

Tim produksi Perempuan Tanah Jahanam (PTJ), terutama Joko Anwar sendiri,harus menanggung beban suksesnya Pengabdi Setan. Bayangkan saja, Pengabdi Setan memberikan dampak masif kepada film-film bergenre horor di Indonesia. Selain untung secara komersil, film yang rilis pada tahun 2017 tersebut disebut-sebut telah menaikkan standar kualitas film horor Indonesia. Oleh karena itu, wajar saja jika adanya harapan tinggi dari masyarakat ketika mendengar kabar bahwa Joko Anwar akan memproduksi film horor.

Joko Anwar mendapatkan ide untuk PTJ sejak 10 tahun lalu, artinya ada proses panjang sehingga film ini tayang di bioskop. Perlu diingat juga bahwa film ini merupakan karya orisinal sineas kelahiran Medan tersebut sejak A Copy of My Mind (2015) setelah dua film terakhirnya merupakan film adaptasi (Pengabdi Setan merupakan film buat-ulang dari film berjudul sama yang rilis pada tahun 1980; Gundala merupakan film yang diadaptasi dari komik). Bisa dikatakan, PTJ dapat menjadi ajang bagi Joko Anwar membuktikan dirinya sebagai auteur dalam sinema Indonesia.

HATI-HATI BOCORAN!

Perempuan Tanah Jahanam: Lebih Berfokus kepada Cerita

Film PTJ dibuka dengan bagian yang cukup unik. Kredit film ditampilkan dengan gaya yang mirip dengan sorotan proyektor klasik. Gaya menunjukkan kredit yang lumayan lengkap di depan juga mirip dengan film-film pra-1970-an. Bagian ini pun memberikan kesan klasik, usaha yang mungkin ingin ditampilkan dengan film ini.

Masuk ke adegan pertama, dialog lewat telepon antara Maya (Tara Basro) dan Dini (Marissa Anita) ketika sedang menjaga gerbang tol langsung dilibas dengan cepat. Perkenalan tokoh dan runutan masalah yang akan terjadi langsung ditampilkan tanpa basa-basi dalam tempo cepat. Adegan dialog dengan pemotongan cepat antara kedua tokoh ini mungkin dapat memotong waktu, tetapi hal ini seakan terburu-buru dan tidak mengalir dengan natural. Hal ini sepertinya  menjadi gaya Joko Anwar yang baru tampil sejak film Gundala.

Selagi Maya dan Dini berdialog, muncullah sumber masalah pertama yang akan membuka jalan Maya menuju konflik utama film. Seorang karakter misterius yang sebelumnya sudah memantau Maya, datang dengan niat membunuh. Bukan hantu, tetapi orang biasa yang membawa golok dan niatannya membunuh hampir sulit dicerna oleh Maya. Tidak ingin terburu-buru, sang sutradara secara perlahan-lahan mengupas misteri. Hal tersebut pun terasa dari tempo film yang perlahan menurun, tidak tergesa-gesa seperti adegan pertama.

Review Film Perempuan Tanah Jahanam Joko Anwar

Maya pun mendapatkan petunjuk dengan perlahan. Dalam latar kedua, saat Maya dan Dini sudah membuka toko pakaian di pasar, misteri kembali terungkap. Latar belakang keluarganya yang berfoto di depan rumah besar membuat ia ingin mengupas masa lalunya. Selain itu, keinginan tersebut juga didorong oleh kondisi ekonominya. Unsur mistis mulai dipermainkan, dengan memberikan petunjuk akan adanya jumpscare, tetapi lebih banyak tipuannya. Hal ini terus dipermainkan sekitar setengah film dan keberadaannya hampir sirna pada setengah sisa film. Namun, ada bagian yang sangat menarik ketika di pasar. Hari sudah gelap dan pasar sudah ditutup, Maya terjebak. Dirinya pun mulai ketakutan dan melihat ada bayangan hitam yang ternyata beberapa buah manekin. Cara ini sangat unik, memberikan sebuah rasa tegang semu tanpa perlu repot-repot menghadirkan hantu.

Kisah semakin menarik ketika memasuki desa tempat Maya dilahirkan. Unsur mistis bukan lagi dibangun melalui jumpscare dengan kehadiran hantu, tetapi dari misteri desa itu sendiri. Bahkan, lebih dalamnya lagi, sangat berkaitan dengan masa lalu Maya. Memasuki fase ini sangat menyenangkan, Joko Anwar merasa tidak perlu lagi menebar rasa takut dengan cara mengejutkan penonton dari penampakan yang tiba-tiba. Cerita PTJ berfokus pada kisah gila yang harus dikupas satu per satu oleh Maya. Apalagi, pengupasan ini tidak terkesan terburu-buru, sehingga mengalir dengan natural.

Pada bagian pengupasan misteri dan masa lalu Maya, ada bagian saat Ratih (Asmara Abigail), salah satu penduduk desa, memberi tahu sejarah kelam desanya. Bagian ini dikemas dengan sangat cermat, narasinya begitu mengalir sehingga penonton terbawa dalam alunan skoring yang megah dan menggebu-gebu serta sinematografi nan indah. Selain tembakan gambar yang terukur, pemilihan warna yang didominasi oleh warna hitam dan oren kecoklatan yang tajam memberikan nuansa klasik dan mencekam. Setelah bagian yang luar biasa menarik ini, filmnya agak menurun.

Ada beberapa adegan yang rasanya kurang dieksekusi dengan baik. Misalnya, adegan Maya yang terlempar dari mobil ketika berusaha kabur dari desa terlihat sangat fiktif. Selain itu, mengupas misteri dengan cara serupa, yaitu menggunakan flashback lagi seperti adegan Ratih bercerita serasa tumpang tindih. Pasalnya, kedua adegan ini ditempatkan dalam waktu yang berdekatan. Selain itu, bagian flashback Maya yang diberikan oleh tiga hantu anak perempuan agak boros waktu.

Untungnya, fase penyelesaian film dikemas dengan baik dan tidak klise. Filmnya tidak berakhir dengan bahagia. Maya yang ingin mendapatkan lebih justru harus kehilangan hal-hal yang paling esensial dalam hidupnya. Walaupun ada tampilan bahwa desa menjadi lebih makmur, tetapi rasa dendam yang tertanam belum mati dan memiliki wujud baru. Joko Anwar mengakhiri filmnya seperti siklus kehidupan yang tidak pernah berakhir.

Hebat, tetapi Jauh dari Sempurna

Hampir semua aktor dalam film ini tampil brilian. Ario Bayu tampil lugas sebagai Ki Saptadi, setiap dialog yang ia keluarkan sangat matang dilafalkan. Bagi Marissa Anita, sosok yang tampil begitu lugu dan kaku dalam film Istirahatlah Kata-Kata (2017) ini tampil begitu luwes sebagai orang Jakarta dalam film ini. Christine Hakim pun tampil hebat, selalu memberikan aura mistis saat dirinya tampil. Bagi Asmara Abigail, tokoh Ratih terkesan agak inkonsisten, ada gimik serta gestur yang berbeda-beda dari pertama kali ia tampil. Namun, cara Ratih mengisahkan masa lalu desa merupakan bagian terbaik dalam film.

Di antara kesuksesan para pemerannya, sayangnya penampilan Tara Basro kurang maksimal di sini. Pada sepertiga awal film mungkin kurang terasa, tetapi saat memasuki desa, sosok Maya seharusnya bisa terlihat lebih kebingungan dan frustrasi lagi. Akting Tara Basro seperti tertahan dan pada beberapa bagian terakhir, penampilannya selalu kalah oleh aktor-aktor lainnya. Sangat disayangkan.

Sedikit batu kerikil lagi yang menghalangi film ini dari kemahsyuran, yaitu “sedikit” logika yang sulit diterima. Sejak kedatangan Maya dan Dini ke desa, setiap harinya selalu ada bayi yang lahir. Melihat kepadatan desa, rasanya hal ini agak mustahil.

Jika Pengabdi Setan sudah menciptakan standar baru film horor Indonesia, Perempuan Tanah Jahanam benar-benar menaikkan standar tersebut. Cara menaikkannya pun sangat menarik: fokus ke cerita yang menarik dan memasukkan unsur budaya negeri kita sendiri. Sayangnya, banyak batu kerikil yang masih menghalangi film ini dari kemahsyuran. Hal ini dapat diartikan juga bahwa masih ada ruang yang bisa dikembangkan oleh Joko Anwar dalam karya-karyanya selanjutnya.

infografis film perempuan tanah jahanam

Ulasinema merupakan media berita film, review film, dan ulasan film berperspektif variatif dan unik. Kunjungi ulasinema.com untuk informasi serba-serbi film terbaru. Ikuti juga Instagram, Twitter, dan laman Facebook kami.

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan