Sejarah dalam wajah sinema takjarang menghadirkan tontonan yang memikat. Alur peristiwa kerap ditampilkan dengan nuansa yang mengikat. Hal tersebut dapat kita saksikan dalam sebuah film drama sejarah Korea Selatan, Namsanui Bujangdeul (The Man Standing Next).
Film yang dirilis pada tahun 2020 ini menceritakan drama politik di lingkaran kekuasaan Presiden Korea Selatan Presiden Park Chung-Hee pada pengujung tahun 1970-an. Kisah ini diadaptasi dari novel non-fiksi berjudul sama yang dikarang Kim Choong-sik. Film ini berfokus pada peristiwa hari-hari menjelang pembunuhan Presiden Park dan isu kudeta di Korea Selatan.
Kisah ini langsung dipantik dengan adegan pengakuan mantan Direktur KCIA (Badan Intelijen Korea), Park Yong-Gak (Kwak Do-Won), bahwa Presiden Korea Selatan telah mengkhianati cita-cita revolusi dalam sidang di Amerika Serikat. Pengakuan tersebut membuat Presiden Park Chung-Hee geram. Park merasa posisinya terancam dan legitimasi politiknya terganggu.
Kemudian, persitiwa tersebut rupanya melahirkan intrik-intrik politik di lingkar kekuasaan Presiden, termasuk melibatkan Direktur aktif KCIA, Kim Gyu-pyeong (Lee Byung-hun). Direkur Kim merupakan tokoh pratogonis dalam kisah ini. Jauh dari nilai pragmatis, ia digambarkan memilih tetap idealis pada cita-cita awal revolusi, yakni membangun tatanan Korea Selatan sebagai negara demokratis yang menjunjung nilai kemanusiaan.
Di sisi lain, sikap otoriter dan “tangan besi” Presiden Park melukai semangat revolusi yang ia yakini. Kecondongan Presiden Park untuk mempercayai Kepala Keamanan Presiden, Kwak Sang-Cheon (Hee-joon Lee) yang digambarkan sebagai penjilat dan licik membuat Kim geram. Luapan emosi Kim ibarat bom waktu yang siap meledak dalam hitungan hari.
Sajian yang Menjerat
Film yang masuk dalam daftar film terlaris di Korea Selatan ini mampu menampilkan kisah dengan suasana yang mencekam sekaligus mendebarkan. Dunia intelijen berupa penyadapan, penculikan, dan pembunuhan mewarnai kisah yang diambil dari skandal Koreagate ini. Intrik-intrik politik yang “saling tikam” pun makin membuat kisah ini takmenoton.
Selain itu konflik batin Direktur KCIA, Kim, mampu menghadirkan nyawa film ini. Kim dihadapkan pada keputusan yang sulit. Di satu sisi ia kecewa dengan blunder Presiden yang melanggar hak asasi manusai meskipun ia harus selalu berpihak kepadanya. Di sisi lain, ia ditekan Amerika Serikat untuk membuat keputusan terkait isu penggelapan uang dan pelanggaran hak asasi manusia yang diarahkan kepada presiden.
Walaupun fokus utama tetap berkutat pada lingkaran kekuasan Presiden Korea Selatan, lingkup politik luar negeri Korea juga dimasukkan, yaitu kondisi poltik global pada tahun 1970-an. Latar ini membantu penonton untuk memahami konteks sejarah dengan lebih terang. Di sisi lain juga penonton dapat memahami motif-motif tokoh dalam film ini.
Beralih pada aspek akting, sebagai pemeran tokoh sentral, Lee Byung-Hun dengan apik menghidupkan tokoh Kim. Hal ini juga tidak terlepas dari kepiawaan Woo Min-Ho, sang sutradara, dalam menggarap penokohan Kim. Selain itu, kepaduan kolaborasi Lee Byung-Hun dengan pemeran lainnya juga makin menguatkan kisah. Seperti diketahui Lee Byung-hun telah bermain di film drama sejarah: Masquerade (2012) dan dua film drama kriminal: Inside Men (2015) dan I Saw the Devil (2010).
Secara keseluruhan, The Man Standing Next mampu menampilkan kisah yang memikat. Hal yang membuatnya menjerat tidak hanya nilai historis dalam film ini, tetapi juga alur penceritaan yang dramatis dan akting para pemeran yang padu. Mungkin, hal yang bisa dikembangkan ialah tawaran fakta sejarah yang lebih luas dan lebih menyorot isu-isu hak asasi manusia. Lepas dari hal tersebut, film ini layak Anda saksikan.

Baca juga: Rise of Empire: Ottoman (2020) – Ambisi Kuasa dan Akhir dari Kota Benteng
Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah