Review Film How to Make Millions Before Grandma Dies (2024)

0
52
How to Make Millions Before Grandma Dies

Cinta adalah enigma yang memberkati manusia. Hadirnya kerap menjungkirbalikkan perasaan lewat cara misterius. Ide ini termuat dalam film terbaru Pat Boonnitipat, How to Make Millions Before Grandma Dies (HTMMBGD). Film produksi GDH ini seolah-olah menyodorkan pertanyaan sederhana kepada penonton: mampukah cinta bermekaran dalam ikatan transaksional?

Film ini mengisahkan M yang memutuskan merawat neneknya demi mendapat warisan kekayaan. Keputusan ini dipilih M setelah mengetahui usia neneknya yang taklagi lama akibat sakit kanker. Ia juga terinspirasi kesuksesan Mui, sepupunya, yang mewarisi rumah mewah peninggalan kakek yang dulu diasuhnya selama sakit.

Namun, usaha M untuk merebut hati sang nenek tak mudah. Ia harus bersaing dengan paman-pamannya, Kiang dan Soei, yang juga mendekati nenek di masa sakit. M yang memutuskan tinggal di rumah sang nenek pun perlahan mengenal wajah keluarganya lebih dekat.

Curi Simpati Lewat Gaya Tutur Runtut

Salah satu magnet film HTMMBGD terletak pada pengemasannya yang sederhana. Fokus penonton terasa lebih mudah terjaga berkat plotnya yang linear. Selain itu, kelugasan gaya tutur film ini memudahkan penonton menyelami alam pikiran dan perasaan para tokoh.

Kita bahkan dapat menilai karakter dari gestur dan keputusan sederhana, misalnya M yang cuek dari caranya menabur bunga di makam, Kiang yang kaku dari adegan pertemuan keluarga, atau sikap tegas nenek saat ia melarang Soei memakan buah dari pohon delima.

Yang takkalah mengesankan, sutradara Boonnitipat sanggup menyatukan dunia tokoh M dan sang nenek dengan landasan kuat tanpa tergesa-gesa. Ia memahami betul pandangan kedua tokoh ini begitu kontras dan saling berbenturan di awal. Seiring cerita berjalan, barulah Boonnitipat pelan-pelan merajut ikatan M dan neneknya secara apik usai mereka dihadapkan rentetan konflik.

Performa akting Billkin sebagai M serta Taew Usa Samekham sebagai tokoh nenek juga memoles keindahan film ini berlipat-lipat. Keduanya tampil klop dan mampu membahasakan emosi karakter secara menawan. Adegan-adegan sentimental pun tampak lebih membekas.

Latar Sosial, Shot Dramatik dan The Farewell

Drama-perlombaan-merebut-hati-sang-nenek bukan satu-satunya daya pikat dari HTMMBGD. Film ini juga menyorot ragam latar sosial ekonomi karakter secara detail. Contohnya, Kiang yang terbilang mapan dan Soei yang terlilit hutang, lalu kondisi finansial sang nenek dengan saudara kandungnya yang timpang.

Perbedaan tingkatan sosial ini terasa memperkaya perspektif penonton terhadap konflik tiap tokoh. Alhasil, kita dapat melihat idealisme masing-masing karakter lebih mendalam terhadap harta warisan, keluarga, cinta, pandangan spiritual, dan lain-lain.

Bahasa juga dipakai Boonnitipat untuk memperlebar jarak antarkarakter, seperti tokoh nenek yang menguasai bahasa Tiongkok, sementara M tidak memahaminya sama sekali. Penonton pun mudah memahami keduanya dibesarkan di budaya keluarga dan era berbeda.

Selain itu, dari segi teknis, sinematografi film ini terasa beresonansi dengan kisah M dan sang nenek. Shot takhanya menangkap keindahan latar, tetapi juga emosi para karakter secara dramatik. Sekuens masa kecil M bersama sang nenek di akhir film, misalnya, menghadirkan emosi yang memuncak berkat gaya long shot.  

Sementara itu, aspek keluarga dan kematian berlatar budaya Asia dalam HTMMBGD agaknya serupa dengan film The Farewell (2019) karya Lulu Wang. Cerita keduanya berpusat pada tokoh nenek yang divonis berusia tidak lama dengan kehadiran cucu di dekatnya. Namun, HTMMBGD mengupas moral manusia dan ide cinta sebagai enigma yang tumbuh dalam ikatan transaksional lebih jauh, sedangkan The Farewell lebih menyorot pada pergulatan budaya timur dan barat.

Ragam Karakter Simbolis dan Ketimpangan Gender

Nuansa haru film ini takhanya terbangun lewat hubungan tokoh M dan neneknya, tetapi juga kehadiran karakter seperti Rainbow dan ibu M. Keduanya tampak seperti antitesis dari karakter oportunis seperti Kiang, Mui dan M di awal film. Tokoh Rainbow dan ibu M merepresentasikan wujud cinta penuh ketulusan tanpa iming-iming.

Di dalam film HTMMBGD, Boonnitipat juga menyelipkan isu ketimpangan gender yang sudah mengakar dalam kultur keluarga. Gambaran ini terlihat saat keinginan tokoh nenek terbentur budaya patriarki dalam keluarganya sendiri. Celetukan sarkastik takjarang menjadi cara nenek menutupi laranya.

Meski begitu, potret hubungan tokoh nenek dengan saudaranya tidak dikupas mendalam di film. Imbasnya, isu ketimpangan gender yang disorot sedikit terasa seperti konflik tambahan untuk mengeskalasi unsur drama dan menambah simpati penonton terhadap tokoh nenek.

Secara menyeluruh, film ini mampu menyajikan drama hangat yang mudah dinikmati penonton lintas generasi. Jalinan cinta yang perlahan terbangun antara karakter M dan sang nenek begitu indah disaksikan hingga akhir. Film HTMMBGD kembali ingatkan kita tentang enigma bernama cinta yang mampu memantik sisi humanis setiap insan dalam situasi takterduga.

Infografik Review Film How to Make Millions Before Grandma Dies (2024)

Baca juga: ATM Er Rak Error: Akrobatik dan Permainan Jalin Asmara

Penulis: Farhan Iskandarsyah
Penyunting: Anggino Tambunan