Melihat Wanita Secara Utuh dari Kacamata Alfonso Cuarón

0
878
Melihat Wanita Secara Utuh dari Kacamata Alfonso Cuarón

Janggal rasanya mengatakan hal ini, tetapi Alfonso Cuarón merupakan sineas yang paling andal menghidupkan karakter wanita. Karakter-karakter wanita utamanya dalam Y Tu Mamá También (2001), Gravity (2013), dan Roma (2018) mencuri perhatian dan dengan mudahnya menarik empati. Hal unik ini ternyata dapat dilihat dari masa lalu Cuarón sendiri.

Dunia perfilman, terutama Hollywood, bisa dikatakan dibangun dari budaya patriarki yang keras. Para pemimpin kreatif, yaitu produser dan sutradara didominasi oleh lelaki. Kita baru menyaksikan pergerakan progresif para sineas wanita pada beberapa tahun ke belakang. Hal ini pun beriringan dengan terkuaknya kekerasan seksual kepada wanita yang dilakukan oleh para pemimpin studio-studio besar Hollywood.

Walaupun sutradara wanita macam Kathryn Bigelow, Sofia Coppola, dan yang masih hangat, Greta Gerwig, sudah menunjukkan tajinya, masih ada kecenderungan mendahulukan sutradara lelaki. Dari penelitian USC Annenberg School for Communication and Journalism pada tahun 2007 hingga 2018, rasio perbandingan sutradara lelaki dan perempuan mencapai 22:1. Selain itu, menilik ajang penghargaan film paling prestisius, Academy Awards, hanya Kathryn Bigelow wanita yang pernah memenangi penghargaan sutradara terbaik.

Di sisi lain, untuk menanamkan karakter wanita dan merepresentasikannya secara utuh dan humanis, para sutradara wanita memang belum bisa benar-benar tunjukkan tajinya. Terbatasnya ruang untuk karyanya didengar menjadi wajar jika para sutradara wanita belum banyak berbicara di kancah internasional. Greta Gerwig punya potensi besar dari dua karyanya Lady Bird (2017) dan Little Women (2019), tetapi ia masih butuh jam terbang. Jadi, jika ada nama sineas lelaki yang bisa menangkap wanita secara utuh dari film-filmnya, dapat diwajarkan.

Alfonso Cuarón nama sutradara itu, sutradara yang paling andal menghidupkan karakter wanita dalam film-filmnya. Para karakter wanita yang hidup di dalam film-filmnya seakan memiliki napas tersendiri, memiliki suara jernih dari lirih wanita yang kerap takdidengar. Isak tangis dan kerasnya kehidupan yang dialami para wanita Cuarón dengan mudah membuat kita berempati.

Y Tu Mamá También: Bukan Pemuas Nafsu

Dalam Y Tu Mamá También, Cuarón sejatinya tidak memberikan panggung utama untuk karakter wanitanya. Film ini berpusat pada persahabatan dua lelaki muda Tenoch (Diego Luna) dan Julio (Gael García Bernal). Namun, ketika sosok Luisa Cortés (Maribel Verdú) masuk, sulit untuk tidak memalingkan pandangan dari dirinya.

Y Tu Mamá También merupakan film yang sangat erotis. Kekonyolan Tenoch dan Julio dalam bertingkah membuat kita merasa sosok Luisa nantinya akan menjadi objek saja. Namun, nyatanya tidak, skenario yang ditulis Alfonso Cuarón dan adiknya, Carlos Cuarón, membuat latar belakang yang begitu kompleks untuk karakter wanita tersebut.

Dikisahkan, Luisa baru diberi tahu oleh suaminya sendiri bahwa ia selingkuh. Gejolak emosi dan keinginan untuk balas dendam membuat Luisa menerima tawaran Tenoch dan Julio untuk ikut berwisata ke pantai. Padahal, ia tahu bahwa kedua lelaki tersebut hanya akan memanfaatkannya untuk pemuasan nafsu mereka.

Dalam perjalanan yang cukup panjang, Luisa terlihat dengan mudahnya mendominasi percakapan bersama Julio dan Tenoch. Tidak seperti saat pertemuan pertama mereka, kedewasaan Luisa yang berusia lebih tua terlihat jelas. Ia seperti ingin menasbihkan sosoknya sebagai pemimpin perjalanan, bukan sekadar penghias saja.

Di balik segala kesenangan perjalanan mereka, ketika sendirian di hotel, Luisa selalu menangis. Ia terlihat kesulitan mengendalikan emosinya untuk menerima perselingkuhan suaminya. Julio dan Tenoch yang awalnya ingin mengintip mesum wanita tersebut malah ikut sedih. Dengan segala beban hidup yang dirasakan oleh Luisa dan tangisan kesedihannya di tengah kesendirian serta gelapnya kamar hotel, secara cerdas, Cuarón mengajak penonton berempati pada Luisa. Tanpa kita sadari, Luisa sudah memiliki kendali utama dalam film ini.

Dalam adegan lain, Luisa mengajak seks Tenoch, Julio cemburu. Kedua lelaki yang bersahabat itu lalu menguak perselingkuhan mereka masing-masing ke kekasihnya masing-masing dan bertengkar. Luisa yang berada di tengah-tengah situasi ini coba mengonsolidasi dengan berhubungan seks dengan Julio dan melanjutkan perjalanan. Ternyata hal ini juga membuat Tenoch cemburu. Situasi merumit, Luisa marah dan keluar dari mobil di tengah perjalanan. Mau tidak mau, Tenoch dan Julio harus menyelesaikan rumitan mereka untuk Luisa.

Sepanjang hidupnya, Luisa hanya menerima ke arah mana suaminya membawanya dan diam-diam ia telah mengetahui perselingkuhan suaminya, berulang kali. Kali ini, ia ingin memiliki kendali penuh terhadap hidupnya. Perselisihan Julio-Tenoch takkan menghentikannya. Ketika kedua lelaki tersebut hendak pulang ke rumah, Luisa masih ingin melanjutkan wisatanya.

Diketahui bahwa Julio-Tenoch taklagi berteman pulang dari wisata bersama Luisa. Mereka bertemu sekali lagi, tetapi ada kecanggungan luar biasa. Mungkin disebabkan dengan pertengkaran mereka, atau mungkin fakta bahwa mereka juga berhubungan seks satu sama lain saat bersama Luisa. Yang pasti, bertemu wanita tersebut mungkin hal terbaik dalam hidup mereka berdua, sebuah proses pendewasaan yang diperlukan.

Terselip juga pembicaraan Luisa dalam pertemuan terakhir mereka. Julio mengabarkan bahwa wanita tersebut meninggal sebulan setelah wisata mereka. Usut punya usut, Luisa ternyata menderita kanker stadium tinggi dan waktu hidupnya taklama lagi. Ia mengetahui hal ini sesaat sebelum perjalanan wisatanya.

Gravity: Makna Hidup dalam Tekanan Hebat

Sekelompok astronot NASA yang sedang mereparasi teleskop Hubble mendapatkan tragedi takterduga. Rusia meledakan satelitnya dengan misil sehingga pecahannya membahayakan satelit lainnya karena terus mengorbit di bumi. Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock), astronot wanita yang sedang meningkatkan perangkat keras Hubble, cukup beruntung berada di luar stasiun luar angkasanya. Ia tidak terkena dampak pecahan satelit tersebut.

Kali ini Cuarón menempatkan karakter wanitanya sebagai pemeran utama. Kita mungkin melihat Ryan sebagai sosok yang beruntung, tidak terkena dampak dan diselamatkan oleh rekannya, Matt Kowalski (George Clooney). Di balik semua itu, karakter Ryan dibuat dengan latar belakang yang pahit.

Kita melihat Ryan sebagai sosok yang taksuka kebisingan dan terlihat penyendiri. Dikuak oleh Matt, ternyata astronot wanita ini memiliki duka kehilangan anak perempuannya. Tidak ada sosok yang menunggu kepulangannya di bumi, Ryan sebenarnya rela jika mati di luar angkasa.

Ryan merupakan sosok ibu yang merasa hidupnya hampa tanpa anaknya. Di satu sisi, dorongan dan pengorbanan Matt mungkin membuat wanita tersebut bangkit. Namun, untuk tetap bertahan saat kemungkinan hidup sangat kecil dan hampanya motivasi, butuh keberanian besar. Ia membangun motivasinya sendiri, mengeluarkan dirinya dari tempat tergelap dan tersunyi. Sebuah keberanian yang hebat.

Roma: Latar Belakang Cuarón dan Wanita

Dalam film Roma, kita melihat sebuah fenomena fantastis dari perjalanan hidup wanita yang mungkin terlihat biasa saja dan hadir di sekitar kita. Hidup-mati bukan perkara utama dalam film ini, tetapi melihat momen yang membangun kita menjadi manusia. Cuarón mengajak kita melihatnya dari sudut pandang seorang pembantu rumah tangga bernama Cleo (Yalitza Aparicio).

Cleo tampak seperti pembantu biasa yang cukup senang dalam pekerjaannya. Ia bekerja untuk Sofía (Marina de Tavira) yang memiliki empat anak yang masih muda, suami yang sibuk dengan pekerjaan, dan ibunya, Theresa. Cleo taksendiri membantu pekerjaan rumah tangga keluarga besar ini,  ada Adela (Nancy García) yang juga bekerja bersamanya.

Pada akhir pekan, Cleo dan Adela berlibur. Adela memperkenalkan Cleo pada Fermín, dan keduanya menjalin cinta. Hasil dari hubungan mereka, Cleo hamil. Sayang, saat memberikan kabar ini ke kekasihnya, wanita tersebut malah ditinggal pergi.

Di kisahkan, Keluarga Sofía tidak memaksa Cleo untuk bekerja keras, mereka malah sangat baik menyambut kehamilan pembantunya. Bagaimanapun, Cleo tetap bekerja dan bahkan ikut berpergian pada kumpul keluarga Sofía karena anak-anaknya inginkan kehadirannya. Kondisi negara yang sedang tidak kondusif dan pemberontakan ada di mana-mana berdampak pada Cleo, ia mengalami keguguran.

Di saat kesedihan yang luar biasa menimpa Cleo, Sofía justru mendapat kabar perselingkuhan suaminya. Kondisi emosional Sofía yang tidak jelas membuat kehadiran Cleo semakin dibutuhkan oleh anak-anak. Sayangnya, pembantu wanita ini merasa semakin hampa karena duka yang takbisa ia sembunyikan dan takada tempat untuk bersandar.

Dari kacamata Cuarón, Cleo perempuan paling tegar yang pernah ia gambarkan. Ia mengalami berbagai macam tekanan hidup yang berkali-kali menghancurkannya, tetapi wanita ini berulang kali juga bangkit. Saat Cleo terlihat sudah mencapai batasnya, Sofía dan anak-anaknya merangkulnya, mengingatkan kita betapa pentingnya kebersamaan dan saling menolong.

Ada suasana yang sangat romantis yang dibangun Cuarón dalam menampilkan Cleo. Segala perangai karakter pembantu ini, seperti cara ia berbicara dan tersenyum, rasa tegar menghadapi segala cobaan, dan tangisnya, membuat rasa empati kita takbisa terbendung. Keromantisan ini bukan tanpa sebab, Cuarón menciptakan Roma sebagai surat cintanya terhadap pembantu rumah tangganya, Libo.

Ya, Roma merupakan kilas balik sineas asal Meksiko tersebut terhadap masa kecilnya. Cleo merupakan Libo dari kacamata Cuarón. “Saya biasa memanggilnya Mama,” ujar Cuarón kepada The Atlantic.

“Ada kekosongan dalam hidup saya, ada kekosongan dalam hidup ibu saya dan juga ada kekosongan dalam hidup Libo,” tambah Cuarón, “dan kekosongan ini terutama datang dari lelaki.”

Pernyataan di atas merupakan pecahan puzzle pelengkap dari teka-teki perlakuan Cuarón terhadap wanita dalam film-filmnya. Film Roma menegaskan absennya sosok lelaki sehingga para wanita mengisi lubang itu dan memimpin keluarga. Beberapa problem yang terjadi dari film ini pun sebagian sumber utamanya ialah lelaki: perselingkuhan, keengganan berkomitmen dan ketidakhadirannya dalam kehidupan keluarga. Efeknya, karakter-karakter wanita dalam film Cuarón pun seakan mendapatkan beban yang paling hebat.

Sadis memang, tetapi di sinilah sisi feminin Cuarón bermain. Ia membangun empati yang begitu matang terhadap karakter-karakter wanitanya dengan kisah latar belakang dan gaya bercerita yang konkret serta konstruktif. Dari siksaan ini, Cuarón melihat sosok wanita dalam filmnya begitu tegar, walaupun jatuh selalu mampu untuk bangkit kembali. Ia berhasil menampilkan kekuatan wanita secara utuh, dari kerentanan mereka justru lahir kekuatan yang takterduga.

Saat sejarah sinema yang begitu maskulin, film-film Cuarón bisa dijadikan modul untuk para sineas wanita yang sedang membangun kariernya. Penonton pun bisa melihat representasi wanita yang begitu mendekati kenyataan, yang terlepas dari konstruksi Hollywood. Menarik sekali jika ke depannya kita dapat melihat lebih banyak sudut pandang yang mungkin lebih utuh dari Cuarón dari para sineas wanita.

Baca juga: Dekade 2020: Akhir Kejayaan Film Pahlawan Super?

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan