Wild Strawberries (1957): Sirnakan Duka dengan Nostalgia

0
1340
Melalui Wild Strawberries (1957), Ingmar Bergman Sirnakan Duka Realita dengan Nostalgia

Melalui Wild Strawberries (1957), Ingmar Bergman menampilkan peluang manusia untuk bernostalgia—kabur dari rasa duka dan ketakutan pada masa sekarang dengan kembali ke masa lampau yang membahagiakan. Ingmar tak meleset bahwa kita sesungguhnya dalam keadaan setengah sadar, bahkan sadar ketika bernostalgia sebab batas antara realita dan mimpi pada dasarnya kabur.

Mengapa mesti bernostalgia? “Sering kali Ilusi lebih mujarab dari pengobatan,” sepotong ide Woody Allen pada You Will Meet a Tall Dark Stranger (2010) mungkin ada benarnya. Misalnya, betapa bahagianya diri ini mengingat masa lalu ataupun mengenang suatu hafalan yang dijanjikan untuk masa depan ketimbang tegar “mengobati” masalah yang tengah hadapi. Bernostalgia ampuh mengilusikan beratnya realita: bius yang topcer!

Ide Woody di atas bisa kita tarik jauh ke belakang. Woody Allen sangat memuja karya-karya Ingmar Bergman. “Aku makan malam dengan Ingmar, ibarat pengecat rumah duduk bersebelahan dengan Picasso” ujar Woody. Pada sesi wawancara dengan Times, Woody merekomendasikan 5 film Ingmar yang wajib ditonton, salah satunya Wild Strawberries (1957).

Ingmar Bergman, sineas asal Swedia yang banyak memberi inspirasi kepada banyak sineas dunia, mampu secara terang menggambarkan manusia dalam menyikapi hidup yang serba-absurd ini. Dalam Wild Straberries (1957), Ingmar mampu memvisualisasi manusia yang senang “kesana-kemari” dalam menjalani hidup. Dalam hal ini, manusia bernostalgia untuk menipu realita.

Dalam kisah Wild Strawberries (1957), Prof. Isak yang sudah berusia senja dikisahkan tak kuasa melawan sepinya masa tua, urung tegar menerima rasa bersalah di masa lalu, dan cemas akan kematian yang semakin dekat. Cara mengalihkannya: ia kembali “lari” untuk mengingat masa kanak-kanak dan remaja. Kalau sedang apes, ia malah mendapati mimpi buruk pada siang hari; ia ingat kesalahan pada masa lalu atau bayangan kematiannya yang semakin menjelang.

Suatu hari, Prof. Isak akan terima gelar kehormatan di Lund Cathedra, Swedia. Dalam perjalanan, Prof. Isak bersama menantunya melipir ke sebuah rumah yang sudah lapuk dimakan usia—rumah yang ditinggalinya semasa kecil. Di pekarangannya, stroberi liar tumbuh rimbun dan menggapai pohon. Ia memetik beberapa buah dan memandangi rumah tersebut.

vaanva

“Perhaps I got a little sentimental, perhaps I go a little tired, and feel a bit sad. It’s not impossible than I began to think of this and that, associated with places where I played as a child. I don’t know it happened, but the day’s clear reality. Dissolved into the even clearer images of memory that appeared before my eyes with the strength of a true stream of events.”

Tetiba rumah tersebut tampak kokoh dan catnya tampak apik. Suara keributan di ruang makan terdengar. Masuk ke dalam, Isak dapati para sepupunya duduk di depan meja makan, ada si kembar yang iseng dan para sepupunya yang lain duduk rapi menungu hidangan. Rumah tersebut merupakan ornamen yang membawanya “mengunjungi” masa lalu.

Ada adegan surealis, siang itu, ia bertemu Sara, sepupu Isak yang pernah dijodohkan dengannya. Hadir juga Sigrid, sepupu yang lain– yang juga menaruh hati pada Sara. Potongan-potongan mimpi tersebut banyak muncul. Kadang Isak dapat masuk ke dalam mimpi tersebut dari sudut pandang orang pertama. Namun, ia kadang hadir dari sudut pandang orang  ketiga serbatahu.

Pada adegan mimpi, Ingmar Bergman tak memberi sekat yang jelas antara nyata atau mimpi, tak ada jembatan visual seperti peredupan cahaya atau asap yang mengepul sebagai penanda dunia mimpi. Selain itu, Isak kembali ke masa kanak-kanak dengan fisik tuanya bukan dengan tubuh kecilnya. Ingmar rasa-rasanya tak meleset bahwa kita sesungguhnya dalam keadaan setengah sadar ketika bernostalgia, serta batas antara realita dan mimpi pada dasarnya kabur.

Setelah mengunjungi rumah tersebut, Isak tancap gas. Ia rupanya ikhlas memberi tumpangan kepada orang asing yang baru ditemuinya, yakni tiga remaja yang tak lain jelmaan mimpi Isak yang mengingatkannya pada masa muda: Sara, Victor dan Anders. Tiga remaja ini membawa keceriaan selama perjalanan berlangsung. Sifat ke-sok-tau-an dan menggebu-gebu ketiganya membuat perjalanan Isak tidak membosankan, terutama Sara yang selalu membuat Isak tersenyum.

Di tengah jalan, tetiba mobil Isak hampir diseruduk. Adalah pasangan suami-istri yang ugal-ugalan mengendarai mobil tersebut. Isak berbaik hati untuk memberi tumpangan kepada keduanya. Namun ada yang berbeda, tak tampak kegembiraan dalam perjalanan itu. Cek-cok antarkeduanya selama perjalanan membuat Isak muram. Hal ini dapat dimaknai bahwa Isak sedang bernostalgia akan hubungan rumah tangganya yang tak “mulus”.

lsvjaa

Dari kisah di atas, tuduhan yang ditujukan beberapa orang kepada Ingmar mungkin benar adanya. Seperti yang dimuat Horison edisi April 1971, Asrul Sani yang kala itu ditunjuk sebagai pemantik diskusi, menguraikan bahwa Ingmar Bergman dianggap sebagai seniman yang menganut realisme psikologi: realisme yang coba mencari sesuatu yang lebih dalam dan tak terbatas pada lahiriah.

Pada adegan tiga remaja yang membuat Isak bahagia ataupun hadirnya pasangan suami istri yang membuat Isak muram, Ingmar sedang menampilkan sesuatu yang lebih dalam dari perwujudan fisik (lahiriah) pada tokoh Isak. Ketiga remaja dan pasangan suami istri tersebut merupakan potongan-potongan mimpi Isak. Ingmar menampilkan mimpi tersebut berirama dengan kenyataan. Gambaran-gambaran metafisik pada Isak menjadi sesuatu yang konkret untuk dipahami. Penonton diajak ke ruang terdalam alam pikir Isak yang berkelindan antara nyata dan mimpi.

Pada adegan lain, digambarkan Isak tua berdialog dengan Sara. Pada adegan tersebut, Sara meminta Isak untuk melihat cermin yang digenggamnya. Cermin merupakan simbol kenyataan yang sedang berlangsung. Isak ragu-ragu melihat wajahnya di cermin. Sara meminta Isak untuk menerima kenyataan masa lalu. Isak justru perlahan-lahan merasa “sakit” saat menerima semua kenyataan.

akvja

Sara: “I am going to marry your brother Sigrid. Love is almost a game for us. Look at your face now. Try to smile! There! Now you are smiling.”
Isak: “But, it hurts so.”

Adegan kemudian disusul dengan Sara yang lekas menggendong bayinya dan membawanya masuk ke dalam sebuah rumah. Ada Sigrid, sepupuhnya, yang mematung di depan teras rumah, tak sabar menunggu Sara. Adegan ini merupakan mimpi buruk Isak yang susah dalam menerima kenyataan pada masa lalu. Ia belum  menerimanya sebagai realita: Sigrid menikah dengan Sara.

kafha

Dunia mimpi nyatanya bukan hanya sebagai peluang manusia untuk menghibur diri, melainkan juga peluang manusia untuk merasakan “luka-lukanya”. Sayangnya, jika manusia bisa secara setengah sadar ataupun sadar dalam bernostalgia, mimpi buruk justru muncul dari alam bawah sadar dan tak mampu dicegah manusia, terutama saat tak terjaga.

Dalam film, beberapa kali kita mendapati Isak yang ketakutan setelah bermimpi. Pada mimpi tersebut Isak berada di jalan yang sepi. Ia menemukan sebuah jam tanpa jarum penanda waktu dan mayat yang menyerupai dirinya. Mimpi tersebut ditampilkan dalam sudut orang pertama. Pada adegan lainnya, Isak melihat istrinya selingkuh. Dalam mimpi, Isak tampil dari sudut pandang orang ketika yang terbatas. Ia hanya sebagai pengamat. Kedua mimpi tersebut muncul dari bawah alam sadarnya.

Menutup kisah, Isak kembali bermimpi. Ia tengah berada di rumahnya pada masa kecilnya. Ia dapati ayah dan ibunya di tepi sungai— sedang menunggu umpannya disambar ikan. Ayah dan ibunya yang tampak jauh lebih muda darinya, melambaikan tangannya ke Isak yang sudah berusia 78 tahun. Aneh memang.

Di dalam kamarnya, Isak yang sudah lengkap dengan perangkat tidur, sangat sadar bahwa ia terkadang bernostalgia ke masa kecil dan remajanya ketika dirinya merasa kesepian di masa tuanya.

“If I have been worried or sad during day, it often calms me to recall childhood memories. I did so on this evening too”.

Akhirnya, Ingmar Bergman melalui Wild Strawberries (1957) mampu menampilkan peluang manusia untuk bernostalgia—kabur dari perasaan duka dan ketakutan di masa sekarang kembali ke masa lampau yang membahagiakan. Ingmar rasa-rasanya tak meleset bahwa kita sesunggunya dalam keadaan setengah sadar, bahkan sadar ketika bernostalgia dan ternyata, batas antara realita dan mimpi pada dasarnya kabur.

Baca juga: Frank Capra: Nilai Sentimental pada Era “The Great Depression”

Sumber gambar: IMDb.com
Penulis:                    Anggino Tambunan
Penyunting:           Muhammad Reza Fadillah