Review Film We Live in Time (2024): Romantis Populer A24

0
4
Review Film We Live in Time (2024): Romantis Populer A24

Bersama John Crowley, A24 membuat film romantis dengan pendekatan lebih populer dalam We Live in Time (2024). Dipimpin oleh dua aktor ternama Hollywood, Andrew Garfield & Florence Pugh, film ini mengisahkan pasangan muda yang salah satunya mengidap kanker. Filmnya pun terasa sangat manis, bahkan terasa terlalu manis bagi A24.

Film-film romantis cukup jarang diproduksi oleh A24. Tahun lalu yang paling berkesan ialah Past Lives. Daripada romansa, film ini justru terasa seperti anti-romansa sebab hanya satu karakter yang memberi gaya dorong percintaan, sementara karakter lainnya menolaknya. Film keluaran A24 lain, Priscilla (2023), biopik tentang istri dari Elvis Presley, juga sebenarnya romantis, tetapi nuansanya begitu kelam.

Kehadiran We Live in Time dengan nuansa yang lebih cerah sebenarnya menjadi angin baru dalam pustaka film A24. Memang, dalam cerita ini, penulis skenario Nick Payne memasukkan unsur kelam, seperti karakter Almut (Pugh) yang menderita kanker. Namun, resolusi-resolusi yang diberikan pun terasa hangat, walau perselisihan kerap terjadi.

Pertentangan pertama yang ditampilkan dalam film nonlinier ini terjadi dalam cara Almut dan kekasihnya, Tobias (Garfield) menghadapi kanker yang diidap Almut. Tobias memiliki jalan pikiran normal bahwa ia ingin Almut menjalani kemoterapi untuk memperbesar kemungkinan sembuhnya. Sementara, bagi Almut ia lebih baik memaksimalkan waktu enam bulan sisa hidupnya daripada tersiksa lebih lama karena menjalani kemo tanpa ada jaminan hidup pasti.

Pertentangan mereka sebenarnya lumrah, tetapi cara pikir Almut menarik. Resolusi yang ditawarkan pun begitu romantis kala Tobias sepakat dengan Almut dan memutuskan untuk melamar kekasihnya tersebut. Saat ada tensi yang tinggi, selalu ada pemecahan masalah yang mengundang kehangatan.

Kembali dalam pertentangan untuk memiliki anak atau tidak, Almut seperti melambangkan generasi muda yang takingin terburu-buru dan takmasalah dengan masa depan tanpa anak. Sementara itu, Tobias yang lebih tua terlihat lebih konservatif walau pada akhirnya ia memahami pola pikir Almut.

Selanjutnya, terciptalah momen paling romantis yang sebenarnya menyakitkan juga. Almut yang mengidap kanker rahim mengharuskan ia menjalani histerektomi. Bagaimanapun, Almut ternyata hanya ingin mengangkat salah satu bagian rahimnya saja karena ia ingin membuka kemungkinan memiliki anak bersama Tobias. Mereka pun memiliki anak perempuan dalam proses melahirkan yang tegang, dramatis, tetapi sedikit lucu melihat tempatnya.

Hubungan romantis Pugh dan Garfield sangat menarik. Mereka bisa jadi salah satu pasangan paling ikonik dalam sejarah Hollywood, walau latar film ini di Inggris. Dengan sosok Almut yang ceplas-ceplos dan keras, Pugh terasa menjadi sosok yang tepat. Garfield sebagai lelaki modern yang penyayang dan lembut pun sangat pas dalam memainkan Tobias.

Film ini dibangun dengan plot yang nonlinier. Kita melompat dari satu waktu ke waktu lainnya. Untuk memahami waktu kejadiannya secara visual hanya ada perbedaan dari rambut Almut, dari poni pendek, rambut belah tengah, hingga botak. Namun, secara cerita kita bisa memahaminya dengan mudah. Dapat dipahami kapan waktu Almut pertama bertemu Tobias dalam kejadian yang sangat unik dan sebenarnya tidak masuk akal, hingga momen akhir kala Almut telah mengidap kanker stadium akhir.

Mudah saja bagi kita untuk menyerap romantisme yang dihadirkan keduanya. Garfield dan Pugh menampilkan pasangan modern yang ideal bukan karena kesempurnaan mereka, melainkandari cara mereka memahami dan saling mengisi kekurangan masing-masing. Hingga akhir, film ini terasa begitu positif dan menghangatkan.

Bagaimanapun, kita menilai film dari cara karakter-karakternya melewati masalah besar dan komplikasi yang harus mereka lalui untuk memecahkan masalah tersebut. Terutama dalam film roman, rasanya derita kerap menjadi candu yang meninggikan kelas-kelas karya seperti ini. Sayangnya, derita dalam film ini hadir hanya sebagai rintangan yang mudah dilewati.

Ditampilkannya dengan cara nonlinier pun membuat film ini kehilangan napasnya dan terasa tergesa-gesa. Adegan pertentangan hadir berulang kali, tetapi berulang kali juga Almut dan Tobias dengan mudah menanganinya dengan romantisme mereka yang mudah menarik empati penonton.
We Live in Time mungkin akan hadir sebagai film roman populer ikonik pada masa kini yang bisa kita sandingkan dengan The Notebook (2003) atau A Walk to Remember (2002). Yang jelas dari kedua film di atas, karya John Crowley ini punya kualitas yang lebih superior. Namun, jika disandingkan dengan romansa-romansa seperti Marriage Story (2019) atau Before Midnight (2013), rasanya masih jauh.

Infografik Review Film We Live in Time (2024): Romantis Populer A24

Baca juga: Past Lives (2023) – Daya Pukau Masa Lampau

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan