Review Film Mickey 17 (2025): Mimpi Mengangkasa Kapitalis dan Kolonialis

0
59

Menggarap film fiksi sains berlatar dunia kapitalistik bukan hal baru bagi sutradara Bong Joon-ho. Dalam Okja (2017), ia memvisualisasikan visinya tersebut sembari menyinggung isu eksploitasi hewan. Bong juga memotret isu kesenjangan sosial berlatarkan distopia dalam Snowpiercer (2013). Karya terbarunya, Mickey 17 (2025) menyajikan dunia kapitalistik dengan rupa berbeda: kolonialisme luar angkasa.

Bong memang lantang menyuarakan isu kesenjangan kelas sosial ekonomi di beberapa film terakhirnya. Isu-isu tersebut hadir dalam kehidupan kontras antara si kaya dan si miskin, pengusaha dan pekerja, pemimpin dan rakyat kecil. Minat Bong terhadap isu kapitalistik makin dikenal dunia lewat Parasite (2019) yang diganjar penghargaan Oscar beberapa tahun silam. 

Dalam sebuah sesi wawancara tur promosi film Parasite, ia bahkan pernah mengatakan semua orang sejatinya hidup dalam negara yang sama bernama “Kapitalisme”. Takheran isu kesenjangan kelas juga coba disematkan Bong dalam film Mickey 17 yang diadaptasi dari novel Edward Ashton.

Kisah film ini bermula saat Mickey Barnes (Robert Pattinson) dan temannya, Timo (Steven Yeun), terlilit hutang dari lintah darat bengis di bumi. Mereka lalu memutuskan kabur ke tempat terjauh: luar angkasa. Berangkat dari ide itulah mereka mendaftar sebagai kru pesawat di sebuah ekspedisi antariksa yang dipimpin politisi kondang Kenneth Marshall (Mark Ruffalo).

Tujuan ekspedisi ini ialah mencari planet pengganti bumi bernama Nilfheim. Timo lalu diberi jabatan pilot shuttle, sementara Mickey bekerja sebagai “Expendable” yang menjadi objek eksperimen utama dalam ekspedisi ini dan siap dicetak ulang bila tewas. Mickey juga bersua dengan anggota pasukan keamanan ekspedisi bernama Nasha (Naomi Ackie), keduanya lalu menjalin asmara selama di pesawat.

Selang empat tahun kemudian, pesawat akhirnya berhasil mendarat di Nilfheim. Paparan virus di udara planet ini begitu ganas hingga Mickey berkali-kali tewas. Ia dicetak ulang hingga seri ke-17, ketika kualitas vaksin sudah teruji.  Taklama setelah itu, Mickey ke-17 dianggap tewas saat tengah meneliti makhluk misterius penghuni asli Nilfheim berjulukan “Creeper”. Mickey seri 18 pun disiapkan sebagai pengganti. Singkat cerita, Mickey ke-17 dan ke-18 bertemu dan menuai kehebohan dan kontroversi lantaran hal ini menyalahi aturan dalam ekspedisi, di sinilah konflik film mulai mengalami eskalasi.

Mickey 17 (gambar: Kompas)

Penokohan dan Alegori

Mickey 17 dibuka dengan merangsang rasa ingin tahu penonton lewat penyajian alur non-linear. Kita diajak menyelisik isi hati dan pikiran tokoh Mickey di masa kini dan di masa lalu. Bong tampak melukis ironi kehidupan tokoh Mickey yang nampak terbelenggu dalam keabadian.

Pengisahan latar belakang dan motivasi tokoh Mickey sebagai protagonis di film ini terbilang lugas. Di sepanjang cerita, motivasinya dalam mengambil keputusan penting tertangkap secara jelas. Pattinson juga terlihat memainkan perannya dengan ciamik, ia mampu membahasakan alienasi dan keputusasaan tokoh Mickey dalam balutan humor absurd bernada gelap.

Sifat tokoh Mickey ke-17 dan ke-18 yang bertolak belakang juga jelas menjadi tantangan tersendiri bagi Pattinson. Ia tentu harus menyelami perasaan dua tokoh ini lebih rinci untuk memberi napas keduanya secara optimal. Rasanya, mudah dikatakan, Pattinson mampu membawa dua karakter ini ke dua dimensi berlawanan.

Penokohan sejumlah karakter sentral di film ini juga dipoles dengan gaya komikal. Misalnya, Kenneth Marshall yang menjadi epitome sosok diktator dungu penindas dengan sikap egosentris dan maskulinitas rapuh. Bong mengaku karakter ini merupakan parodi dari perpaduan sejumlah politisi Korea dan pemimpin AS.

Bicara tentang alegori, Mickey 17 takhanya menyorot isu dunia kapitalistik saja lewat Mickey yang rentan mengalami penindasan hak hidup dan bekerja. Bong secara jitu juga menyelipkan isu objektifikasi perempuan, kolonialisme, hingga pemimpin yang abai terhadap kemanusiaan dan sains. 

Lihat saja tokoh makhluk Creeper yang ditampilkan sebagai korban kolonialisme bengis. Creeper tampak seperti masyarakat suku pedalaman di mancanegara yang kerap menjadi sasaran penindasan para pemilik kapital rakus dan penguasa kejam. Penonton diajak menanggalkan semua prasangka dan memandang makhluk ini tanpa sebelah mata.

Baca juga: Daftar Lengkap Pemenang Oscar 2025

Mickey 17 (gambar: The Hindu)

Paduan Aneka Nuansa dan Visual Memikat

Atmosfer antariksa yang lekat dengan teknologi mutakhir dan misteri juga ditangkap baik sinematografer Darius Kondji. Selain menyajikan adegan dihiasi palet warna indah, ia juga mengemas beberapa momen krusial film ini dengan pergerakan kamera unik. Jarak penonton dengan emosi para karakter di layar pun serasa dipangkas, suasana begitu intim.

Aspek lain yang perlu diacungi jempol dari Mickey 17 adalah kepiawaian Bong memadukan bermacam-macam nuansa di film ini. Ada kalanya penonton diajak bergidik ngeri saat melihat tokoh Creeper, tertawa terpingkal-pingkal saat menyaksikan kekonyolan tokoh Marshall dan istrinya, dan merasa haru ketika melihat jalinan romansa tokoh Nasha-Mickey. Ia sanggup menempatkan semuanya secara pas dengan waktu yang tepat.

Namun, film terbaru Bong ini bukan berarti tanpa cela. Terdapat momen di babak terakhir Mickey 17 yang terkesan agak terburu-buru. Efeknya, penyelesaiannya takbegitu menghasilkan kepuasan emosional yang besar ke penonton. Bisa jadi hal ini memang disengaja Bong untuk menghemat durasi atau menghindari dramatisasi berlebihan.

Secara menyeluruh, Mickey 17 menghadirkan pengalaman sinematik mengasyikkan dengan balutan humor gelap magnetik. Petualangan tokoh Mickey bisa menjadi tontonan reflektif yang menyegarkan didukung sajian visual cantik. Bong lagi-lagi sukses memanipulasi kita lewat dunia kapitalistik rekaannya dengan cara berkesan.

Ulasan Mickey 17 (2025): Mimpi Mengangkasa Kapitalis dan Kolonialis

Baca juga: Review Film Flow (2024): Mengalir di Tengah Banjir Bandang

Penulis: Farhan Iskandarsyah
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah