Penggunaan logika “bagaimana jika” memberi potensi fantasi liar juga harapan besar akan katarsis terhadap sebuah film. Sebab, dengan logika bagaimana jika, film seolah mengajak penonton untuk mengolah kembali alur yang telah mapan dan jadi fomula yang populer. Penggunaan logika ini beberapa kali ditampilkan dalam film, termasuk Yesterday (2019).
Formula cerita dengan logika “bagaimana jika” sebenarnya sudah beberapa kali diterapkan di dalam novel, komik, bahkan film. Namun, ide itu jarang sekali diangkat untuk cerita populer atau konvensional. Akhir-akhir ini, ide cerita dalam film yang mengusung logika “bagaimana jika” mulai bermunculan kembali, salah satunya Yesterday (2019).
Belum lama, film Brightburn (2019) besutan David Yarovesky menyisipkan ide “bagaimana jika Superman turun ke bumi dengan misi jahat?” atau “bagaimana jika Superman tidak memiliki moral yang baik layaknya cerita Superman pada umumnya?” Hal tersebut membuat cerita ini menarik perhatian penonton untuk terus memantengi layar sepanjang film. Meskipun, ide cerita Superman jahat sebenarnya sudah pernah muncul di salah satu multiverse komik Superman.
Tak lama setelah Brightburn, film Yesterday (2019) pun hadir pula dengan logika “bagaimana jika” dalam formula ceritanya. Film besutan Danny Boyle yang naskah ceritanya ditulis oleh Richard Curtis ini mengandaikan, “bagaimana jika dunia kita hari ini sama sekali tidak mengenal The Beatles?” Lalu, hanya ada segelintir orang yang mengingat The Beatles, kemudian memanfaatkan lagu-lagunya yang populer untuk menjadi menjadi seorang bintang rock? Hal itulah yang dialami oleh Jack Malik (Himesh Patel).
Kehidupan Jack berubah drastis semenjak sebuah fenomena anomali yang mengakibatkan seluruh dunia mengalami mati lampu selama 12 detik dan berujung ditabraknya ia oleh sebuah bus. Sejak itu, ia sadar hanya dirinyalah yang mengingat The Beatles. Hal ini menimbulkan dilematik pada diri Jack—memanfaatkan lagu The Beatles demi popularitas atau bersikap jujur untuk tidak memanfaatkan lagu-lagu The Beatles yang melegenda.
Dilema ini berkelindan dengan kisah romansa Jack dengan manajernya, Ellie Appleton (Lily James), kemudian membentuk kombinasi yang menjadi kunci konflik dan alur film. Meskipun dikombinasikan secara apik, eksekusi konflik yang terbentuk dalam film ini belum terwujud dengan baik. Konflik yang ditimbulkan dari dilema memang terus disajikan memuncak dengan munculnya ketakutan akan terbongkarnya sosok di balik lagu-lagu dari Jack. Terlebih lagi, muncul dua sosok mencurigakan yang seolah meneror kepopuleran Jack. Namun, klimaks malah menjadi antiklimaks ketika kedua sosok itu justru berbalik arah dari teror menjadi penyokong.
Hal yang sama juga diperlihatkan pada kisah cinta dari Jack dan Ellie. Mereka terpaksa terpisah karena popularitas, hingga munculnya orang ketiga. Akan tetapi, konflik kurang diramu dengan kuat sehingga penyelesaian konflik tidak dapat membuat penonton merasa katarsis.
Sebagai film yang mengusung genre komedi romantis, film ini lebih berhasil menampilkan sisi komedinya daripada romantiknya. Hampir setiap adegan dibumbui komedi yang menertawakan kehidupan sehari-hari. Yang cukup menarik, kejadian lucu ini muncul justru karena semua orang tidak mengenal The Beatles dan Jack hanya tercengang ketika banyak produk atau ikon populer yang juga hilang karena ketiadaan The Beatles. Meskipun demikian, komedi yang ditampilkan punya kelemahan yang cukup fatal. Hal itu disebabkan komedi yang muncul berkait erat dengan perihal The Beatles. Jika penonton tidak menahu sama sekali akan The Beatles, ia mungkin hanya akan terheran melihat orang lain di bioskop tertawa terbahak.
Walaupun gagal dalam beberapa hal, film ini tetap patut mendapatkan apresiasi. Pengusungan logika “bagaimana jika” yang kurang populer diramu menjadi formula cerita populer adalah alasannya. Film ini menyulap logika “bagaimana jika” dalam sebuah bingkai cerita yang formulanya sudah sering kita lihat dalam reality show. Formulanya, yaitu bagaimana jika kamu tiba-tiba bertukar tempat dengan orang yang sangat popular, bahkan memiliki fans fanatik yang menjadikannya agama baru. Pada akhirnya, formula tersebut menyajikan jawaban yang sama halnya ditampilkan dalam reality show tukar popularitas. Kita diajak untuk selalu menyukuri posisi kita meskipun dalam ketidakpopuleran. Sebab, kebahagiaan dan kesuksesan hidup akan didapat justru dari kehidupan yang normal, tanpa menjadi orang lain atau bertukar tempat dengan orang lain.
Terlepas dari kekurangan maupun keunikannya, Yesterday merupakan film yang cukup menarik untuk ditonton. Salah satunya dengan tawaran-tawaran formula ceritanya. Terlebih, jika kalian merupakan penggemar The Beatles.
Baca juga: Dunkirk (2017): Sejarah, Narasi Pulang, dan Kekuatan Bercerita dari Nolan
Tulisan ini merupakan kreasi pembaca ulasinema. Anda bisa kirimkan tulisan anda ke kontak@gmail.com.
Penulis : Teguh Prasetyo
Penyunting : Anggino Tambunan, Muhammad Reza Fadillah
Sumber gambar : IMDb.com