Never Rarely Sometimes Always (2020): Kepemilikan Tubuh dan Kekerasan Seksual

0
408

Dalam pandangan umum, tubuh perempuan sejak lama diartikulasikan secara sepihak oleh laki-laki di berbagai lini kehidupan. Melalui Never Rarely Sometimes Always (2020), Eliza Hittman meruntuhkan pandangan itu dan menegaskan bahwa perempuan memiliki hak penuh terhadap tubuhnya sendiri, termasuk isu aborsi. Di sisi lain, kekerasan seksual tiada henti mengancam perempuan.

Never Rarely Sometimes Always menggambarkan sebuah lingkungan yang tidak menguntungkan bagi perempuan. Serupa dengan kenyataan, ada kekerasan seksual yang terus-menerus mengancam perempuan. Kondisi ini yang dirasakan tokoh utama, Autumn (Sidney Flanigan). Bahkan, adegan awal dibuka dengan adegan dirinya dilecehkan secara verbal di depan umum dan tidak ada satu pun orang yang membelanya. Selain itu, tidak ada peluang baginya untuk menuntut pelaku dan mewujudkan keadilan.

Pada adegan selanjutnya, film ini merekam perjalanan Autumn ke New York untuk melakukan aborsi pada usianya yang masih remaja. Dalam “kenekatannya” itu, ia ditemani sepupu perempuannya, Skylar (Talia Ryder), yang masih sebaya dengannya. Begitu mengetahui kandungan Autumn yang kian membesar, Skylar bulat hati menemani sepupunya ke New York dengan uang curian dari toko tempat mereka bekerja. Dalam film ini digambarkan hanya Skylar yang memahami Autumn. Akhirnya, keduanya pergi tanpa izin orang tua dengan menumpangi bus dan uang seadanya.

Selama perjalanan ke New York, mereka mendapatkan pelecehan yang rupanya tidak berbeda dari pengalaman sebelumnya di lingkungan tinggal mereka, Pennsylvania. Bayangkan dalam kondisi hati yang begitu kalut dan hancur, Autumn melihat Skylar “merelakan” tubuhnya kepada pria yang takdikenal untuk uang bertahan hidup di New York. Lingkungan baru menjelma ancaman yang mengerikan dan menyiksa keduanya.

Sementara itu, sorotan film ini tidak fokus pada upaya menemukan ayah dari si bayi dan usaha untuk meminta sang ayah mengakui bayi yang dikandung. Kisah ini menggambarkan kondisi psikis yang dirasakan Autumn mulai dari ketidakpercayaannya pada hasil uji kehamilan, upaya penerimaan bahwa dirinya hamil, hingga keputusan untuk mengugurkan bayinya. Dengan penggambaran yang begitu kompleks, ia menegasikan semua pandangan umum yang membuatnya enggan menggugurkan bayinya.

Ketabuan

Aborsi mungkin masih menjadi hal yang tabu di masyarakat. Autumn memilih opsi menggugurkan kandungan yang sudah besar. Keputusan tersebut mungkin pada beberapa kasus tertentu tidak dibenarkan oleh agama dan pandangan masyarakat umum. Adapun menurut Undang-Undang Kesehatan ada dua kondisi umum yang menyebabkan seseorang dapat menggugurkan kandungannya: kedaruratan medis dan korban pemerkosaan.

Untungnya, dalam film ini, Autumn menemukan rumah sakit yang memiliki fasilitas aborsi yang cukup lengkap dan memahami betul kondisi pasien. Digambarkan, ia mendapat pelayanan kesehatan yang tepat. Sebuah kesempatan yang mungkin tidak didapat oleh semua perempuan.

Di samping itu, film ini menggambarkan tersiksanya para penyintas kekerasan seksual, seperti yang dirasakan Autumn. Salah satunya adalah adegan ia memukul-mukul perutnya hingga lebam dan berharap ia mengalami keguguran. Ia pun memendam semua beban berat tersebut dari keluarganya yang digambarkan tidak mampu melindunginya. 

Sementara itu, meski sorot adegan tidak mengambil potongan kekerasan yang dialaminya, air mata yang takterbendung dari kedua mata Autumn saat menceritakan pengalaman buruknya dengan susah payah kepada dokter sudah membuat kita terenyuh dan ikut terluka. Setelah itu, kita tidak dapat membayangkan kelanjutan hidup Autumn yang mungkin lebih mengerikan dari masa-masa menggugurkan kandungan.

Walhasil, Never Rarely Sometimes Always membawa arus protes terhadap kekerasan seksual yang kerap dialami perempuan. Selain itu, melalui film ini, Eliza Hittman menyatakan bahwa perempuan dapat hak penuh untuk melakukan aborsi sebagai salah satu hak tubuh yang dimilikinya.

Baca juga: Portrait of a Lady on Fire – Upaya Memahami Bersama

Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah