Review Film Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga (2020)

0
943
Review Film Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga (2020)

Menjinakkan sosok Will Ferrell menjadi tantangan terbesar bagi David Dobkin dalam Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga. Maklum, aktor komedi tersebut mungkin sudah melewati masa jayanya. Apalagi, film ini ditulis oleh sang aktor sendiri.

Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga berkisah tentang sepasang musisi yang bercita-cita menjuarai kontes musik tersohor Eropa, Eurovision. Kedua musisi yang berasal dari Húsavík, kota kecil di utara Islandia tersebut ialah Lars Erickssong (Will Ferrell) dan Sigrit Ericksdóttir (Rachel McAdams). Mereka berdua, terutama Lars, memiliki tekad keras untuk sekadar tampil di Eurovision. Sayangnya, musikalitas mereka di bawah rata-rata dan para penduduk kota tidak mendukung mereka, terutama ayah Lars, Erick (Pierce Brosnan).

Kejadian demi kejadian aneh pun terjadi. Pihak penentu dari Finlandia memilih Lars dan Sigrit, yang menamai diri mereka Fire Saga, secara acak. Mereka pun tampil di kontes tingkat nasional dan penampilan mereka hancur. Walaupun begitu, mereka tetap dipilih karena para peserta meninggal saat pesta usai penampilan yang tidak dihadiri Lars dan Sigrit.

Maju ke kontes Eurovision membuat Lars dan Sigrit terbawa suasana. Mereka berdua menjadi sering berselisih. Saat Lars mengincar kesempurnaan, Sigrit kehilangan sosok Lars yang dulu dan didekati oleh kontestan Eurovision lainnya, Alexander Lemtov (Dan Stevens). Alex mengajak Sigrit berduet dengannya, tetapi ia masih ingin bersama Lars karena mencintai pria tersebut sedari kecil.

Akhiran menyenangkan pun tercapai dan film diselesaikan dengan berbagai macam keklisean. Menormalkan hal-hal klise dalam film komedi mungkin hal yang lumrah, tetapi film ini terlalu banyak menggunakan unsur tersebut. Mulai dari pemilihan Fire Saga secara acak, meledaknya kapal, hingga masuknya mereka ke babak final walau tampil kacau pada babak semifinal.

Walau unsur komedi terasa sangat keras dengan keklisean dan koinsiden-koinsiden aneh dalam film ini, Dobkin sepertinya kurang mampu menetapkan nuansa film. Lebih tepatnya, ia kurang mampu mengendalikan banyolan-banyolan Ferrell dan menyeimbangkan drama dan artistik dalam film ini. Di satu sisi, kita melihat film komedi enteng lengkap dengan teriakan-teriakan Ferrell, di sisi lain, kita melihat adegan panggung yang penuh artistik, dan satu sisi lagi ada roman murahan.

Bagi penggemar Ferrell, banyolan dalam bentuk teriakan bodohnya bisa dengan mudah membuat kita terbahak-bahak. Citra Ferrell seperti ini telah terbentuk sejak ia menjadi pembawa berita dalam Anchorman: The Legend of Ron Burgundy (2004). Namun, dalam film ini, karakter Ferrell mungkin lebih mirip Chazz yang ia perankan dalam Blades of Glory (2006).

Bisa dibilang Ferrell memang tidak banyak menawarkan hal baru, kecuali aksen Nordik-nya saja. Dalam menggunakan aksen Nordik, Ferrell dan McAdams pun tidak konsisten. Mereka masih terdengar sangat beraksen Amerika, terutama ketika Ferrell berteriak, tetapi berusaha (atau terpaksa) untuk beraksen Nordik. Yang mampu konsisten mempertahankan aksen Nordik dengan baik ialah Brosnan.

Duet Ferrell dan McAdams yang layaknya si cantik dan si buruk rupa diharapkan bisa menghadirkan komedi tersendiri. Saat mereka memang berniat untuk menampilkan candaan, keduanya memang berhasil. Mimik plonga-plongo mereka menciptakan keserasian tersendiri. Sayangnya, saat mereka harus beromansa, nuansa film menjadi aneh. Entah, Dobkin ingin menampilkan adegan seperti apa karena jika ingin romantis terasa murahan dan jika ingin satir terasa tanggung.

Hal paling menarik dalam film ini datang dari penampilan saat bernyanyi. Pergerakan kamera sangat dinamis dan artistik, berbeda dengan sebagian besar film yang statis serta pemotongan-pemotongan yang sangat biasa. Adegan menarik pertama adalah adegan saat balas-balasan bernyanyi pada pesta di rumah Alex. Sementara adegan menarik lainnya ialah penampilan di atas panggung Alex.

Selain karena karakternya diharapkan kuat di dalam film, Dan Stevens pun memberikan performa yang kuat sebagai Alex. Ia musuh sempurna untuk film komedi, sangat bertentangan dengan karakter Lars sehingga menimbulkan pertentangan yang adekuat. Walaupun menjadi antagonis, karakter Alex diberikan akhiran pas karena tidak pernah benar-benar melakukan hal di luar batas.

Untuk film komedi, 2 jam merupakan waktu yang cukup lama dan seharusnya ada perjalanan yang lebih menarik lagi. Nyatanya, karena kebingungan dalam memutuskan penuansaan film yang dipilih, kepadatan film ini menjadi hilang. Usaha membuat Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga menjadi dramatis dan artistik membuat nuansanya tidak seimbang. Dobkin pun takmampu mengendalikan Ferrell, baik dari skenario yang ia tulis bersama Andrew Steele, maupun akting eksplosifnya.

Baca juga: See You Yesterday: Konsekuensi Paradoks Kakek

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan