Pada tahun 2018 ini, Wes Anderson hadir kembali dengan karya animasi gerak-henti, Isle Of Dogs. Film ini mengisahkan petualangan kawanan anjing di sebuah pulau yang terisolasi. Soal yang dibicarakan masih serupa kisah si rubah Fox: hasrat manusia mendominasi alam.
Suatu hari, di kota Megasaki, anjing-anjing mesti dikarantina sebab berpotensi menyebarkan virus. Alih-alih berusaha menemukan obat mujarab, Walikota Megasaki, Kobayashi, membuat keputusan secara sepihak: anjing mesti disingkirkan dari Kota Megasaki, bahkan kalau perlu dimusnahkan. Hal tersebut ditentang Itari, keponakannya, yang menyayangi anjing peliharaannya, Spot.

Cerita seperti itu membuat pertarungan manusia dan hewan tak terelakkan; juga Kobayasi dan Itari. Wes Anderson pun berikan prolog yang tampilkan pertarungan Kobayashi dan Itari dengan kisah bergaya Jepang klasik. Ini sangat simbolik: upaya pertarungan mempertahankan kelestarian anjing dan manusia, mulai dari pewarisan masa lalu, tindakan terkini, dan ancaman pada masa depan.
Kedua film yang memuat perjuangan hewan mendobrak dominasi manusia tersebut, dekat dengan kisah berjenis fabel. Tokoh hewan-hewan di dalamnya berkarakter seperti manusia: dapat berpikir dan mengutarakan pendapat. Secara tersirat, hal yang diutarakan rubah dan anjing pada film tersebut ialah eksistensi mereka sebagai bagian dari alam.

Dalam menyikapi soal tarik-ulur cerita, Wes Anderson berada di pihak canidae, rubah dan anjing—yang tergolong famili mamalia karnivora dan omnivore, ordo karnivora. Penokohan yang ia berikan merupakan kemampuan tokoh untuk mengorganisasi kolektif untuk bertahan hidup dan melawan, terutama pada tokoh utama Fox dalam Fantastic Mr. Fox dan Chief dalam Isle of Dogs. Juga, tokoh hewan dan manusia di kedua film digambarkan memiliki kemampuan “otak” dan “intuisi” yang sebanding.
Cermin kenyataan
Apabila mengaitkan kisah di atas dengan realita yang ada, mungkin kita akan mengingat video orangutan yang mencoba menghalau alat berat—yang melenyapkan tempat tinggalnya di hutan Kalimantan. Di lain tempat, di Desa Teluk Pandan, Kalimantan Timur, ada orangutan jantan tewas dengan 130 peluru di tubuhnya. Itu baru sedikit kasus: jika alam bisa “berteriak” mungkin akan “ramai” sepanjang waktu.
Bila dipandang dari ekologi, semestinya manusia merawat keharmonisan alam. Tidak boleh serakah. Eksploitasi alam merupakan kekeliruan—ironinya, manusia sadar dengan kesalahannya. Hal tersebut dapat terjadi sebab sumber daya alam hanya dipandang sebagai pendapatan; bukan seperti modal, dihabiskan dan tak meninggalkan sisa. Olehnya, gagasan E.F. Schumacher dalam buku Kecil Itu Indah sangat penting untuk mengoreksi ilmu ekonomi. Selain itu, nilai Gandhi memaknai ekonomi dilandasi kebutuhan: ekonomis.
Baca juga ulasan Gandhi (1982): Lestari Itu Indah

Bentuk lainnya dari kekeliruan manusia dalam mengharmonikan diri dengan lingkungan yaitu membabat habis hutan lalu menggantinya dengan tanaman monokultur, kelapa sawit. Kasus ini bisa disaksikan dalam film dokumenter Asimetris oleh Watchdoc. Konsumsi yang berlebihan sangat sejurus dengan pengeksploitasian alam. Manusia hanya menghitung panen dan merasa telah beruntung, tetapi sesungguhnya manusia merugi dibanding lestarinya hutan yang menghidupi fauna dan flora. Nilai lestarinya hutan berkali-kali lipat daripada keuntungan panen sawit, bahkan tak bisa dihitung.
Menyikapi soal itu, untungnya selalu ada aktivis yang secara kolektif berjuangan melindungi alam. Tentu kita ingat perjuangan ibu-ibu Kendeng menolak pabrik semen di desa mereka, perjuangan lapisan masyarakat menolak reklamasi di beberapa tempat sebab dapat merusak ekosistem, dan perjuangan Mama Aleta menolak pabrik marmer di daerahnya, Nusa Tenggara Timur.

Serupa pun sama
Soal membajak kelestarian alam di atas juga tervisualisasikan dalam Fantastic Mr. Fox. Sebab mencuri, Fox diburu. Ia lolos meski ekornya harus terpisah dengan tubuh. Nahasnya, tempat tinggalnya yang dinaungi pohon rusak dikorek alat besar. Fox mulai menyusun strategi dan mengorganisasi hewan-hewan setempat untuk melawan bos-bos peternakan. Penggambaran manusia dalam menyingkirkan hewan digambarkan membabi-buta.
Beralih pada Isle of Dogs (2018), sebab berpotensi menyebarkan virus, anjing-anjing di Megasaki dimusnahkan. Berbeda dengan kisah Fox, penyingkiran anjing di Isle of Dogs dilakukan dengan cara “agak halus”: Kobayashi membuang anjing-anjing tersebut di pulau tempat pembuangan sampah kota. Oleh sebab itu, Itari dan lima anjing penghuni pulau: Chief, Boss, Rex, King dan Duke menyusun strategi agar anjing bisa kembali berdampingan dengan manusia.
Memang, tidak melulu kisah realita harus digambarkan secara nyata, kisah khayalan juga mampu membahasakan kenyataan. Si rubah dan si anjing dalam karya gerak-henti Wes Anderson yang tersaji secara estetik ini tiba pada simpulan: manusia sudah melampau batas dengan menegasikan keanekaragaman makhluk hidup—ironinya, dengan kesadaran penuh.
Penulis : Anggino Tambunan
Penyunting : Muhammad Reza Fadillah
Sumber Gambar : IMDb.com