Rise of Empires: Ottoman (2020): Ambisi Kuasa dan Akhir dari Era Kota Benteng

0
2975
Rise of Empires: Ottoman (2020): Ambisi Kuasa dan Akhir Era Kota Benteng

Kisah pembebasan Konstantinopel oleh Fatih Sultan Mehmed pada 1453 secara awam hampir selalu digambarkan heroik, tanpa melihat kompleksitas emosional Sultannya lebih luas. Rise of Empires: Ottoman, dengan model serial dokudrama Netflix, berusaha mengangkat kompleksitas emosional Sultan muda itu, meski gambaran situasi global yang mengelilingi peristiwa saat itu agaknya terkesampingkan. Hal itu yang membedakannya dengan film serupa sebelumnya, Fetih 1453 (2012) besutan Faruk Aksoy.

Ambisi besar Sultan Fatih dan kehausannya dalam merebut kekuasaan Konstantinopel sangat terasa dalam serial garapan Emre Şahin ini. Sosok Sultan berusaha digambarkan sebagai kenyataan historis yang tidak hitam putih. Di samping sosok yang cerdas, poliglot (menguasai banyak bahasa; Yunani, Turki, Hebrew, Arab, Parsi, Latin), dan penyayang keluarga, Sultan digambarkan seorang yang progresif, tidak menyukai konservatisme kalangan tua, ambisius, menyukai perang, bahkan angkuh. Penonton yang tidak terbiasa dengan perbedaan pendapat dalam sejarah dan semata mengglorifikasi sisi “kehebatan” Sultan, kemungkinan akan mengambil jarak dengan serial ini.

Sepanjang enam episode, kita akan melihat dinamika kehidupan Sultan dengan orang-orang di sekitarnya. Misalnya, perbedaan pendapat Sultan dengan penasehat Çandarlı Halil Paşa—yang juga penasehat almarhum ayahnya— sangat terpotret dalam setiap episodenya.

Sultan sebenarnya sudah diangkat ke takhta pada usia 12 tahun. Namun, karena bisikan Halil Paşa dianggap terlalu muda, Sultan turun takhta dan baru naik kembali pada usia 19 tahun saat ayahnya mangkat. Sultan yang pernah turun takhta oleh pandangan dunia masyarakat saat itu akan dinilai lemah. Hal itu menjadi alasan ketidaksukaan Sultan pada Halil Paşa, dan dieksploitasi pada serial ini. Sementara pada Fetih 1453, konflik internal ini berusaha diperhalus. Misal, alasan Sultan untuk tidak mengasingkan Halil Paşa saat ia naik takhta adalah “untuk kebaikan negara”. Gaya tubuh Sultan juga pada momenini di kedua film itu sangat berbeda.

Oleh sebab itu, tindakan saat Sultan marah dan menyampaikan ambisinya tampak natural. Sementara dalam Fetih 1453, karena berusaha disisihkan, sisi tersebut terlihat sangat aneh. Contohnya, seperti saat Sultan ingin memenggal kepala salah satu panglimanya yang gagal menenggelamkan 4 kapal bantuan Roma dengan membawa nama Tuhan.

Hilangnya Gambaran Kondisi Global pada Film

Sangat fokus pada penggambaran sosok Sultan dan akhirnya memakan enam episode membuat film banyak kehilangan konteks. Dalam hal ini, Fetih 1453 masih unggul. Dalam Rise of Empires: Ottoman, tidak ada penggambaran konflik Konstantinopel Romawi Timur yang menganut Kristen Ortodoks dengan Vatikan Roma Italia yang selalu memaksakan kekuasaan Katolik. Saat Romawi Timur menerima akan berada di bawah Katolik Roma karena bantuan perang, masyarakat Konstantinopel saat itu banyak yang membangkang.

Selain itu, hubungan antarkerajaan juga tidak terlalu terpotret di Rise of Empires. Namun, yang tergambarkan relatif baik ialah seluk-beluk penggunaan mata-mata oleh setiap kerajaan yang mengetahui jalan tikus dan kondisi kota yang apa adanya.

Berakhirnya Era Benteng, Dimulainya Era Meriam

Meski pada awal Emre Şahin mengalirkan serial ini agak monoton, proses pengepungan Konstantinopel digambarkan dengan apik. Di Fetih 1453 sebaliknya, mengasyikkan pada awalnya, tetapi kehilangan momentum puncak saat proses pengepungan.

Dengan beberapa narator, Şahin sangat rinci mengalirkan film dalam beberapa babakan periode pengepungan. Dimulai dari tradisi Islam yang mengawali tawaran damai, tetapi ditolak. Lalu, pengepungan berhari-hari tanpa henti dengan serangan meriam dan penyusupan lewat jalur bawah tanah oleh pasukan Balkan Utsmani yang gagal. Dilanjutkan dengan serangan di selat Bosporus yang nahas karena rantai besar yang dibentangkan di laut serta frustasi para prajurit. Hingga yang terakhir, titik balikstrategi cerdik Sultan menaikkan kapal ke bukit untuk masuk ke wilayah laut Golden Horn Konstantinopel. Hal tersebut menciutkan semangat prajurit Romawi Timur yang dilindungi oleh bentangan tembok benteng berlapis dan rantai besar di selat.

Sebelum pengepungan Sultan Fatih, sudah ada 23 usaha serupa dari sultan dan raja lainnya, tetapi gagal. Narasi itu ditampilkan berulang kali dari mulut kaisar Romawi Konstantinus XI, tetapi sisi mistik tanda-tanda kegagalannya juga diangkat. Kaisar Konstantinus Agung yang mendirikan Konstantinopel meramal beberapa hal kejatuhan Romawi, seperti fenomena bulan merah, larinya Tuhan dari Haghia Sophia yang digambarkan munculnya cahaya di atas kubah, hingga jatuhnya pada kaisar yang bernama serupa dengan pendirinya, Konstantinus.  

Dalam sisi Islam, pembebasan Konstantinopel bukan ramalan. Namun, ralaman tersebut merupakan takdir sejarah dan dorongan dari hadis nabi bahwa yang merebutnya adalah panglima serta prajurit terbaik pada zamannya. Dua sisi mistis agama itu ditampilkan dalam plot cerita serial ini.

Namun, pada akhirnya yang berhasil menjatuhkan Konstantinopel secara fisik adalah serangan-serangan meriam. Mitos tembok Konstantinopel sebagai pertahanan terkuat dan tidak terkalahkan berabad-abad pun luntur. Kejatuhan itu membuat masyarakat dunia saat itu berpikir ulang tentang kota berbasis benteng dan mulai mengaggungkan meriam sebagai kekuatan negara. Tafsir yang dinarasikan pada akhir Rise of Empires: Ottoman membuat kita berefleksi dan berpikir bahwa peristiwa ini memang bermakna terhadap jalannya sejarah dunia tentang struktur kota, perubahan teknologi, dan relasinya terhadap kuasa.

Baca juga: Taste of Cherry: Memaknai Hidup yang Absurd

Penulis: Savran Billahi
Penyunting: Anggino Tambunan, Muhammad Reza Fadillah