Kala yang telah lewat tidak pernah cukup menghapus trauma. Nyatanya, sepanjang masa, ia mengetuk-ngetuk, bahkan mendobrak alam pikir seseorang. Hal ini dengan puitik digambarkan Kamila Andini dalam karya terbarunya, Before, Now & Then (2022).
Kisah ini berpusat pada Nana (Happy Salma). Dengan latar gejolak politik pascakemerdekaan serta adegan “mengabur”, segala trauma menyergapnya: suaminya hilang, ayahnya dibunuh, dan anaknya meninggal dalam pelarian. Segala kemalangan tersebut digenapi dengan kokohnya budaya patriarki yang “menghabisinya”.
Alih-alih menampilkan kisah dengan realis, trauma tersebut coba diadegankan dengan metaforis: adegan-adegan realisme magis bermunculan. Adegan tersebut berhasil mengonkretkan ide pada alam pikir Nana. Contohnya ialah saat mengetahui suami barunya, Lurah Darga (Arswendy Bening Swara), berselingkuh dengan penjual daging, Ino (Laura Basuki), diawali penuansaan mimpi, ada adegan seekor sapi yang melintas di dalam rumahnya. Penggambaran yang patut diapresiasi dalam upaya memahami Nana.
Gaya penyampaian tersebut juga sebenarnya kita dapatkan pada karya Kamila Andini sebelumnya, Sekala dan Niskala (2017) yang berlatar masyarakat Bali serta Laut Bercermin (2011) yang mengambil latar suku Bajo. Adapun pada film Before, Now & Then, Kamila mengangkat masyarakat Jawa Barat. Serupa dengan karya sebelumnya, film ini penuh dengan penanda makna yang berbasis kearifan lokal. Dilengkapi skoring yang tepat dan kehadiran teks kebudayaan yang kuat, penggalian nilai-nilai tersebut mengayakan film ini.
Serupa Air
Nana serupa air yang selalu mengikuti wadah—sesuai yang didialogkan. Tidak hanya itu, ia merupakan air yang tidak pernah dapat mericik. Saat mendapati suaminya selingkuh, ia memilih diam dan memilih tidak membahasakan emosinya. Lalu, meski amat tersiksa yang juga digambarkan dengan adegan mimpi, ia akhirnya memilih untuk menerima kondisi tersebut. Bahkan, Nana menerima perempuan selingkuhan tersebut, yang kemudian akan membidani luapan emosinya.
Pada adegan lain, saat sedang menyisir rambutnya di depan cermin, anak perempuannya yang kecil, Dais, penasaran: mengapa ibunya tidak membiarkan rambut panjangnya terurai dan memilih menggunakan sanggul? Nana menjawab, hal tersebut metaforis: perempuan harus tekun menyimpan rahasia di dalam sanggul kepalanya. Artinya, segala rahasia rumah tangga tidak boleh sebisik pun lolos dari mulut dan jutaan rahasia lainnya. Pada adegan terakhir, Nana membiarkan rambut panjangnya terurai sebagai pernyataan kebebasan yang dipegang penuh olehnya: ia berkata jujur pada suaminya atas segala emosinya. Akhirnya, Nana menjelma ombak yang bebas.
Lintas Kala Sama Luka
Trauma lalu, kini, dan nanti yang belum tiba pun terputar bebas di kepala Nana, dalam terjaga dan lelap. Kemalangan tersebut menutup semua kenangan indah pada kehidupan masa silamnya: sebelum pelariannya dari “gerombolan”—yang tidak diperjelas. Setiap hari, ketakutan bersarang pada tubuh dan batin Nana.
Kemalangan yang dialami Nana serasa belum cukup. Selepas menikah dengan Lurah Darga, keguguran berkali-kali dialami Nana. Dukun menasehatinya: apabila ia melahirkan, anaknya mesti dititipkan ke orang lain agar selamat. Alhasil, ia dan dua anak pertamanya “terpisah”. Adapun Dais, anak ketiga, takdititipkan sebab Nana takmampu lagi menampung kesedihannya.
Meski atas nama tradisi, kondisi tersebut amat berat bagi Nana: Ibu dipisahkan dari anaknya. Keadaan ini serbamenyiksa bagi Nana. Siksaan ini masih belum usai, ia terpisah dengan anak-anaknya setelah rumah tangganya dengan Darga rampung. Ia menyaksikan anak-anaknya memilih akan tinggal dengan siapa. Nana menunggu dengan perasaan yang serbaperih.
Berdasarkan itu, hubungan Nana dan anak-anaknya jadi soal pokok yang dibahas Andini. Hal ini dilengkapi dengan hadirnya adegan-adegan mimpi: sosok Dais dari masa depan yang beberapa kali muncul di hadapan Nana, menatapnya, dan berdialog dengannya. Melalui Dais kita melihat kondisi Nana: seorang anak yang coba memahami penuh ibunya beserta putusan-putusan yang dibuatnya di masa silam.
Sementara itu, ada hal penting lain yang perlu disorot. Jika pada adegan awal Nana melakukan pelarian dengan anaknya yang masih bayi, Setia, pada akhir film Nana juga keluar dari rumah tangganya dengan anaknya yang masih bayi, Dadang. Akhirnya, Andini menggambarkan luka bagi Nana merupakan hal yang berulang. Bedanya, pada bagian akhir, dengan kebebasan yang dipilih, ia memilih untuk pergi, bukan disingkirkan. Mungkin hal tersebut menjadi reorientasi dari kisah ini.
Akhirnya, film yang diangkat dari novel Jais Darga Namaku menghadirkan sensasi menonton yang penuh. Selain itu, Before, Now, & Then (2022) tidak hanya mengongkretkan ide: memahami trauma perempuan dengan penuh, tetapi juga membawa optimistis pada sinema Indonesia. Karya Kamila Andini ini pun mampu hadir dengan meyakinkan sebagai film terbaik Indonesia tahun ini.

Baca juga: Review Film Like & Share (2022)
Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah