Bila menyebut karya-karya Damien Chazelle, ada tiga hal yang lekat: alunan musik, hubungan romantik, dan ambisi yang sengit. Babylon (2022) hadir sebagai puncak dari karya-karyanya terdahulu. Dengan pokok cerita yang lentur, ada dua sensasi yang dihadirkan, bisa lengkap puas, bisa lelap pulas.
Chazelle berhasil membuat kita terkesima dengan “gigitan” pertama. Adegan mengangkut seekor gajah ke jalan mendaki mengantarkan kita pada adegan pesta pora yang melampau “batas”. Koreografi serta jalinan irama yang menggelegar pada mula adegan tersebut menjadi pangkal ketakjuban. Hal ini semacam upaya Chazelle mengulangi kesuksesan La La Land (2016)–dengan adegan pembuka yang ikonik: koreografi di jalan layang yang sesak kemacetan.
Selang hampir setengah jam dibuat terkesima, pokok cerita dimulai. Dengan latar kejayaan sinema bisu di Holywood, Manny Torres (Diego Calva) dan Nellie LaRoy (Margot Robbie) mengerami mimpi muluk: orang biasa menjadi bagian sinema Amerika. Ambisi keduanya menyala-nyala dan menghidupkan konflik kisah. Determinasi keduanya dalam merengkuh cita serupa film Chazelle sebelumnya: Sebastian (musisi) dan Mia (aktris) pada La La Land serta Andrew (drummer) dan Fletcher (konduktor) di Whiplash (2014).
Keberuntungan pun datang. Dari pesta ria semalam suntuk, Manny tetiba menjadi asisten aktor kawakan yang problematik, Jack Conrad (Brad Pitt). Adapun Nellie mendapat peran kecil dalam sebuah film. Dalam menyambut hilal kesuksesan, kenaifan Torres dan kekecauan LaRoy dibenturkan dan membuat hubungan keduanya pasang-surut. Dalam hal ini, akting Robbie amatlah menjerat sebagai sosok yang dibelit trauma dan krisis kepercayaan.
Di sisi lain, kehadiran tokoh Conrad menjadi hal baru dalam karya Chazelle. Bila pada karya-karya sebelumnya, termasuk pada film perdananya, Guy and Madeline on a Park Bench (2009) yang kelak dikembangkan jadi La La Land, Chazelle hanya fokus pada tokoh yang sedang meniti kesuksesan: musisi jazz yang berjuang. Kehadiran Conrad menghadirkan antitesis dari tokoh-tokoh yang pernah diciptakannya. Kendati meneguk kesuksesan, rupanya, sensasi dari berbagai nafsu taklagi menggenapi diri Conrad seiring kemudahannya meraih keinginan. Conrad pun mulai menyadari absurdnya kesuksesan: puncak karier dan jurang depresi.
Sementara itu, pada film ini, Chazelle pun menawarkan akhiran kisah yang jitu, alih-alih menyajikan akhiran yang “aman” serupa karya-karya sebelumnya. Pada Whiplash, misalnya, ada keberhasilan yang tersirat sebagai akhiran. Pada La La Land, Chazelle menawarkan akhiran yang opsional pada epilog. Pada film ini, ia secara meyakinkan menyodorkan akhiran yang bebas klise dan menebalkan isu absurditas. Percobaan tersebut menjadi terobosan yang tepat: bersakit-sakit dahulu, sukses pun takdatang.
Persembahan untuk Sinema
Chazelle bukan ikan yang lupa kolamnya. Film ini menjelma surat cintanya pada sinema dan para sineas terdahulu yang memengaruhi karya-karyanya, terutama Singin’ in The Rain (1952). Film tersebut menjadi salah satu inspirasinya dalam menyusun La La Land—karya yang membuatnya menyabet Sutradara Terbaik Oscar termuda, 32 tahun.
Seperti Singin’ in The Rain, pada Babylon, ia juga mengambil latar transisi dari film bisu ke film bersuara. Penokohan LaRoy dan Zelda (Rita Moreno) dalam karya komedi romantis yang digarap Gene Kelly dan Stanley Donen tersebut serupa, yaitu sulit beradaptasi pada dunia yang baru: film bersuara. Konteks latar sosial ini menjadi hal utama yang dibahas Chazelle.
Sementara itu, melalui penokohan Manny, kita melihat transisi signifikan film bisu ke film bersuara: mulai penggarapan karya hingga respons pasar. Sebagai orang produksi, ia mengalaminya di layar dan di balik layar. Pada adegan akhir, melalui mata Manny, tetes bahagia dan derita berlinang saat film bersuara diputar—metafora dari perubahan dunia sinema.
Yang Abadi Sinema
Keinginan meraba isu sinema secara luas membuat kisah menjadi lentur. Penceritaan dari klimaks menuju penyelesaian melebar. Hal ini tidak terlepas dari ketidaksabaran Chazelle untuk menuntaskan jalan akhir dari tetiap tokoh. Di lain sisi, justru ia lebih memilih mempertahakan ide tentang sinema hingga akhir. Ide sinema lebih besar dari para tokoh-tokoh yang ia ciptakan.
Ide ini secara tersurat dimunculkan dalam salah satu adegan. Saat Conrad protes kepada kritikus bahwa kejayaannya telah selesai, ada ucapan kritikus kepada Conrad, dunia sinema selalu lebih besar dari tokoh. Pergolakan di dalamnya akan selalu ada, termasuk kebangkitan dan kehancuran.
Walhasil, Babylon merupakan puncak dari film Chazelle, baik dari dana produksi hingga ide yang lekat dengannya. Sergap pulas atau puas dapat menyergap saat menyaksikannya. Puas datang dari bentangan isu sinema yang dibahasnya. Di sisi lain, Chazelle memberi kesegaran dibanding karya-karya sebelumnya. Kehadiran musik yang ditata jitu oleh Justin Hurwitz dan tembakan memikat Linus Sandgren membuat kita tetap terjaga dalam arus film.

Baca juga: Review Film Amsterdam (2022)
Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah