Dengan berkembangnya kondisi sosial-politik masyarakat kini, dunia sinema pun mengikuti hal tersebut. Pembahasan mengenai isu rasial, seks, dan gender makin kental dengan tendensi film yang lebih progresif. The Half of It merekam unsur-unsur tersebut dengan alunan film remaja yang manis.
Dunia sinema kerap kali merepresentasikan fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat pada zamannya. Saat ini, isu mengenai LGBTQ serta rasial merupakan fenomena sosial yang kondang dalam dunia perfilman. Dengan menampilkan isu ini dalam film, baik itu menjadi unsur utama maupun pendukung saja, film tersebut bisa memberikan relevansi sosial tersendiri.
Sayangnya, banyak film, secara memaksa, menampilkan isu tersebut hanya untuk menjadi relevan. Unsur seperti ini yang dipaksakan akan terasa tidak natural sehingga keberadaannya justru mengganggu film. Beruntung hal ini tidak terjadi dalam film The Half of It karangan Alice Wu.
Kompleksitas Ellie
Wu yang menyutradarai serta menulis skenario film ini sangat mengerti apa yang ingin ia tampilkan dalam The Half of It. Kompleksitas latar belakang Ellie Chu (Leah Lewis) sebagai wanita remaja Tiongkok-Amerika lesbian akan terdengar sangat klise jika kita menjelaskan karakternya dari sudut pandang tersebut saja. Dengan menampilkannya secara perlahan serta skenario yang tepat, Wu memberikan nyawa kepada Ellie.
Kompleksitas karakter Ellie seperti yang disebutkan di atas bukanlah faktor penggerak utama film. Memang, ada stereotipe kecerdasan orang Asia-Amerika yang dimiliki Ellie yang jadi faktor krusial dalam film ini, tetapi apa salahnya memasukkan hal tersebut jika memang realita seperti itu kerap ditemukan. Sebab kecerdasan ini, Ellie membuka jasa pengerjaan tugas esai sekolah untuk teman-temannya.
Suatu hari, Ellie mendapatkan perrmintaan aneh dari Paul (Daniel Diemer). Alih-alih mengerjakan tugas sekolah, Paul meminta Ellie untuk membuat surat cinta kepada Aster (Alexxis Lemire). Ellie terkejut bukan hanya karena permintaan unik itu, tetapi Aster merupakan perempuan yang juga disukainya. Ellie pun langsung menolaknya walau Paul telah berlari-lari mengejarnya dan menjanjikannya bayaran 50 dolar AS.
Sesampainya di rumah, Ellie mendapat pemberitahuan tentang tagihan listrik yang menunggak. Jika takmampu membayar 50 dolar keesokan harinya, listrik di rumahnya akan dipadamkan. Sebab pemberitahuan tersebut dalam bahasa Inggris, ayah Ellie, Edwin (Collin Chou), tidak mengerti dan mengetahuinya. Ellie pun merahasiakan hal tersebut dari ayahnya agar tidak membebani ayahnya. Ia pun menerima tawaran Paul untuk menulis surat untuk Aster.
Menarik menilik karakter Edwin, orang Asia yang mengadu nasib di Amerika Serikat dan gagal. Kegagalannya disebabkan dua faktor, ketidakmampuannya berbahasa Inggris dengan fasih serta luka jiwa yang dalam setelah kehilangan istrinya. Sehari-hari kita melihat Edwin hanya di rumah menonton film yang tadinya hanya untuk belajar bahasa Inggris, ternyata ia menjadi kecanduan.
Segala tugas yang memerlukan Edwin keluar rumahnya dikerjakan oleh Ellie. Bahkan, pekerjaan Edwin sebagai petugas rumah sinyal (PRS) juga dikerjakan oleh anak perempuannya tersebut. Jelas Ellie merupakan remaja yang terlalu cepat menjadi dewasa, artinya film ini bukan tentang pendewasaan karakternya secara umum.
Bukan Kisah Cinta
Walaupun kisah ini berkutat tentang percintaan remaja, diterangkan pada awal film bahwa The Half of It bukanlah film roman. Mungkin, Wu ingin menjauhkan penonton dari stereotipe film roman yang resolusi filmnya ditampilkan dengan resolusi percintaan. Inti dari film ini sendiri yang ingin diartikulasikan Wu mungkin melihat hidup Ellie sebagai perjalanan.
Memang, bukan perjalanan dahsyat layaknya Boyhood (2014), tetapi menunjukkan fase yang krusial untuk menentukan ke mana arah kehidupan. Kita bisa melihat perihal ini pada akhiran film yang tidak memberikan jawaban absolut tentang ke mana hati Ellie akan berlabuh. Hanya waktu yang akan menjawab hal itu. Namun, yang jelas, masa depan Ellie sudah mendapat jawaban: dirinya memutuskan untuk mengejar mimpinya dan berkuliah.
Walaupun takingin mendefinisikan diri sebagai film roman, nyatanya filosofi cinta terus menjadi bahasan utama dalam film ini, terutama bagi Ellie. Ellie bertanya kepada Paul alasannya mencintai Aster, jawabannya pun simpel, ia cantik, baik, dan manis. Sementara itu, Ellie menuturkan pelbagai alasan yang bisa membuat Aster disukai, setidaknya itulah yang dirasakan Ellie terhadap Aster.
Bagaimanapun, Ellie menemukan hal baru dalam cinta Paul ke Aster. Ellie menemukan kesederhanaan Paul dalam mencintai Aster dan perjuangannya dalam meraih hati wanita cantik tersebut. Sosok Aster justru memiliki rumitan yang sangat berbeda dari Paul.
Dalam diri Aster, kita disuguhkan karakter yang terjebak stereotipe–memiliki pemikiran yang kompleks, tetapi ingin berada di zona nyaman. Perihal cinta, Aster awalnya hanya ingin bersama dengan kekasihnya dan menikah usai lulus SMA walaupun ia tidak sadar apakah benar ada cinta di sana atau tidak. Berbeda dengan Paul yang perlu berjuang keras, Aster sudah memiliki segalanya dan menerima segalanya.
Salah satu segi unik dalam Aster yang selalu menerima perlakuan orang lain pada dirinya ialah stereotipe kecantikannya. Orang hanya melihatnya dari kecantikan dirinya dan ia hanya menerima saja hal tersebut walaupun jenuh. Hal seperti ini sering luput dari kita yang sering memberikan perhatian lebih terhadap orang lain hanya karena rupanya menarik.
Dari Paul dan Aster, Ellie membentuk pemahamannya sendiri mengenai cinta. Hal ini ditampilkan dalam adegan di gereja saat Aster dilamar kekasihnya yang mengartikulasikan cinta yang taksesuai dengan pemahaman Ellie. Bagi Ellie, cinta merupakan perjuangan serta keberanian untuk menjadi lebih baik.
Secara filosofis dan menjadi resolusi film, adegan di gereja tersebut memiliki dialog yang sangat kuat. Hanya saja, penempatan latarnya di gereja dengan maksud menentang nilai religi dan menumpuk segala permasalahan cinta dalam suatu adegan membuatnya sangat klise. Nuansa film yang begitu mengalir dan menyenangkan untuk disaksikan sedikit dirusak dengan adegan yang agak memaksa ini. Untungnya, performa kuat Lewis sebagai Ellie yang sudah ia tampilkan sejak awal film, menyelamatkan adegan ini.
Jika ada kekurangan lainnya, mungkin ekspresi Lemire sebagai Aster yang agak datar. Keseluruhan, The Half of It merupakan film yang menyenangkan, memberikan nuansa yang sejuk layaknya Kota Squahamish serta pewarnaan filmnya. Problemnya rumit, tetapi berhasil dikemas dengan cara yang mudah ditangkap. Performa Lewis yang begitu enerjik dan dewasa dalam memerankan Ellie menjadi salah satu hal utama yang memperkuat film ini.

Baca juga: #TemanTapiMenikah2: Gejolak Suami-Istri Muda
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan