Review Film Inside the Yellow Cocoon Shell (2023): Lalu Lalang Gelombang Bimbang

0
144
Review Film Inside the Yellow Cocoon Shell (2023): Lalu Lalang Gelombang Bimbang oleh ulasinema

Pham Thien An mencegat kita dengan karya terbarunya yang puitis, Inside the Yellow Cocoon Shell (2023). Secara intens, karya ini mengembalikan “gejolak jiwa” sebagai arus utama kehidupan setiap insan, termasuk larut dalam kebimbangan dan penderitaan.

Berlatar di Vietnam, film ini berpusat pada Thien (Le Phong Vu), pemuda desa yang mengadu nasib di kota. Kecelakaan yang menewaskan iparnya membawanya pulang kembali ke kampung halaman. Selama di desa, ia menemukan dirinya “terombang-ambing”.

Melalui film ini, Pham Thien An mengajak kita untuk memahami tabrakan budaya pada sosok Thien. Ada benturan budaya agraris-industri perkotaan serta generasi tua-muda pada sang tokoh. Sebenarnya, ide ini kerap dibahas dalam berbagai karya rekaan. Akan tetapi, yang menjadi keunggulan karya ini adalah kompleksitas dan kelokalan yang ditawarkan.

Kehadiran Ilahi

Film ini dengan lugas membahas ide keilahian. Sang tokoh meragukan keberadaan Ilahi sebab berbagai penderitaan yang dialami: ayah ibunya pindah ke Amerika dan kakaknya telah lama menghilang. Hal ini ditebalkan lagi dengan pilihan hidup kekasihnya untuk menjadi biarawati. Baginya, Ilahi amat paradoks: menjanjikan kebahagiaan, tetapi membiarkan dirinya dirubung duka takberkesudahan.

Dalam sebuah adegan, keponakannya, yang baru saja ditinggal mati ibunya, bertanya kepadanya: “apa itu iman?” Pertanyaan dari keponakannya yang masih anak-anak tersebut cukup menggetarkan Thien sebab pertanyaan tersebut adalah kegundahannya selama ini. Adegan ini cukup penting untuk menggali sikap tokoh terkait pandangan religiusitasnya pada konteks sosial dan privat.

Selain itu, ada pula narasi jati diri yang coba dikupas dalam film ini. Sekembalinya ke kampung halaman, Thien sebagai warga kota yang individualis dibuat takjub dengan nilai yang lama ditinggalkannya: kehidupan sosial. Seolah nilai ini amat asing darinya dan ia baru mengalaminya pertama kali.

Untuk membahasakan ide tersebut, sutradara dengan lihai menciptakan tokoh Luh. Luh ialah seorang veteran perang yang mengisi hari tuanya sebagai pengurus penguburan. Ia secara sukarela membantu tetangganya, termasuk kakak ipar Thien. Upah yang diberikan Thien ditolaknya mentah-mentah atas nama kebersamaan.

Melalui tokoh ini, sutradara juga menyelipkan catatan kaki atas sejarah Vietnam yang penuh dengan darah, termasuk perang saudara pada masa silam. Kepada Thien, ia berbagi duka atas perang yang berkecamuk pada masa silamnya. Kepingan masa lalu dari Pak Luh ini cukup penting untuk meletakkan pengalaman kolektif warga pedesaan pada cara pandang Thien.

Di sisi lain, secara tersirat, digambarkan bahwa luka yang pernah dialami Thien sebenarnya serupa dengan yang dialami Luh: adanya kematian, kesakitan, dan kehilangan. Trauma yang bersarang pada kepala keduanya serupa, hanya berbeda kisah dan berbeda waktu. Keduanya pun mewakili generasi tua dan muda dalam menghadapi trauma.

Dalam mencari jalan keluar, dua tokoh ini diberikan “jembatan yang berbeda”. Luh berlabuh pada janji Ilahi yang mendorong dirinya untuk menjadi pemeluk yang teguh. Adapun Thien menempuh jalan yang berbeda. Ia merasa dirinya memiliki free will dalam menentukan berbagai nasib. Di satu sisi, hal ini membawa kecemasan padanya: kematian dan ketiadaan akan menghilangkan eksistensinya cepat atau lambat.

Trauma Kolektif

Hal yang menarik dari film ini adalah simbol tersirat yang coba ditampilkan oleh sang sutradara. Penokohan Thien dapat dikaitkan dengan gambaran trauma kolektif yang ada kepada warga Vietnam pada masa lalu: anggota keluarga hilang, berpindah, dan mati dengan tiba-tiba.

Sang tokoh coba melawan warisan trauma dengan mengesampingkan adanya Ilahi. Baginya, agama tidak menjawab semua dukanya, justru ia melihat beragama hanya upaya sembunyi dari realitas yang sedang terjadi seperti yang terjadi pada Luh dan mantan kekasihnya. Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa perkara bahagia dan derita bukan suratan takdir yang telah ditetapkan.

Kondisi tersebut membuatnya berlabuh pada ide bahwa manusia memiliki kebebasan penuh. Salah satunya adalah ia memutuskan untuk tetap tinggal di Saigon alih-alih ikut kedua orang tuanya yang “lari” dari kesulitan hidup di Vietnam. Pilihan tersebut ia jelang secara penuh tanpa penyesalan. Selain itu, ia juga digambarkan takgentar menghadapi luka, termasuk saat mendapati kakak iparnya tewas dan keponakannya jadi yatim piatu. Tidak ada kesedihan dan tangisan.

Arus Balik

Sebagai warga kota yang amat “mekanis”, Thien menemukan kembali bahwa hatinya gersang. Persentuhannya kembali dengan masyarakat pedesaan membuatnya bertanya kembali akan ide kebebasan penuh atas hidupnya. Hal ini tampak pada adegan leraian. Ia bertemu dengan seorang nenek yang menyatakan bahwa jika manusia mendapat semua hal yang diinginkannya, apakah ia merasa penuh atas dirinya?

Sang nenek mengutarakan ide spiritis kepadanya bahwa ia melihat jiwa-jiwa yang meraung-raung atas kesulitan hidup. Tubuh yang tampak kuat sebenarnya menyimpan batin yang tersiksa. Hal ini menyiratkan bahwa trauma pada seseorang taktergapai dengan penampakan sehari-hari. Ia tersembunyi di dalam bawah sadar, kondisi yang juga terjadi pada dirinya, kekasihnya, kakaknya, orang tuanya, dan Luh.

Pada bagian leraian ini, Thien mulai menyatukan kembali dirinya dalam kehidupan masyarakat desa. Penampakan alam yang ditemui bukanlah peristiwa yang biasa. Ia mendapati “isyarat alam” dari langit yang dipenuhi awan-awan, kabut yang menutup sebagian desa, dan kupu-kupu yang mengerubungi sebuah pohon dalam gelap malam.

Dalam menghadirkan penampakan alam tersebut, sang sutradara dapat dipuji sebab memberikan waktu yang cukup untuk tokoh dan kita takjub dengan cara alam bekerja. Beberapa kali terselip tangkapan layar yang cukup intens menyorot fenomena alam yang tidak hanya memberikan kesan estetis, tetapi juga kesan reflektif.

Dalam upaya tersebut, ada upaya mengeker metamorfosis kupu-kupu yang dikaitkan dengan pengembangan tokoh sepanjang kisah. Selain itu, ada pula adegan tokoh membenamkan tubuhnya dalam aliran air sungai sebagai upaya kembali pada alam dan Sang Ilahi.

Secara umum, film ini memberi pemaknaan atas kebimbangan manusia dalam menjawab penderitaan hidup. Dalam memaknai hal tersebut, Inside the Yellow Cocoon Shell mengembalikan “gejolak jiwa” sebagai arus utama kehidupan. Dengan puitis, Pham Thien An menghadirkan karya yang reflektif dan metaforis.

Infografik Review Film Inside the Yellow Cocoon Shell (2023): Lalu Lalang Gelombang Bimbang oleh ulasinema

Baca juga: Yorgos Lanthimos – Akrobatik Manusia Mengakali Hidup

Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah