Review Film John Wick: Chapter 4 (2023) – Akhir Kisah Megah

0
291

Salah satu waralaba aksi terbaik dan terpopuler dalam sedekade terakhir, John Wick, akhirnya menyentuh bagian yang mungkin akhir dari kisahnya. Dalam John Wick: Chapter 4, Chad Stahelski menciptakan pukulan terakhir yang meriah. Hasilnya pun ambisius, film aksi sepanjang tiga jam yang padat.

Hal yang telah diberikan tiga film pendahulu John Wick ke khazanah film aksi memang luar biasa. Stahelski, yang menghabiskan bertahun-tahun sebagai pengganti aksi dan koreografer, tahu betul cara membuat film laga yang takhenti membuat penonton bergerming selama dua jam. Kini dalam John Wick: Chapter 4, ia taktanggung-tanggung dengan durasi 269 menit.

Dari ketiga filmnya, kita memang mengenal waralaba John Wick sebagai film tarung tanpa henti yang membuat kita menahan napas. Filmnya pun begitu padat: bertarung, bertarung, dan bertarung! Aksi Keanu Reeves memegang pistol membunuh puluhan musuhnya memang memberikan kenikmatan tiada tara.

Pada film kedua dan ketiganya, Derek Kolstad mencoba melebarkan dunianya. Penggabungan unsurnya menarik, banyak hal-hal klasik dan modern dicampurkan. Pakaian-pakaian necis, arsitektur klasik yang ditabrakkan dengan senjata-senjata modern, serta cahaya-cahaya neon memeriahkan aksi Reeves. Perluasan ceritanya memang agak njelimet, memperkenalkan dunia bawah tanah dengan peraturan-peraturan monarki. Namun, kisah ini cukup untuk menambah laju John Wick di box office.

Kini, di film keempat, ketika ruwetan-ruwetan itu perlahan dipreteli, tinggal memberi penutup yang pas. Dengan bujet yang hampir lima kali lipat dari film pertamanya, tiada kata gagal bagi Stahelski. Hasilnya pun memuaskan. Bahkan dalam film keempatnya, banyak inovasi-inovasi aksi dalam sinema yang membuat kita terheran-heran dan terkagum-kagum menyaksikannya.

Mengatasi Masalah Usia

Hal yang harus kita akui sejak awal ialah John Wick dan pemerannya Keanu Reeves taklagi muda. Bisa kita lihat perlahan ia tergerus dengan usia, taklagi bisa bergerak sangat lincah atau punya kekuatan untuk membunuh dengan pensil. Cerdasnya, pembuatan film ini pun sadar akan hal itu dan mencoba menawarkan banyak hal yang lain.

Banyak karakter baru ditambahkan, dari yang muda sampai yang uzur. Salah satu yang paling populer ialah Donnie Yen yang bermain di alam antagonis dan protagonis dengan apik. Yen, yang sedikit lebih tua dari Reeves, justru menyodorkan tarung yang lebih lentur dan memukau – hal yang wajar dengan latar belakangnya sebagai seniman bela diri.

Bagaimanapun, salah satu karakter baru yang paling menarik taktampil terlalu lama. Karakter ini ialah Akira (Rina Sawayama). Pergerakan aksinya menawan dan memberikan angin segar terhadap film ini yang dipenuhi dengan bintang utama berumur dan bergender laki-laki supermaskulin.

Beberapa faktor ini menunjang durasi film sehingga membuatnya makin padat. Namun, faktor utama yang membuat kita melekat di bangku studio bioskop mungkin bukan itu. Hal yang paling jelas: kita ingin melihat John Wick, berjibaku dan menghempaskan musuh-musuhnya. Hal ini ternyata disodorkan dengan jauh lebih megah.

Jika Anda sudah menyaksikan betapa hebatnya aksi nonstop Wick yang membuat film aksi jauh lebih menarik dan “beraksi”, film ini bak mahakaryanya “beraksi” itu. Reeves memang takselincah dulu, tetapi ia disodorkan skenario dan koreografi yang jauh lebih meriah sehingga membuatnya tetap menarik.

Kita bisa melihat bahwa penggunaan pistol dalam pertarungan jarak dekat Wick jauh lebih tertata dan lebih mahir. Senjata tambahan lainnya pun membuat aksi film ini makin gila: mulai dari nunchaku, kapak, hingga katana dan panah. Taklupa juga menggunakan senjata situasional yang di luar nalar seperti pensil pada film kedua. Kini, kartu pun digunakan untuk menyerang.

Senjatanya memang makin ramai, tetapi ada lagi yang begitu mengundang decak kagum. Hal tersebut ialah sinematografi yang sangat indah. Anda mungkin sudah disodorkan dengan tembakan-tembakan apik di tengah Wick beraksi dari ketiga film sebelumnya, ditemani dengan latar dan pencahayaan cantik. Kini, semua itu hampir tiada tara jika dibandingkan film keempat ini.

Unsur neon dan kelap-kelip lampu klab kembali hadir. Namun, yang takhabis pikir ialah penggunaan elemen-elemen gila seperti air bak hujan yang mengguyur Wick kala hadapi Killa (Scott Adkins). Penggabungan elemen-elemen ini ke dalam satu sekuen laga yang indah terasa seperti klip pendek saja.

Takberhenti di situ, adegan dengan tembakan gila lainnya juga hadir kala Wick diserang menuju adegan akhir di jalanan Paris. Anda mungkin pernah melihat sekuen aksi di tengah jalanan padat yang hanya sekelebat. Namun, membuatnya satu sekuen panjang penuh dengan pertarungan membuat kita terheran-heran. Sungguh rangkaian koreografi rumit yang gila.

Di antara semua kegilaan itu, film ini memang takbanyak menawarkan cerita yang rumit. Daripada berumit-rumit layaknya film kedua dan ketiga, John Wick: Chapter 4 ini memang banyak menghadirkan nilai sentimental. Dialog-dialognya dibuat mudah dimengerti dan langsung ke tujuan. Sayangnya, nilai-nilai sentimental ini kurang mampu membuat kita berempati, terutama pada adegan akhirnya yang dibuat seperti kurang absolut.

Mungkin memang ini yang ingin dicapai film ini. Walaupun ia mengungkapkan ini jadi film John Wick terakhir, masih ada keinginan dari Keanu Reeves dan mungkin Lionsgate melihat betapa suksesnya film ini pada pekan awal.

Walhasil, dalam perjalanan yang penuh tembakan, penuh darah, dan pastinya, penuh pertarungan yang memukau, kita memang patut berterima kasih terhadap Stahelski dan saga John Wick. Fenomena sinema aksi sehebat ini mungkin sulit untuk hadir lagi, sebab takdisutradarai oleh mantan stuntman, takdibintangi oleh aktor yang giat memerankan stunt-nya sendiri. Lalu, jika ini jadi akhiran dari kisah John Wick, Chapter 4 ini telah memberikan panggung aksi yang megah.

Baca juga: Review Film Babylon (2022) – Serupa, tetapi Taksama

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan