Setelah menyelipkan kritik pencemaran lingkungan dalam Finding Nemo (2003), Pixar mengajak kita membahas topik ini dengan skala lebih besar dalam WALL•E. Film ini mengajak kita ke masa depan guna melihat bumi yang taklagi layak dihuni. Namun, satu unit robot bernama WALL•E masih bertahan dan melakukan pekerjaannya.
Sering kali film-film berlatar masa depan distopia membawa kita kepada petualangan fantastis dengan mempertarungkan manusia dengan robot. Blade Runner (1982) menjadi salah satu pelopornya dan isu utama yang diangkat ialah eksistensialisme, baik itu robot maupun manusia. Yang paling menarik dari Blade Runner merupakan ketidaksiapan manusia menerima robot sebagai makhluk yang setara. Manusia tidak menyangka robot-robot tersebut memiliki jiwa layaknya mereka.
Denganmemberikan jiwa dan perasaan kepada robot layaknya Blade Runner, film WALL•E membawa hal itu lagi. Alih-alih melihat pertarungan manusia dan robot, film ini lebih menunjukkan kita pada dampak dari apa yang telah kita lakukan pada lingkungan. Dengan sosok WALL•E, seunit robot pengumpul sampah, kita diajak berkeliling melihat bumi kita pada masa depan yang taklagi bisa dihuni.
Jiwa WALL•E Berasal dari Ingatannya dan Memento Manusia
WALL•E merupakan unit terakhir yang bertahan dari banyaknya robot semacamnya yang diproduksi untuk membersihkan bumi. Sehari-hari ia hanya ditemani seekor kecoa. Keduanya saling mengerti satu sama lain, tetapi tidak bisa berbagi karena tidak bisa berkomunikasi secara verbal. Mungkin, WALL•E tidak butuh berkomunikasi untuk mengisi kekosongannya karena ia hanya seunit robot. Namun, begitu memasuki tempat berteduh robot ini, kita melihat ada bertumpuk-tumpuk memento.
Konsep memento ini mungkin sama seperti kita melihat artefak yang ditinggalkan manusia pada masa lalu. Semuanya hadir sebagai pengingat keberadaan manusia pada masa lalu. Lalu, yang paling menyentuh merupakan cuplikan film yang menunjukkan beberapa manusia berdansa dengan sorotan sepasang manusia yang bersentuhan dengan mesra. WALL•E melihat itu dan merekam ke dalam memorinya. Dari memorinya, ia menciptakan sesuatu yang takkita kira dalam seunit robot, ia memiliki jiwa.
Tumbuhnya jiwa WALL•E mungkin disebabkan dari persentuhannya dengan memento-memento manusia tersebut. Ia memiliki ingatan sehingga ia bisa belajar untuk mengembangkan daya tariknya. Robot ini mengumpulkan memento-memento manusia di dalam rumahnya. Ia pun mengembangkan daya tarik yang berbentuk cinta dari cuplikan film yang ia miliki tersebut.
Lalu, datanglah EVE, robot yang dikirim untuk mencari tumbuhan. Tumbuhan ini diperlukan sebagai sinyal adanya kehidupan organik di bumi. Dengan adanya tumbuhan, ada tanda berupa harapan bagi manusia untuk hidup kembali di bumi. Kedatangan EVE membuat WALL•E terpukau dengan wujud robot yang jauh lebih canggih dan modern dari dirinya t. Terlebih lagi, EVE bisa menjadi jawaban WALL•E untuk memberantas kesendirian dan keterasingannya di bumi ini.
Ketika WALL•E menunjukkan pohon kecil yang ia miliki di tengah koleksi mementonya, EVE secara otomatis memasukkannya ke dalam tubuhnya dan berhari-hari takbergerak. Ketertarikan WALL•E pada robot yang baru datang ke bumi tersebut merupakan hal yang ia kembangkan sendiri setelah dikelilingi memento manusia. Bersentuhan dengan EVE semakin memperjelas bahwa WALL•E telah memiliki jiwa, memiliki daya tarik dan yang terpenting, memiliki cinta.
Merobotkan Diri, Dimanusiakan Robot
Bagian pertama film WALL•E menunjukkan kritik lingkungan tentang betapa bobroknya bumi yang disebabkan oleh manusia. Sementara pada bagian kedua, kritiknya lebih diarahkan kepada manusia. Latarnya menunjukkan kapal Axiom, kapal yang mengirim EVE ke bumi. Di kapal ini, terdapat ribuan manusia yang kehidupannya sudah seratus persen dikendalikan. Mereka hidup hanya untuk menatap layar saja, tidak memedulikan sekitar karena segala kebutuhannya sudah dipenuhi oleh berbagai macam robot. Manusia menciptakan robot untuk menjadi robot.
Selain itu, disisipkan juga kritik tentang pemerintahan dalam sosok Kapten B. McCrea dan robot AUTO. Sang kapten bertindak sebagai pemimpin pemerintahan. Sementara AUTO merupakan sistem yang sudah baku walau benar-salahnya taklagi dipertanyakan. Ketika Kapten ingin mengubah sistem yang usang dan taklagi relevan tersebut, sistem AUTO menolaknya atas dasar perintah pemimpin dari tujuh abad lalu.
Hadirnya WALL•E yang membuntuti EVE membawa kekacauan di kapal Axiom. Robot pengumpul sampah ini membawa sisi manusiawi yang telah lama hilang di kapal tersebut. Keimpulsifan tindakan WALL•E membawa kekacauan sistem yang dijalankan dengan otomatis selama berabad-abad.
Usaha keras WALL•E dan perasaannya terhadap EVE merestorasi kemanusiaan pada ribuan manusia yang ada di dalam kapal Axiom. Adegan terbaik hadir saat WALL•E meminta EVE untuk menyerahkan tumbuhan ke pusat kapal agar bisa kembali ke bumi. Dramatisasinya begitu manis, menciptakan suasana yang sunyi lalu perlahan menaikkan volume musik untuk mengharu-biru perasaan penonton.
Setelah kapal Axiom tiba di bumi, manusia-manusia ini ditampilkan kembali belajar menjadi manusia lagi. Adegan kreditnya takkalah penting, yaitu gambaran tentang perjalanan manusia untuk kembali menghidupi bumi dengan merestorasi alam. WALL•E dan EVE layaknya Adam dan Hawa modern yang hadir untuk mengembalikan manusia ke habitatnya, yaitu bumi.
Lewat film ini, Andrew Stanton dan Jim Reardon menjelaskan isu kompleks agar dapat dicerna dan disadari oleh semua orang, terutama anak-anak. Sebab, generasi mendatanglah yang akan terkena dampak paling besar dari kerusakan lingkungan. Kita mungkin sudah menyaksikan film-film pencemaran lingkungan yang lebih kompleks, tetapi WALL•E yang dapat menggapai semua lapisan menjadi juaranya.
Baca juga: Membangun Fantasi dan Kenyataan Masa Kini Bersama Pixar
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan