Avengers: Endgame (2019) — Penutup Manis yang Berlubang

0
1014
Avengers: Endgame (2019) -- Penutup Manis yang Berlubang

Avengers: Endgame (2019) merupakan penutup dari perjalanan epik pahlawan super yang sudah kita kenal dalam sedekade terakhir. Robert Downey Jr. dalam sebuah wawancara mengakatakan bahwa 8 menit terakhir dalam Avengers: Endgame merupakan 8 menit terbaik di semesta film-film Marvel. Benarkah?

Sebelas tahun sudah dunia perfilman diwarnai dengan film-film pahlawan super yang berada di bawah naungan Marvel Cinematic Universe. Dalam rentang sebelas tahun tersebut, kita sudah dihibur oleh berbagai macam pahlawan super yang terbentang dalam 22 film yang berbeda. Dalam rentang waktu tersebut, mereka mendapatkan persaingan dari “musuh bebuyutan” mereka dalam bidang komik juga, yaitu DC.

Singkatnya, dalam segi kualitas dan popularitas, DC Extended Universe masih berada di bawah MCU. Namun, ini tak berarti MCU selalu ada di atas yang menjamin secara kualitas. Mungkin, inilah ulasan singkat dari film “pengakhir” mereka, Avengers: Endgame (2019).

MV5BOTY2NTYzODIxNF5BMl5BanBnXkFtZTgwMDA2OTU5NzM@._V1_SX1777_CR0,0,1777,937_AL_

Film ini dibuka dengan adegan Clint/Hawkeye yang sudah kita ketahui takdirnya seperti apa. Lalu, adegan berlanjut pada Tony Stark yang terombang-ambing di ruang angkasa bersama Nebula. Stark putus asa, tetapi rasa itu tak lama langsung ditangkis dengan kedatangan Captain Marvel yang menyelamatkan mereka. Tak basa-basi dan langsung ke intinya, kesan itulah yang pada awalnya terbangun pada fase awal film. Apalagi, setelah penyelamatan Tony, mereka langsung menyerang Thanos… dan menang.

Lima tahun berlalu, rasa bersalah dan dendam masih melekat kuat pada mereka. Penekanan ini terjadi dalam percakapan antara Steve dan Natasha. Lagi-lagi film ini tak memberi ruang untuk banyak basa-basi. Natasha sedih langsung dipotong oleh candaan Steve. Lalu, kedatangan Ant-Man memberikan kemungkinan pemulihan pembasmian Thanos dengan perjalanan waktu. Kedatangan Ant-Man ini bukan hanya membuka harapan, tetapi membuka nuansa MCU seperti sedia kala juga. Nuansa ini, yaitu banyaknya penempatan candaan yang kurang tepat serta intensitasnya berlebihan sehingga mengganggu emosi film. Tandanya, basa-basi dimulai.

MV5BMjI0MTkzMzkyNl5BMl5BanBnXkFtZTgwNTA2OTU5NzM@._V1_SX1777_CR0,0,1777,936_AL_

Kontradiksi dimulai saat Tony tak ingin membantu, sebab ia sudah memiliki hidup bahagia. Pemberian waktu untuk adegan perasaan Tony yang kontradiktif ini tepat, pembangunan nuansanya pas, salah satu momen yang “dimenangi” film ini. Satu momen menang lagi, yaitu perebutan pengorbanan Natasha dan Clint. Sebuah pertarungan sarat makna, puncak dari persahabatan unik antara kedua pahlawan super yang sebenarnya tak punya apa-apa ini ketimbang teman-teman lainnya.

Kisah perjalanan waktu para pahlawan super memang sangat sarat akan nostalgia. Mampu membuat penonton terbawa dalam alunan perjalanan MCU selama 11 tahun. Namun, tak sedikit juga adegan yang memaksa dan jatuhnya malah terlalu sintetis, kental akan koinsidental.

Perang epik yang telah ditunggu-tunggu sepanjang film akhirnya tiba. Banyak sekali momen epik yang tak bisa dilupakan dalam pertarungan terakhir antara Avengers melawan Thanos ini. Dari Thor yang memakai dua senjatanya, Captain America yang berhasil angkat Mjolnir, hancurnya tameng Cap, hingga trio pahlawan utama Avengers, Iron Man, Captain America dan Thor yang akhirnya “disayuri” Thanos.

Unsur koinsidental pun dimainkan kembali lewat munculnya Doctor Strange dan bala bantuan ribuan pasukan untuk melawan ribuan pasukan Thanos. Rasanya, sulit untuk tak merinding jika melihat adegan ini. Sayangnya, banyak sekali keanehan dalam perang yang sebenarnya terus berulang dari film-film Avengers sebelumnya. Adegan-adegan yang taktepat ditaruh di tempatnya, seperti Tony yang habiskan waktu lama untuk berpelukan dengan Peter Parker atau Peter Quill yang diselamati Gamora, tetapi masih menemukan tempat sepi untuk adegan dramatis yang lama di tengah badai perang besar. Ada juga adegan berkumpulnya para pahlawan super wanita di tengah-tengah perang secara tiba-tiba.

Selain itu, ada juga unsur keberlangsungan yang cukup janggal. Hal ini dapat ditemukan pada adegan terbunuhnya Nebula pada tahun 2014 dengan Nebula pada tahun 2023. Logikanya, jika diri Anda pada masa lalu terbunuh, akankah eksistensi diri Anda pada masa depan masih terjaga? Tentu, masih menjadi teka-teki bagaimana prinsip permainan perjalanan waktu dalam film yang kurang konsisten.

endgame

Menit-menit akhir film dipergunakan untuk menutup kisah, menceritakan kemenangan yang berdiri di atas kepedihan. Momen yang bisa menyentuh hati, tetapi bisa juga terlihat aneh sebab adegannya terlihat sangat klise. Robert Downey Jr. berpendapat bahwa 8 menit terakhir merupakan waktu terbaik dari semua film-film MCU. Namun, yang benar-benar menyentuh rasanya reuni Steve dengan Peggy, adegan penutup untuk memuaskan para penggemar tercinta.

Jika The Beatles punya album Abbey Road yang bisa menyimpulkan perjalanan karier mereka, Avengers: Endgame (2019) hampir mencapai level tersebut. Avengers: Endgame merupakan surat perpisahan yang terlalu banyak momen epik untuk dibilang biasa saja. Namun, film ini memiliki terlalu banyak adegan sia-sia serta plot bolong yang merusak keagungan penutup kisah para pahlawan super. Benar-benar tipikal film MCU, bukan?

Baca juga: 10 Film Terbaik Marvel Cinematic Universe

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan
Sumber gambar: IMDb.com