Film yang diangkat dari novel tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer ini cukup banyak diperbincangkan oleh khalayak. Mulai dari cerita dalam film, produksi, hingga sosok dibalik pembuatan film ini–Hanung Bramantyo. Mulai dari sanjungan hingga kritik yang cukup pedas terhadap film Bumi Manusia ini.
Saya adalah salah satu pembaca novel Bumi Manusia (Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) karya Pram. Bagi saya novel ini sangat kuat hingga mampu membuat saya mengimajinasikan secara detail peristiwa kolonialisme di dalam novel ini. Bahkan, saya dengan yakin mampu mengimajinasikan Minke dan Annelies—dan tokoh lainnya—seideal mungkin sesuai dengan karakter mereka di dalam karya ini. Sangat menakjubkan bisa membaca karya besar ini.
Saat tengah membaca karya Pram ini, saya terlibat dalam sebuah produksi film Catatan Akhir Sekolah bersama Alm. Dedy Syahputra (Produser). Dari beliau, saya selalu mendapat informasi terkini tentang produksi-produksi film yang sedang digarap oleh berbagai sutradara andal. Sampai pada suatu saat, ada wacana pengalihwahanaan novel Bumi Manusia menjadi sebuah film oleh sebuah rumah produksi. Pada saat yang sama saya sangat antusias dengan wacana ini walaupun belum tahu siapa yang akan menjadi sutradara untuk film ini.
Menjelang akhir tahun 2018, Falcon Pictures resmi mengumumkan tengah memproduksi film Bumi Manusia. Hanung Bramantyo ditunjuk sebagai sutradara untuk film ini. Saya sangat antusias, tetapi ragu ketika membaca nama Hanung yang akan menyutradarai film ini. Keraguan saya tidak lain karena film Soekarno (2013), film garapan sutradara ini, menurut saya kurang sip.

Menonton Bumi Manusia
Seperti kata Pram dalam Bumi Manusia, “kita harus adil sejak dalam pikiran” maka saya berusaha untuk adil juga terhadap penilaian subjektif saya atas diproduksinya film ini oleh Hanung. Hingga akhirnya film ini dirilis pada 15 Agustus 2019 yang lalu.
Saya memutuskan untuk menonton film Bumi Manusia ini bukan untuk menjawab keraguan saya terhadap Hanung yang menyutradarai film ini, melainkan untuk melengkapi imajinasi saya ketika dulu membaca novel Bumi Manusia.
Sama seperti film Soekarno, sebelum pemutaran film Bumi Manusia para penonton diminta untuk berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Entah karena untuk menumbuhkan nasionalisme atau karena momentum kemerdekaan Republik Indonesia. Entah.
Sayup-sayup suara Iwan Fals mengawali film ini hingga adegan pembuka; Robert Suurhof membangunkan Minke yang masih tertidur bertemankan buku Multatuli. Iqbaal Ramadhan–pemeran Minke yang diragukan oleh beberapa kalangan–terbangun karena ulah Robert Suurhof. Pada saat yang sama saya memutuskan untuk tidak membenturkan imajinasi saya ketika dulu membaca novel Bumi Manusia dengan alihwahananya yang sedang saya saksikan. Saya memutuskan untuk menikmatinya sebagai sebuah film.

Sepanjang film ini diputar, setiap adegan dalam film ini mengingatkan saya pada setiap tokoh, adegan, latar dan suasana serta segala hal tentang novel Bumi Manusia yang ada dalam imajinasi saya. Tentu, saya tidak ingin membenturkannya.
Film ini berhasil saya nikmati dengan sebenar-benarnya. Saya terkesan dengan usaha Hanung membangun dan memvisualisasikan cerita dalam novel Bumi Manusia. Mulai dari latar yang bagus dan realistis, adegan-adegan yang emosional, hingga pengadeganan yang proporsional.
Tentunya saya menikmati betul dan takjub atas momen demi momen dalam film ini. Ternyata, film ini mampu melengkapi imajinasi saya dulu tentang bagaimana adegan-adegan ini bisa terbentuk ke dalam gambar yang bergerak secara nyata. Walaupun, banyak cerita dari tokoh-tokoh yang tidak bisa divisualisasikan secara rinci dalam film ini–bisa saja atas alasan durasi film.
Bagi saya Bumi Manusia dalam bentuk film banyak menceritakan sisi romansa antara Minke dan Annelies daripada cerita perlawanan yang dilakukan Minke dan tokoh pendukung lainnya. Namun, hal itu tidak mendegradasi penilaian saya terhadap film ini. Saya mengapresiasi Hanung atas usahanya–pasti penuh penghayatan–untuk menangkap momen-momen penting secara mendalam dengan berbagai pertimbangan estetis sebagai sebuah film.
Ada satu yang saya tunggu dalam film ini, yaitu frasa yang diucapkan Minke “Bunga Penutup Abad” yang saya maknai—dalam novelnya—sebagai perempuan tercantik di akhir masa 1800-an. Namun kata-kata itu tidak kunjung diucapkan dalam film, padahal frasa tersebut—utamanya bagi saya—adalah sebuah metafora dalam karya sastra yang perlu dikenalkan kepada generasi-generasi setelah Pram, terutama bagi yang tidak membaca karyanya.

Penafsiran terhadap sebuah karya tentu tidak akan sama. Penafsiran Bumi Manusia oleh Hanung lewat film ini pun berbeda dengan penafsiran saya ketika membaca novelnya. Bahkan, penafsiran Bumi Manusia pada sesama pembacanya pasti berbeda. Film Bumi Manusia maupun novelnya seharusnya membuat kita bisa menerapkan konsep “adil dalam pikiran dan adil dalam perbuatan”. Rilisnya film ini dan panjang umurnya novel Bumi Manusia—dengan segala kontroversi atas film maupun bukunya—membuat saya belajar untuk sebisa mungkin menghindari penghakiman terhadap segala sesuatu.
Terlepas dari segala penafsiran dan penghakiman terhadap Bumi Manusia. Film ini mampu mengenalkan Pram dan karya-karya besarnya kepada mereka yang baru pertama kali mengetahui namanya. Tentunya hanya melalui Iqbal sosok, Minke bisa dikenal oleh generasi setelah Pram yang tidak pernah membaca karyanya. Syukur-syukur film ini menjadi stimulus untuk mereka yang tak mengenal Pram agar mau membaca karya fenomenal ini. Bahkan, saya berharap mereka akan kenal Minke dan perjuangannya dengan lebih akrab di dalam cerita Anak Semua Bangsa; Jejak Langkah; dan Rumah Kaca.
Bumi Manusia, cukup bagus sebagai sebuah sebagai sebuah film seutuhnya, ia juga tetap fenomenal dan tetap relevan sebagai sebuah novel. Lalu, Pram… akan tetap hidup di Bumi Manusia, di antara kita.
Tulisan ini merupakan tulisan pembaca ulasinema. Anda bisa kirimkan tulisan anda ke kontak@ulasinema.com.
Baca juga: Bumi Manusia: Belum Adil dalam Perbuatan
- Penulis: Juang Herdiana
- Penyunting: Anggino Tambunan