Taste of Cherry (1997): Memaknai Hidup yang Absurd

1
2248
Taste of Cherry (1997) - Memaknai Hidup yang Absurd

Dalam Taste of Cherry, Abbas Kiarostami membuat kisah tentang penderitaan manusia dalam keterlemparannya ke dunia. Film ini mengajak kita untuk bersimpati pada tokoh yang berniat mengakhiri hidupnya. Melalui konflik batin si tokoh, pemaknaan mengenai hidup tersingkap.

Taste of Cherry berpusat pada kisah tentang pria yang taklagi muda bernama Badii. Ia berencana mengakhiri hidupnya di daerah lahan industri yang tandus di Iran. Awal adegan dibuka dengan ketekunan Badii mencari seseorang dari dalam mobil yang terus berputar-putar di sekitar daerah tersebut. Sepanjang film, ia membujuk beberapa orang untuk memuluskan niatnya: menguburnya di bukit daerah tandus.

Pertemuan dengan orang-orang asing di daerah tersebut memancing pembicaraan mengenai makna hidup. Badii bertemu dengan prajurit muda, seminaris asal Afghanistan, dan pria berumur yang berprofesi sebagai taksidermis (perajin yang mengawetkan hewan sehingga tampak hidup). Dalam percakapan satu per satu di dalam mobil dengan masing-masing orang asing itu, Badii menyatakan bahwa ia telat bulat hati untuk melakukan aksi “bunuh diri”. Ia menyampaikan niatnya tersebut tidak secara langsung, tetapi dengan perlahan-lahan.

Bagi orang-orang yang ditemuinya, keinginan Badii memukul telak nilai moral mereka. Meski dengan iming-iming imbalan uang yang tidak sedikit, ada nilai moral yang teramat berat untuk dilanggar, yaitu membantu seseorang untuk mengakhiri hidup. Seolah muncul dilema, ada rasa tidak melarang karena menghargai hak Badii, tetapi tidak menganjurkan sebab melanggar nilai etis.

Dalam pengisahan, Kiarostami terkesan menyajikannya dengan datar sebab takada dramatisasi yang berlebihan. Kiarostami menggambarkan kisah ini tidak secara fantastis, tetapi realis. Tidak ditemukan kilas balik masalah yang membuat tokoh utama ingin mengakhiri hidup ataupun ledakan emosi yang hebat. Bahkan, takada adegan masa lalu yang membuat tokoh utama “terbentur-bentur” dengan masalahnya. Dapat dikatakan bahwa Abbas menggambarkannya dengan potret kenyataan.

Hal yang dirasakan Badii ialah probem kenyataan sehari-hari manusia dalam keberadaanya. Badii merasa bahwa kehidupan amatlah absurd. Ia takmenemui makna dalam keterlemparannya ke dunia. Satu-satunya cara yang menurutnya tepat untuk keluar dari kehidupan yang serbaabsrud ini, yaitu  mengakhiri hidup. Di tengah gelombang masalah eksistensial, Badii merasa perlu menentukan waktu ajalnya sendiri daripada hanya berserah hingga ajal menemuinya.

Mengecap Rasa Ceri

Saat berdialog dengan seminaris, Badii memintanya untuk tidak menceramahinya dan memberi saran. Ia menganggap orang-orang memang mampu bersimpati, tetapi tidak akan pernah bisa merasakan seluruh pengalaman eksistensial yang ia alami. Alhasil, ajaran pantas dan takpantas taklagi membuatnya merasa bersalah. Ia menegasikan nilai tersebut.

Dalam percobaan kesekian, ia bertemu dengan pria tua yang belakangan ia ketahui sebagai taksidermis. Lelaki itu coba bersimpati dan memahami Badii. Ia mengaku pernah di posisi Badii, yaitu pernah melalukan upaya bunuh diri. Upayanya berkali-kali gagal. Kemudian, singkat cerita, ia merasakan lezatnya buah ceri saat sedang melakukan upaya mengakhiri hidupnya. Pengalaman indrawi ini yang membuat taksdermis tersebut memiliki elan hidup.

Dengan kisah itu, Kiarostami menebalkan gagasan bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki pemaknaan yang bervariasi mengenai hidup. Beragam makna hidup tersebut, misalnya, ialah untuk menebarkan kebaikan, menjalani semua penderitaan, dan untuk hal lainnya yang takpernah terpikirkan orang lain. Sementara itu, tindakan memaknai bahwa hidup ini takbermakna ialah jenis pemaknaan lainnya.

Pemaknaan tersebut yang membuat manusia tetap menjalankan rutinitas hidup yang terbilang absurd, layaknya kisah mahsyur Sisifus dalam mitologi Yunani. Absurditas ini memaksa kita untuk merenung dan memaknai hidup secara kontinu, sekaligus memahami kembali keterlemparan manusia di dunia yang serbamembingungkan ini.

Akhirnya, melalui Taste of Cherry, sutradara asal Iran ini mampu menyingkapkan bahwa manusia mengalami masalah eksistensial dalam hidupnya yang serbamisteri ini. Sebuah pengalaman otentik yang takmampu secara objektif dipahami orang lain. Hal ini membuat manusia terus mereproduksi pemaknaanya terhadap kehidupan.

Infografik Taste of Cherry (1997) - Memaknai Hidup yang Absurd oleh ulasinema

Baca juga: Anomalisa: Rutinitas Menjelma Manekin dan Sindrom Fregoli

Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah