Frank Capra: Nilai Sentimental pada Era “The Great Depression”

0
930
Frank Capra: Nilai Sentimental pada Era

Amerika pernah susah dan jatuh miskin? Kalimat itu rasanya mustahil dipercaya sekarang mengingat negara “Paman Sam” merupakan poros dunia. Namun, jika kalian ingin membuka sedikit buku sejarah, atau mencari-cari di internet, hal tersebut bukanlah sesuatu yang asing.

Pada dekade 1930-an, Amerika dilanda krisis ekonomi—yang umum disebut The Great Depression. Krisis tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat Amerika kesulitan mendapatkan kerja. Saat itu, tingkat pengangguran mencapai 20%. Bahkan, yang bekerja pun belum tentu hidup berkecukupan.

Justru, yang menjadi ironi: dunia perfilman justru berkembang pesat pada era ini. Seperti dikutip dari Dixon & Foster (2008), pada tahun 1930, 90 juta orang Amerika pergi ke bioskop setidaknya sekali dalam seminggu. Banyak keluarga, terutama di kota besar, secara virtual, hidup dalam film, menonton film yang sama berulang kali pada penayangan kedua kalinya di “grindhouses—semacam bioskop yang menayangkan film eksploitasi dan erotis. Dalam kasus ini mereka menayangkan film-film yang sudah habis masa tayangnya dan ditayangkan kembali dengan harga yang lebih murah.

Pada masa itu, kegiatan menonton film dapat menyiasati dinginnya udara luar ruangan ataupun untuk kabur dari keterbatasan rumah. Pun saat ekonomi sedang hancur, banyak yang tidak punya rumah dan tidak punya pekerjaan, teater hadir menawarkan hiburan yang tak mahal untuk menghabiskan waktu di dalam ruangan.

Dapat dilihat dalam kutipan tersebut bahwa dunia perfilman dapat menawarkan pengaburan atau eskapisme— kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan di dalam khayal atau situasi rekaan.  Maka jangan kaget bila banyak film pada era tersebut terlihat tidak kompleks dan sangat menyenangkan karena tujuannya memang untuk menghibur. Namun, tidak sedikit juga para sineas saat itu yang mengkritik kehidupan sosial dengan cara yang mudah dipahami.

Salah satu sineas yang paling bersinar pada saat itu adalah Frank Capra. Bagaimana tidak, ia meraih 11 nominasi Oscar, dan 5 di antaranya merupakan nominasi sutradara terbaik. Dari 11 nominasi, ia bawa pulang 5 piala, 3 di antaranya penyutradaraan terbaik.

Film-film Frank Capra bisa disebut sebagai sentimen orang kecil terhadap orang besar. Mari kita bahas tiga filmnya pada era tersebut, yakni It Happened One Night (1934), Mr. Deeds Goes to Town (1936) dan Mr. Smith Goes to Washington (1939).

MV5BMTk3Mjc4MzAxMV5BMl5BanBnXkFtZTgwODQwNTQ3MTE@._V1_SY1000_CR0,0,1235,1000_AL_

Pada It Happened One Night, tokoh Ellen “Ellie” Andrews (Claudette Colbert) yang merupakan anak orang terkaya di Amerika, Alexander Andrews (Walter Connolly), kabur dari ayahnya karena tidak diperkenankan menikahi pilot “King” Westley (Jameson Thomas). Alexander kira, Westley melamar Ellie hanya untuk uangnya. Ellie pun kabur dari “penjara”-nya, yakni kapal milik ayahnya untuk mengejar Westley di New York. Padahal, di kapal tersebut Ellie diberikan kemewahan apa pun.

Ellie pun menaiki bus malam yang harganya lebih murah dan biasa digunakan oleh orang-orang susah untuk bepergian. Di sana ia bertemu Peter Warne (Clark Gable)— jurnalis serabutan yang baru saja dipecat. Papasan dengan Ellie pun jadi “aji mumpung” untuk Peter sebab bisa membuatnya kembali dipekerjakan jadi wartawan. Lantaran Peter memanfaatkan Ellie sebagai objek beritanya, sementara Ellie butuh Peter karena ia tidak pernah merasakan sulitnya kehidupan. Pada akhirnya mereka jatuh cinta.

Cerita seperti ini mungkin banyak di “ftv” Indonesia saat ini, tetapi dengan pemaknaan yang jauh lebih sedikit. Capra sangat senang memasukkan sentimen orang kecil dengan orang besar. Misalnya, Ellie yang tadinya, apa saja keinginannya mudah dikabulkan justru mendapatkan kesulitan ketika melepas diri dari kehidupannya dan menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Misalnya, ketika dia harus menjaga diri dari orang-orang sekitar pada bus malam mengingat dandanannya yang glamor dan mengundang perhatian. Ia bahkan diselamatkan oleh Peter yang bermuka dua.

Walaupun begitu, Peter-lah yang mengenalkan Ellie pada dunia nyata. Salah satunya adalah ketika Peter menunjukkan Ellie untuk memakan apa saja ketika lapar, Peter membawakan Ellie wortel hasil curiannya di perkebunan. Kesulitan Ellie untuk mencapai tujuannya ke New York justru mengajarkan dia untuk menjadi manusia seutuhnya. Peter sendiri juga menerima pelajaran berharga dari pertemuannya dengan Ellie, yakni prinsip. Peter yang tadinya tidak mempunyai keteguhan hati dan kesetiaan, pada akhirnya pun punya prinsip dengan hanya meminta uang sebesa 39,6 dolar, biaya untuk ganti rugi uang saat merawat Ellie. Padahal, Peter ditawari uang ribuan dolar oleh Alexander, tetapi ia tak menginginkannya.

MV5BMTgxODAxNzE0NF5BMl5BanBnXkFtZTgwMDQ0MzU5MTE@._V1_SY1000_CR0,0,1325,1000_AL_

Dalam film Frank Capra yang lain, Mr. Deeds Goes to Town. Deeds, pria yang berasal dari sebuah kota kecil, tiba-tiba dapat warisan dari pamannya yang sangat kaya, tetapi tak ia kenal. Deeds pun dipanggil untuk mengambil warisan tersebut, tetapi Deeds sepertinya tidak begitu tertarik. Bagaimanapun, ia dibawa ke kota besar untuk menjalankan kehidupan pamannya yang kaya. Deeds tidak mengerti apa-apa mengingat dia hanya seorang penulis kata-kata indah pada kartu ucapan di tempat asalnya. Deeds pun hanya menjalankan kerjaan berdasarkan prinsip yang ia kenal.

Mirip dengan Ellie, Deeds juga ditemploki oleh wartawan, kali ini perempuan bernama Louise “Babe” Bennett yang menyamar jadi buruh miskin dengan nama Mary Dawson untuk mendapatkan empati Deeds. Louise pun menyedot cerita-cerita Deeds dari sudut pandang yang menjatuhkan Deeds dan menganggapnya sebagai orang kampung bodoh. Di sisi lain, Louise justru jatuh cinta dengan kejujuran dan keteguhan hati Deeds.

Deeds, dengan uangnya, tiba-tiba melakukan sesuatu yang sangat mengejutkan. Ia membeli lahan seluas 10 hektar untuk dijadikan pertanian dan mempekerjakan orang-orang tunawisma. Bagi orang kota besar, tentu pemikiran Deeds merupakan kegilaan. Namun, bagi Deeds, hal tersebut merupakan satu kebaikan yang dapat dilakukan, daripada memusingkan menjaga uang 20 juta dolar agar tak ke mana-mana. Deeds pun dibawa ke persidangan dan dituntut tidak kompeten memegang warisan pamannya karena kelainan mental. Yang menuntut adalah istri muda pamannya, yang menurutnya punya hak lebih besar untuk mendapat warisan.

MV5BMjQwMTU5NzA5Ml5BMl5BanBnXkFtZTgwNjk4Nzc5MTE@._V1_SY1000_CR0,0,1371,1000_AL_

Kasus Deeds yang merupakan orang kampung “katro” juga dialami oleh Jefferson “Jeff” Smith (James Stewart). Jeff adalah seorang pemimpin pramuka anak yang tiba-tiba diangkat jadi senator. Oleh rekan senat satu daerahnya, Hubert “Happy” Hopper (Guy Kibbee), Smith diharapkan dapat diperalat untuk memeroleh suara saat pengambilan keputusan senat. Watak Smith yang baik juga diharapkan menimbulkan kesan yang baik juga terhadapnya. Karena tidak tahu mesti melakukan apa, Smith disuruh untuk merancang undang-undang agar sibuk.

Apa daya, Smith justru dianggap sebagai orang kampung bodoh juga seperti Deeds. Apalagi setelah ia mengajukan rancangan undang-undang untuk membangun perkemahan di perhutanan rumahnya. Padahal, tanah itu sudah dirancang untuk membangun bendungan oleh Senator Paine (Claude Rains) yang merupakan teman dari ayah Smith.

Smith pun memperjuangkan rancangan undang-undangnya mati-matian. Seluruh senator lain meninggalkan ruangan sidang karena rancangan bendungan milik Paine nantinya akan membawa untung besar bagi mereka semua. Namun, Smith tetap gigih untuk mempertahankan rancangannya dan bersikeras tidak meninggalkan ruangan agar rancangannya tidak ditolak. Lagi, kepolosan Smith dengan sudut pandang orang kampung yang lebih mementingkan kebaikan bersama daripada kebaikan sendiri dinilai gila oleh orang kota.

Ada beberapa hal yang sangat kentara yang ingin ditunjukkan Frank Capra pada film-fiilmnya. Yang pertama adalah The Great Depression yang hanya terjadi pada orang-orang kecil saja. Dapat dilihat bahwa orang-orang kaya di zaman itu tetap hidup bahkan melebihi kecukupan mereka. Untuk orang kaya atau orang kota besar, kehidupan hanyalah bisnis semata yang harus dimenangkan secara personal.

Hal tadi membawa kita pada hal kedua, yakni nilai-nilai dasar kehidupan. Bagi orang kota besar, kehidupan adalah kemenangan personal. Sementara bagi orang kota kecil atau orang kurang berkecukupan, kehidupan adalah saling berbagi untuk mencapai tujuan bersama. Misal, keinginan Deeds untuk mempekerjakan tunawisma, atau keinginan Smith untuk tetap menjaga daerah asalnya asri dan menyediakan tempat untuk anak-anak menikmati alam dengan membangun daerah kemah.

Tujuan Ellie dan Peter sebenarnya agak berbeda dan unik. Ellie yang orang kaya punya tujuan untuk mengejar jodohnya, Peter butuh Ellie untuk menyelamatkan kariernya. Mereka pun mendapatkan “tujuan bersama” mereka sama-sama menolong diri untuk ke New York. Walaupun begitu, Peter gagal mengantar Ellie ke New York karena dikira ia meninggalkan Ellie karena pergi saat malam. Peter pun tidak ingin mengambil hadiahnya karena telah punya prinsip.

Sentimen selalu muncul di antara satu sama lain seperti tidak menganggap yang lainnya wajar. Tentu Peter dianggap tak wajar karena menolak uang ribuan dolar. Begitu juga Deeds yang dianggap tak wajar karena menghamburkan uang 20 juta untuk mempekerjakan tunawisma. Juga Smith yang menolak uang pembangunan bendungan agar menjaga tempat asalnya tetap asri dan membuka lahan kemah untuk anak-anak.

Frank Capra

Frank Capra selalu memberi sentimen seperti itu untuk memisahkan dua kubu yang ingin ia tentang. Lalu, Capra “memenangkan” para orang kecil atau nilai yang dibawa mereka karena dianggap memiliki nilai moral dan prinsip yang sepertinya telah hilang ditelan gedung-gedung tinggi kota besar. Dengan cara itulah Capra menghibur para kaum proletar sehingga mereka merasa diri mereka dihargai. Untuk kaum atas, mereka yang lebih banyak berpikir, mengamini film-film Capra karena mereka merasakan hal-hal yang hilang dari kehidupan perkotaan. Cara seperti inilah yang sudah jarang ditemui pada film-film sekarang, yang hiburan universal-nya dapat menyentil kehidupan sosial.

Dibandingkan dengan film Frank Capra, Film-film sekarang cenderung memberi hiburan dari petualangan fantastis dan aksi bombastis dengan efek visual yang kental. Lalu, yang ingin menampilkan kehidupan nyata kadang coraknya terlalu serius dan kurang dapat menggapai seluruh lapisan masyarakat. Mungkin inilah keunggulan film Frank Capra pada masanya hingga namanya terus dikenang hingga saat ini. I salute you, Mr. Capra!

Penulis : Muhammad Reza Fadillah
Penyunting : Anggino Tambunan
Sumber gambar : IMDb.com