Apa yang menarik dari putusnya Harley Quinn (Margott Robbie) dan Joker? Hal inilah yang coba terus-menerus dikulik dari film Birds of Prey. Sineas wanita, Cathy Yan, ditunjuk untuk memberikan cita rasa unik dalam film yang sarat aksi.
DCEU Meraba-Raba
DCEU coba merangkai lagi sedikit demi sedikit dari semesta filmnya yang tidak serapi pesaingnya, MCU. Sulit memang, mengingat hebatnya hasil kerja Kevin Feige dalam membangun semesta film-film Marvel yang dapat bertahan lebih dari satu dekade. Kondisi di DCEU berbanding terbalik, dua pemeran jagoan utama semesta filmnya mengundurkan diri. Sementara itu, Zack Snyder, orang yang didaulat jadi produser DCEU dikabarkan visinya dibatasi oleh pihak studio, yakni Warner Bros.
Di antara kekacauan tersebut, DC mulai merangkai lagi apa saja yang tersisa dan menarik dari semestanya. Tahun lalu, publik dibuat tercengang oleh Joker. Film ini tidak masuk ke dalam proyek DCEU, tetapi tetap berada di bawah naungan DC dan Warner Bros. Menyabet 11 nominasi di Oscar tahun ini, apakah DC harus mengambil jalan yang berbeda dari Marvel?
Tentu, harapan tersebut sedikit berpengaruh terhadap film Harley Quinn: Birds of Prey. Walaupun konsep film telah jadi dan produksi telah selesai, meriahnya sambutan publik dari Joker memberikan harapan sedikit ke arah mana DC akan melebarkan sayapnya.
Birds of Prey memang seperti judul panjangnya (awalnya berjudul Birds of Prey: And the Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn, lalu diganti menjadi Harley Quinn: Birds of Prey demi pemasaran), menjunjung tinggi nilai emansipasi. Tim jagoan yang tidak terduga ini mirip Suicide Squad (2016). Hanya saja, kali ini pertaruhannya lebih kecil dan timnya terdiri dari wanita semua. Bahkan, ada satu polisi, berbeda dari Suicide Squad yang isinya hanya para kriminal.
Seperti biasa, DC memang selalu memiliki pemasaran yang menarik. Desain visualnya atraktif dan cuplikan pendeknya dikemas dengan baik. Kita masih mengingat betapa hebatnya cuplikan pendek Suicide Squad yang dikemas hebat dengan tambahan lagu latar “Bohemian Rhapsody”-nya Queen yang dinyanyikan ulang oleh Panic at the Disco. Lalu, betapa kerennya desain visual poster Justice League (2017) yang lagi-lagi berbagu “Bohemian Rhapsody”, memakai unsur video klip lagu tersebut. Birds of Prey memang memiliki pemasaran yang menarik, tetapi dari dua film di atas, kita telah belajar bahwa pemasaran menarik DC tidak selalu sebanding dengan kualitasnya.
Upaya Membangun Plot dari Harley Quinn
Penulis skenario Christina Hodson berupaya membangun putusnya Harley Quinn dengan Joker menjadi plot utama Birds of Prey. Dijelaskan bahwa setelah Quinn putus, ia tidak memiliki imunitas akan tindakan kriminalnya. Dengan hilangnya imunitas Quinn, ia bisa diburu tidak hanya oleh polisi, tetapi oleh kriminal lainnya juga. Gaya kehilangan imunitas ini mengingatkan kita pada film John Wick 3 (2019). Setiap langkah selalu ada yang ingin balaskan dendamnya terhadap Quinn.
Uniknya, dalam adegan-adegan awal ini Quinn tidak memperlihatkan kehebatannya dalam bertarung. Ia hanya berlari kabur saja. Padahal, ketika kita masuk setengah akhir film, Quinn dapat menghabisi hampir sepuluh orang kriminal sendirian. Sementara itu, pada adegan saat ia kabur, tidak lebih dari lima orang yang menyerbunya. Mungkin, ini karena ia ingin menyelamatkan roti lapis keju yang ia baru beli.
Setelah menjelaskan Harley Quinn, film ini coba menceritakan tentang tokoh-tokoh lainnya. Gaya penceritaan yang berasal dari arahan Cathy Yan ini mengingatkan kita dengan gaya nyeleneh film-film Quentin Tarantino. Para tokoh-tokohnya diperkenalkan dengan paduan desain penuh warna, hal ini menimbulkan kesan yang sebenarnya norak, tetapi keren.
Dengan pengemasan seperti ini, pengenalan tokoh justru jadi kelemahan yang sangat mendasar. Cerita jadi berulang-ulang tidak karuan. Struktur cerita dalam bagian pengenalan agak aneh, cara beranjak dari satu adegan ke adegan lain agak berantakan. Setengah film akhirnya kita hanya meraba akan dibawa ke mana cerita yang dasar konfliknya terkesan lemah.
Masuk setengah akhir film, ini mungkin tempat untuk bersenang-senang. Adegannya sarat aksi dan begitu menghibur. Pengemasannya lengkap, aksinya sangat seru dan menarik disaksikan. Hal ini diitambah dengan alunan musik-musik rok untuk memacu tensi film. Walaupun belum terlihat padat, hiburan aksi yang diberikan Birds of Prey atraktif.
Hal menarik yang perlu disaksikan, yaitu bagaimana Birds of Prey akan menentukan unsur film aksi wanita pada masa depan. Cathy Yan belum terlihat membubuhkan gayanya, ia masih menggunakan cara-cara klasik mirip Tarantino dan Chad Stahelski (sutradara John Wick). Kedalaman plotnya pun masih sangat tipis. Namun, dari segi aksi dan pengemasannya, film ini sukses.
Baca juga: Review Film 1917: Sam Mendes Ajak Gerak Tanpa Henti
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan