Sembilan tahun usai Fury Road, George Miller melanjutkan saga Mad Max, walaupun kali ini si jagoan utama takhadir. Dalam film terbarunya ini, kita diajak mengelana di gurun bersama Furiosa, sosok protagonis perempuan utama dalam Fury Road. Daripada “laga dulu baru bicara” seperti film-film sebelumnya, Furiosa: A Mad Max Saga lebih terasa seperti “bicara dulu baru laga”.
Dalam penanganannya di film Furiosa, Miller lebih fokus berkisah daripada dua jam memompa katup mesin dan meledakkan mesiu layaknya Fury Road. Penonton pun diajak menyelami kisah Furiosa sambil mengenali sistem kekuasaan di gurun pasir Australia pada masa Mad Max.
Dikisahkan, pada masa kanak-kanak, Furiosa (Alyla Browne) diculik oleh geng motor dari Green Place of Many Mothers. Geng motor yang dipimpin oleh Dementus (Chris Hemsworth) itu membunuh ibu Furiosa, sehingga anak perempuan ini menyimpan dendam hingga dewasa. Sempat dirawat oleh Dementus, Furiosa kecil jadi bahan pertukaran dengan Immortan Joe (Lachy Hulme) untuk jadi calon istrinya. Ia pun melarikan diri dan menyamar jadi salah satu tukang di Citadel. Ketika sudah dewasa, Furiosa (kini diperankan Anya Taylor-Joy) dipercaya Praetorian Jack (Tom Burke) untuk mengendarai War Rig bersamanya.
Film Furiosa ini memang menghadirkan aksi-aksi yang mengingatkan kita terhadap Fury Road. Bagaimanapun, tabuhan-tabuhan drum dan suara gitar menggelegar yang setia mengiringi Fury Road takterlalu menonjol di film ini. Aksi yang disajikan menarik, terutama di sekuen “Stairway to Nowhere” yang menghadirkan 15 menit aksi nonstop layaknya Fury Road. Meminjam kata-kata Edgar Wright dalam ulasannya di postingan X-nya: “walaupun saya paham hal yang diperlukan untuk membuat film, saya masih belum paham cara Dr. George Miller melakukannya.”
Dalam sekuen penuh aksi tersebut, kita melihat detail fantastis dari koreografi yang matang, pengambilan gambar yang jitu, dan pembentukan seting yang hampir sempurna. Membayangkan film aksi yang berpacu dalam mobil tanpa henti saja sudah minta ampun rumitnya. Miller pun merancangnya lebih gila: kala aktor utamanya diminta mereparasi mobil dalam kecepatan penuh sambil beradu peluru dan tinju dengan musuh, musuhnya lebih gila lagi beterbangan sambil melontarkan tombak yang meledak. Makin di luar nalar lagi ketika perancangan gila ini berhasil diwujudkannya tanpa celah!
Bagaimanapun, semua kegilaan ini mungkin sudah kita lihat dalam Fury Road. Jika terkejut menyaksikan Furiosa yang lebih banyak bercerita ini, mungkin Anda belum menyaksikan Mad Max Beyond Thunderdome (1985) yang juga taksesak dengan laga dan laga. Furiosa seakan mengisi kekosongan dari hal-hal yang kita pertanyakan dalam Fury Road.
Dengan lebih banyaknya drama, lebih banyak juga kesempatan para aktornya untuk menonjolkan aktingnya. Anya Taylor-Joy sebagai protagonis utama memang patut disorot. Walaupun hanya tampil dalam setengah film, ia langsung menguasai layar dan menancapkan karakter tangguhnya dengan totalitas maksimal. Film ini pun menjaga sosok Taylor-Joy sebagai aktris paling menarik dan ia hanya butuh selangkah lagi untuk masuk ke papan atas.
Sementara Taylor-Joy hanya tampil dalam setengah film, sorotan jatuh lebih besar ada pada Hemsworth sebagai Dementus yang hadir dari awal hingga akhir. Miller menciptakan karakter yang sangat menarik di sini: pemimpin yang kharismatik, tetapi sifat narsistiknya kadang terasa konyol. Ia terlihat bodoh dan gegabah, tetapi dalam beberapa kesempatan, taktiknya cerdik. Beberapa sifat di atas mungkin sudah pernah disambangi Hemsworth di Thor, tetapi dengan hidung prostetik dan gaya masokis ala geng motor, Miller terasa menyulap aktor asar Australia ini. Hemsworth tampil paling memukau, kehadirannya selalu menjadi bagian paling cerah dalam film ini. Adegan akhir kala berdialog dengan Furiosa pun menjadi bagian paling menarik kedua dalam film ini. Ini mungkin akting terbaik Hemsworth yang lama terpendam dengan blockbuster-blockbuster enteng.
Sayangnya, sepanjang film ini, pertanyaan seberapa penting hadirnya prekuel terjawab dengan kurang mengenakkan: antara penting dan tidak penting. Furiosa: A Mad Max Saga menunjukkan kekuatan berkisah Miller yang mungkin taksetara dengan kekuatannya dalam menghadirkan aksi gila. Film ini bisa terasa penting jika kita langsung lanjut ke Fury Road. Sayangnya, Fury Road telah rilis sembilan tahun lalu sehingga Furiosa hanya menjadi hidangan pelengkap saja. Memang, hidangan pelengkapnya manis dan gurih, tetapi dalam jangka waktu sembilan tahun, kita pasti sudah lapar kembali dengan hidangan utama.
Baca juga: Review Film Dune (2021): Villeneuve
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan