Sinema telah pulih dan hampir berada dalam sisi terbaiknya dalam 2022 ini. Film-film super-laris kembali bermunculan, seiring dengan kualitas film yang takkalah hebat dari tahun-tahun sebelumnya. Kami pun kembali merangkum fenomena ini ke dalam 10 film terbaik 2022.
10. The Fabelmans
Karya semi-otobiografi ini buah karya Steven Spielberg yang paling ditunggu, bukan lagi perihal alien, dinosaurus, atau pencarian harta karun. Spielberg, yang merefleksikan keluarganya sebagai Fabelmans, menjadikan film ini cerminan untuk memahami masa lalu yang membentuk dirinya. Dengan cara bertutur khasnya, sang sineas menghanyutkan kita dalam drama keluarga pelik, tetapi hangat.
9. Descendant
Salah satu upaya mengenali diri ialah membaca masa lalu, memahami perjuangan para leluhur kita yang membuat diri ini mengada. Descendant pun menyelisik suara-suara masa lalu tersebut, mengajak para pewaris menerka leluhurnya yang diperbudak dan dikirim paksa dari Afrika ke Amerika di kapal Clotilda. Memahami penderitaan tersebut memang lebih pahit dari menelan pil terpahit, tetapi substansial untuk memahami sejarah yang menyangkut diri kita.
8. Saint Omer
Penghakiman atas kejahatan orang lain dapat menjadi bahan introspeksi diri. Rama mungkin melihat dirinya dalam sosok Laurence, perempuan imigran yang membunuh bayinya tanpa dasar yang jelas. Alice Diop mengisahkan drama persidangan ini dengan objektif, Laurence rentan dihakimi, tetapi dengan sudut pandang Rama yang memiliki problema serupa tersangka, kita melihat motif lain yang mendorong perbuatannya.
7. 헤어질 결심 / “Decision to Leave”
Kisah sadis penuh intrik melekat pada Park Chan-wook. Namun, karya terbarunya ini lebih tulus walau takkalah pelik. Penyingkapan kasus kematian terganggu dengan masuknya ketertarikan sang detektif kepada terduga. Kisah misteri ini pun perlahan menjadi sangat romantis, bahasa-bahasa cinta disampaikan dalam kondisi yang menentang norma. Yang paling menarik ialah tiap tatap-menatap Park Hae-il dan Tang Wei, kala bola mata mereka memancarkan cinta dengan kompleksitas masing-masing karakternya.
6. The Banshees of Inisherin
Empat belas tahun setelah keanehan nan jenaka di Bruges, Martin McDonagh kembali dengan komedi absurdnya. Duet Colin Farrell dan Brendan Gleeson kembali menjadi andalannya. Tawa kembali berdatangan, tetapi tindak-tanduk karakter-karakternya menimbulkan banyak pertanyaan. Banshees mengeja ulang absurditas hubungan manusia dalam rutinitas komunikasinya serta menjadi refleksi diri dalam mengartikan empati dan simpati.
5. All The Beauty and the Bloodshed
Kerap kita meremehkan peristiwa hidup-mati yang menyangkut orang banyak karena suaranya dibungkam. Merekam kisah Nan Goldin dalam melawan korporat tiran perihal produksi obat berbahaya yang masif, Laura Poitras coba melantangkan problem ini dalam All the Beauty and the Bloodshed. Perlawanan ini memang signifkan untuk direkam dan disebar, tetapi fotografi indah Goldin beserta suara penceritaan menenangkannyalah yang membuat kita hanyut dalam dokumenter ini.
4. خرس نیست / “No Bears”
Sebuah seni kadang seharga nyawa dan Jafar Panahi menciptakan kondisi Schrödinger dalam No Bears. Dalam ruang sempitnya, ia mengisahkan tekanannya dalam bersinema. Film otobiografi ini menjadi suara khalisnya dalam merekam peliknya tekanan sosial-politik untuk menciptakan seni. Mungkin, dalam semua kekangan tersebut, berkarya merupakan wujud kebebasan Panahi.
3. Tár
Komposer klasik kontemporer nan masyhur, Lydia Tár, mengincar tangga tertinggi dalam dunia musik. Angan-angan yang tinggal selangkah lagi mengubah dirinya menjadi ekstra-obsesif. Angin keras menerpanya di tempat tertinggi, penyempurnaan simfoni itu menjadi runyam dihantam berbagai macam konflik membuat dirinya kolaps.
Tár menahbiskan Cate Blanchett sebagai aktris terbaik masa kini, sandiwara terbaik dalam kariernya yang gemilang. Ia bergerak layaknya komposer film ini yang tiap alunannya membuka sisi baru. Namun, seiring kisah berjalan, kita makin merasakan kepiawaian “komposer” sesungguhnya: Todd Field. Film ini ditulis sangat presisi, melihat detail-detail kecil dalam karier dan kehidupan musisi kontemporer yang mendekati kesempurnaan. Tár layaknya mimpi kelam yang terlalu nyata.
2. An Cailín Ciúin / “The Quiet Girl”
Liburan sekolah kerap kali jadi masa untuk merekonstruksi diri, menemukan kembali diri anak atau remaja dalam rutinitas studi dan lingkungan yang itu melulu. Bagi Cáit, masa ini menjelma mukjizat kala ia tinggal sementara bersama paman dan bibinya. Dari adaptasi awal yang sulit, hubungan keduanya pun menjadi pemulihan bagi kesulitan dan trauma masing-masing.
Drama klasik seperti The Quiet Girl ini kerap kita jumpai dan kunci utamanya ialah kejujuran dan kejernihan dalam menyampaikannya. Dalam membuka karier penyutradaraannya, takmengejutkan Colm Bairéad masih memiliki suara jernih tersebut. Bagaimanapun, cara penyampaiannya sangat spesial. Dalam dialog yang minim, para karakter menyampaikan perasaannya dengan hebat. Lalu, yang membuat film ini makin istimewa ialah tangkapan-tangkapan gambar yang begitu puitis, sebuah karya yang bisa dengan mudah meresap dan menyentuh.
1. Aftersun
Dari musim panas penuh kehangatan hingga terkuaknya peliknya hubungan anak dan ayah dalam situasi keluarga yang retak. Aftersun merupakan rekaman ulang jeli dalam mereka ulang masa lalu. Sophie dewasa yang ingin mengenang kembali segala memori manis bersama ayahnya pada masa silam, justru, perlahan menjadi intens dan mencekam. Charlotte Wells, dalam debutnya yang begitu memikat ini, mencoba memberikan sisi objektif dalam merekonstruksi masa lalu ke dalam sinema. Dalam angsuran momen indah itu, ia pun perlahan menerkam dengan kilasan-kilasan kegelisahan yang penuh cekaman. Kita rasanya ingin menyaksikan ulang tiap momen dalam film ini, sebelum tikaman mematikan dari adegan akhirnya: dibalut dengan “Under Pressure” dan gemerlap lampu, tarian miris Paul Mescal memberikan kita salah satu akhiran paling menyakitkan.
Baca juga: 10 Film Terbaik 2021
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan