Film sejarah yang bertentangan jauh dengan fakta aslinya kerap menjadi masalah dalam dunia sinema. Terutama, dalam The Woman King, yang sedikit mengesampingkan fakta lapangan dan membawa unsur politik modern untuk merelevansikan filmnya. Namun, jika melihat dari sisi tersebut saja, mungkin kita akan mengantagoniskan film ini yang terasa sangat keji.
Ketika Quentin Tarantino merilis Inglorious Basterds (2009), publik terkejut dengan rencana pembunuhan Adolf Hitler yang benar-benar jauh dari fakta sejarah. Pasalnya, setahun sebelumnya, Bryan Singer merilis film serupa (Valkyrie, 2008) yang dilandaskan dari kisah asli, sehingga film Tarantino terlihat mengada-ngada. Perlahan, Basterds diterima dan statusnya menjadi film kultus.
Kini, The Woman King juga hadir dengan sedikit berpaling dari sejarah. Landasannya memang ada, yakni kisah Agojie, kelompok tentara perempuan yang berada di bawah kendali raja Dahomey. Latar waktunya spesifik. Karakter-karakternya juga dilandaskan sosok yang benar-benar ada pada masa lalu. Selain itu, konfliknya pun juga nyata, pernah hadir. Namun, keseluruhan, rangkaian ceritanya mungkin fiktif.
Kala Basterds menyeleweng jauh dari sejarah, rangka yang dibuat Woman King cukup setia dengan realitas sejarah. Kesetiaan ini akan membuat penonton bertanya tentang keasliannya kisahnya, suatu konflik asik yang membuat menonton jadi makin menarik. Namun, dalam lingkup sinema, patut kita sadari bahwa semua yang diperankan oleh aktor nyatanya memang fiksi.
Jika sudah menembus konflik diri akan persepsi di atas, dalam sisi ini, kita akan dihadapi dengan film The Woman King yang lebih utuh: kisah heroisme tradisional. Ada dua pahlawan utama dalam kisah ini, pertama Nanisca (Viola Davis), seorang jendral yang diterpa krisis identitas saat hampir berada di puncak kemasyhuran. Kedua ialah Nawi (Thuso Mbedu), perempuan muda yang dipersembahkan oleh orang tuanya kepada raja dan memilih menjadi Agojie.
Perbudakan, perang antarsuku, dan penjajahan yang benar-benar terjadi di tanah Afrika saat itu hadir menjadi latar kelam film ini. Bertentangan dengan sejarah, kehadiran Kerajaan Dahomey dirangkai sedemikian rupa untuk membuat mereka tampak sebaik mungkin: menjadi pembebas budak serta melawan suku dan penjajah yang melakukan perdagangan manusia, walaupun punya andil dalam praktiknya. Dahomey masih melakukan perdagangan kotor dan hadirnya sosok Nanisca untuk memberantas hal tersebut.
Walau dengan peliknya problematika tersebut, Gina Prince-Bythewood, memasang fasad yang rapi, memfokuskan ceritanya kepada Nanisca dan Nawi. Nanisca dari awal telah dibentuk layaknya seorang pahlawan, dipuja-puja layaknya makhluk mitos. Menariknya, ada masa lalu dirinya yang terus dikulik di sini, yang akhirnya berkaitan dengan perangkat-perangkat konflik sosial pada masa itu.
Sementara itu, dalam satu lingkup, tetapi beda kisah, Nawi merupakan kisah terbentuknya seorang pahlawan. Ia awalnya terlihat seperti anak orang kaya yang taksesuai dengan tempatnya dalam pelatihan militer. Namun, secara perlahan, ia menunjukkan kegigihannya dan ternyata ia punya latar belakang pelik sehingga menarik Nanisca.
Dengan latar sosial yang kelam, kisah karakter utama yang pelik, tetap saja The Woman King terlihat enteng dalam penceritaannya. Mudah bagi penonton untuk memahami jalan kisahnya untuk membangun beberapa adegan baku hantam yang menarik. Di sisi, inilah sinar Davis yang selalu tampil karismatik dalam drama-dramanya, melebarkan kekuatan aktingnya dengan kemampuan pertarungan jarak pendeknya yang mengejutkan dan memikat. Fisik Davis pun terlihat prima dan sempurna untuk perempuan yang masuk pertengahan usia ‘50-an.
Aksi atraktif dengan pertarungan jarak pendek ini pun jadi daya pikat lainnya dari garapan Prince-Bythewood. Selain pertarungan tangan kosong, penggunaan senjata tradisional dengan senapan klasik dipadukan dengan asik. Walaupun porsinya sedikit, adegan-adegan aksi ini digarap dengan padat dan cantik. Jika kita sudah bisa menembus pertentangan sejarah, menikmati kisah perjalanan heroisme tradisional, serta aksi-aksi yang memikat, kita bisa lebih maksimal untuk menikmati The Woman King. Filmnya memang takmembuat saraf otak Anda berbelit. Namun, dalam momen puncaknya, sayangnya unsur sosial-politik modern dalam film ini berkesan klise sehingga sedikit mengurangi kisah heroisme hebat dari Nanisca dan Nawi.
Baca juga: The Old Guard (2020): Keabadian yang Terbatas
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan