Kini makin banyak film yang membahas tentang kemungkinan manusia dikirim ke luar bumi untuk mencari tempat tinggal lain, dan Voyagers menambah daftar film itu. Proyek yang dikepalai Neil Burger ini penuh hasrat, gairah, dan emosi yang menggebu-gebu. Bumbu-bumbu tersebut sudah biasa ditemui dalam film-film dewasa muda.
Ketika bumi sudah taklagi layak untuk dihuni manusia, penjelajahan angkasa untuk mencari tempat tinggal baru pun menjadi ide yang dimunculkan, terutama dalam film-film. Salah satu film yang memiliki konflik serupa dan masih hangat di memori pencinta sinema ialah Interstellar (2014). Film yang disutradarai oleh Christopher Nolan ini merupakan sebuah petualangan epik dalam misi manusia mencari rumah baru.
Bagaimanapun, dalam Interstellar, Nolan terlalu ambisius dan ingin memasukkan segala macam hal dalam durasi filmnya yang sedikit kurang dari tiga jam. Dalam sisi psikologis dan kemanusiaan, film ini takbanyak fokus pada dua aspek tersebut dan kadang terlalu cengeng. Pembahasan segi ini dalam petualangan luar angkasa dapat ditemukan dalam film High Life (2018).
High Life berkisah tentang narapidana yang “dibuang” dengan kapal luar angkasa untuk mencari lubang hitam. Film produksi A24 tersebut sangat kelam, suram, dan depresif, tetapi di sisi lain memiliki keindahan visual yang aneh. Keterbatasan ruang kapal, keterasingan manusia, serta kerinduan akan kehidupan di bumi jadi fokus utama film ini.
Tiga hal yang jadi bahasan utama dalam High Life tersebut lumrah ditampilkan pada film-film sejenis. Namun, ketika tiga hal tersebut dicabut, akan seperti apa film yang berlatar kehidupan di pesawat luar angkasa yang para karakternya jadi fokus utamanya? Hal ini yang coba dibahas Neil Burger dalam film Voyagers.
Voyagers berkisah tentang 30 anak yang dilahirkan dan dibesarkan hanya untuk mencari planet baru demi kelangsungan hidup manusia. Anak-anak ini pun dibesarkan di dalam tempat yang direkayasa sebagai pesawat luar angkasa agar takrindu dengan kehidupan di bumi serta interaksinya dibataskan, kecuali saat mereka berkomunikasi dengan pengasuhnya, Richard (Colin Farrell) yang hadir sebagai sosok orang tua mereka.
Richard, yang awalnya bekerja hanya untuk mengasuh anak-anak tersebut agar siap dikirim ke luar angkasa, meminta ikut dalam misi tersebut. Kehadirannya pun menjadi pedang bermata dua: membuat anak-anak lebih patuh menjalani misi, di sisi lain justru membawa nilai sentimental yang ingin ditiadakan dalam misi ini agar tidak ada gejolak yang muncul atas dasar emosi. Untuk menekan hal ini, seluruh anak diminta untuk meminum cairan berwarna biru untuk menekan emosi.
Keteraturan mulai hilang kendali setelah dua anak muda, Christopher (Tye Sheridan) dan Zac (Fionn Whitehead), berhenti meminum cairan biru yang berujung pada kematian Richard. Kematian Richard takhanya menimbulkan misteri, tetapi juga kontroversi dalam perebutan kepemimpinan antara kedua anak muda itu. Mulai dari sini, Burger yang juga berlaku sebagai penulis skenario mulai memberikan kisah yang menggebu-gebu.
Singkatnya, 30 manusia yang berada dalam fase dewasa muda dalam pesawat luar angkasa ini layaknya manusia yang belum berevolusi, tetapi telah lebih teredukasi dan disokong dengan teknologi. Ketika emosi taklagi terbendung, menurut Burger insting dasar manusia akan mencuat. Keinginan dasar paling utama ialah seks, lalu mengikuti segala hasrat lainnya yang memunculkan terjadinya perbedaan pendapat hingga perpecahan kongsi. Perpecahan antara Christopher dan Zac layaknya melihat miniatur politik di bumi yang berujung pada peperangan kecil.
Layaknya film bertemakan fiksi sains dewasa muda lainnya, film Voyagers sangat menggebu-gebu pada 2/3 akhir film. Konflik berasal dari keteraturan yang terlalu menekan sehingga lahirnya kekacauan. Lalu, ada juga perpecahan pertemanan, bumbu percintaan dan seks, lalu aksi tembak-tembakan dan kejar-kejaran.
Formula tersebut telah kita temui di film-film bertema serupa yang marak pada awal dekade 2010 seperti The Hunger Games (2012), Divergent (2014) yang juga disutradarai Burger, dan Maze Runner (2014). Selain latarnya yang sedikit berbeda dari film-film tersebut, takbanyak hal baru yang ditawarkan dari Voyagers yang bisa kita temui dalam film-film di atas.
Di sisi lain, latar yang sangat tertata rapi serta pencahayaan yang baik menjadi salah satu hiburan dalam film ini. Hanya saja, di satu sisi, sinematografinya terlihat seadanya. Ada satu cara sinematografer, Enrique Chediak, menampilkan distorsi dengan menggetarkan kamera kala terjadi konflik. Namun, keberadaannya justru sedikit mengganggu kamera yang lebih banyak stagnan.
Hal menarik lainnya dalam film ini ialah perebutan kuasa Christopher dan Zac yang sebagian besarnya didukung oleh performa baik Sheridan dan Whitehead. Namun, terkadang dialog dan tingkah mereka terjebak oleh keklisean dialog yang diciptakan Burger sehingga akting baiknya jadi tertutup.
Jika ingin berkecimpung lagi dengan film-film fiksi-sains dewasa muda, Voyagers layak disaksikan. Film ini sedikit banyak mirip Divergent yang ingin berkutat pada insting dasar manusianya, bukan fokus pada aksinya. Namun, bersiaplah untuk keklisean yang mungkin kurang cocok untuk penonton yang telah melewati masa dewasa awal.
]
Baca juga: Nobody (2021): Daya Pikat Rentetan Aksi
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan