Mahatma Gandhi (1869—1948), seorang pemimpin pergerakan kemerdekaan India, keukeuh buktikan negaranya mampu mandiri; sumber daya alam bisa diolah sendiri dan tetap lestari. Air laut jadi garam. Kapas yang dipintal tekun jadi pakaian. Alhasil, perwakilan penjajah Inggris di India kalang-kabut; monopoli Inggris terhadap dua barang itu terganggu. Hal tersebut tergambar dalam Gandhi (1982).
Semangat untuk lepas dari ketergantungan itu terwujud dalam film biopik Gandhi (1982). Selain semangat berdikari dan berjuang tanpa kekerasan (non-violence), gagasan penghematan produksi dan konsumsi yang ditirukan dalam film ini merupakan sesuatu yang asri.
Sepanjang dua jam lebih, kita akan terbiasa melihat Gandhi memintal benang dengan alat tradisionalnya. Sampai-sampai, ia dapat komentar, “you’re the only man I know who makes his own clothes,” sepotong dialog Margareth, wartawan asing, saat mewawancarai Gandhi.
Lawan Keserakahan
Ada adegan yang tersurat: perlawanan kecil itu nyata, yaitu saat Ghandi memimpin aksi long march; penolakan larangan mengumpulkan dan membuat garam yang dibuat Inggris. Dalam film dikisahkan, mula-mula aksi yang dipimpin Ghandi hanya menyertakan ratusan manusia kemudian jumlahnya kian bertambah menjadi ribuan. Mereka ke bibir pantai dengan keyakinan. Akhirnya, garam berhasil diproduksi kemudian dijual murah. Tidak ada monopoli.
Kemenangan melawan dan suka-cita tak bertahan lama. Larangan keras kemudian diberlakukan Inggris. Alih-alih mengikuti aturan, sebagian masyarakat tetap bersikeras untuk membuat garam. Tentara Inggris menertibkan paksa tanpa ampun, tetapi “tubuh-tubuh yang berdarah itu” tetap membebaskan diri dari niatan membalas. Adegan ini menyanyat nilai kemanusian—lambat laun membuat tentara Inggris sadar dengan sendirinya.
Isu yang nampak pada film ini sangat relevan—mungkin selamanya begitu. Di Indonesia, ada Mama Aleta—pejuang lingkungan yang menolak pembangunan tambang marmer dengan pendekatan tanpa kekerasan. Ia dan masyarakat Mollo, Kabupaten Timor Tengan selatan, NTT melakukan aksi menenun batu di area yang akan dijadikan tambang. Dengan kerja keras dan pengorbanan yang luar biasa, Mama Aleta mampu mengusir industrialisasi yang mengancam kelestarian alam di NTT.
Tentu masih banyak lagi tokoh yang sudah berjuang dan sedang berjuang melawan keserakahan manusia dalam menguasai sumber daya alam. Perjuangan mereka akan lestari meski dihadang oknum: masyarakat atau pemerintah yang tak bertanggung jawab.
Sederhana itu Lestari
Mirisnya, sebagian manusia merasa dirinya dapat memenangkan dan menguasai alam. Padahal, ketika alam rusak, manusia juga di pihak yang kalah dan kehilangan. Manusia merupakan bagian dari alam itu.
Dalam buku Kecil Itu Indah (1973), F. Schumacher cukup banyak mengutip Ghandi, menilai kekeliruan pada ekonomi modern, yaitu menganggap urusan produksi sudah kelar. Bahan dari alam yang tak tergantikan dianggap sebagai pendapatan; bukan modal. Jadinya, pemanfaat sumber daya alam amatlah boros, pun tak ada ambang batas sehingga tak ada kesadaran kelestarian lingkungan. Kemudian, terjadilah kecemburuan antarnegara atas kepemilikan bahan baik tak tergantikan maupun tergantikan yang disediakan oleh alam yang pemurah.
Mungkin apa yang dilakukan Gandhi, diperankan oleh Ben Kingsley, saat itu dianggap aneh. Ketika semua bangsa berlomba dalam pemutkahiran produksi, pria lulusan hukum itu serasa mendefinisikan kembali arti ekonomis. Kebutuhan melandasi produksi. Kalau bisa berhemat kenapa mesti menghambur-hamburkan. Misalnya, baju yang dikenakannya adalah baju yang itu-itu saja.
Schumacher mengritik ekonomi pada masa modern lebih mementingkan tujuan yang diraih ketimbang cara. Lalu, yang tak berguna dianggap baik, yang berguna dianggap tidak baik. Apa yang ditunjukkan di dalam film ini: Inggris memonopoli garam yang tersedia secara gratis di alam India.
Schumacher juga menilai tindakan untuk meniru industrialisasi Barat merupakan hal yang keliru, justru menurutnya, negara-negara Timur punya kearifan dalam menjaga kelestarian. Pendapat Schumacher rasanya benar. Ambil contoh, Mama Aleta yang menguraikan nilai dalam memaknai alam yang luhur, “Alam itu tubuh manusia, batu menjadi tulang, tanah menjadi daging, dan hutan menjadi kulit, rambut, dan paru-paru”.
Masih isi di buku Kecil itu Indah. Dalam mengatasi sifat keserakahan, iri hati, dan kebencian Ghandi punya jawabnya: “Kita harus menyadari bahwa di samping badan ada jiwa, dan bahwa jiwa itu lestari, dan kesadaran merupakan kepercayaan yang hidup; pada akhirnya, tanpa kekerasan tidak ada manfaatnya bagi orang yang tidak memliki kepercayaan yang hidup akan Tuhan Yang Mahapengasih”.
Film Gandhi (1982) mampu membangunkan diri dari potensi sifat keserakahan dan tindakan yang melampaui batas. Adapun kisah Mama Aleta dapat diangkat ke layar lebar dan sebagaimana halnya film Gandhi, kisah perjuangannya dapat dijangkau secara luas dan alam lestari selama-lamanya.
Baca juga: Terasing dalam Film-Film Wong Kar-wai
Penulis : Anggino Tambunan
Penyunting : Muhammad Reza Fadillah
Infografis : Farhan Iskandarsyah
Sumber gambar : IMDb.com