Review Film Inang (2022): Horor yang Berbeda

0
520
Review Film Inang (2022): Horor yang Berbeda

Kerap kali kita mengaitkan horor dengan hadirnya hantu dan teror dari makhluk takkasat mata. Penulis skenario Deo Mahameru menawarkan sesuatu yang berbeda dalam Inang. Teror takmelulu dari hantu, tetapi dari suasana mencekam yang membuat tokoh utama was-was.

Daripada fokus hantu-hantuan, Inang membuka filmnya dengan premis menarik. Kisahnya tentang perempuan pekerja kelas menengah ke bawah yang hamil di luar rencana. Kala lelakinya takmau bertanggung jawab dan memaksa untuk aborsi, Wulan (Naysilla Mirdad), sang tokoh utama memilih untuk menjaga bayinya.

Permasalahan terjadi sebab Wulan takdidukung kondisi finansial yang mumpuni untuk merawat anak, atau bahkan untuk melahirkan saja. Ia mencari cara dengan masuk ke grup Facebook yang bisa mendukung perempuan hamil yang kesulitan. Bertemulah ia dengan pasturi yang sudah berumur, yang siap mengadopsi anaknya.

Sampai titik ini, cerita dirangkai dengan sangat apik. Problematikanya begitu dekat dengan kehidupan, bahkan tanpa basa-basi film horor terlebih dulu. Ketakutan yang dihadapi Wulan merupakan ketakutan yang kita semua bisa alami dan cara menyelesaikannya pun dapat dimengerti walau taksepenuhnya rasional.

Hal yang paling menarik ialah cara-cara kecil film ini mempertebal ceritanya. Permainan relasi kuasa tubuh menjadi hal penting. Wulan, di tengah lingkungan perempuannya yang merelakan tubuhnya untuk selamat dari kesulitan finansial mereka, berpegang teguh untuk mencari cara yang baik untuk selamat.

Sementara itu, latar isu pelecehan seksual hingga prostitusi dipertebal dengan permainan visualnya yang menarik. Setiap sinematografi dalam adegan awalnya terasa begitu terukur. Suasana bising perkotaan membuatnya makin hidup, ditambah dengan adegan kecil dari badut jalanan yang kesulitan.

Sayangnya, kala rangkanya begitu baik, dua per tiga film selanjutnya justru terasa hambar. Mengangkat tradisi Rebo Wekasan memberi ketebalan cerita lagi dan hal menarik tersendiri, tetapi eksekusinya yang kurang. Bunga-bunga bernama hal mistis tradisional memang ditebar, tetapi wanginya kurang pekat hingga gagal membuat bulu kuduk merinding.

Sinematografi yang apik pada adegan awal memang kembali hadir beberapa kali, tetapi pewarnaan dalam adegan-adegan gelap jadi kurang memikat. Perlahan, film ini bergerak seperti acara kisah misteri yang marak di layar televisi pada tahun 2000-an, bukan untuk medium layar lebar.

Fajar Nugros memang terlihat ada tendensi untuk membuat film ini layaknya seperti film mistis di televisi Indonesia 2000-an dan, yang disayangkan, ia terjebak dalam kualitas yang sama. Sementara itu, Naysilla sebagai pemeran utama terlihat luwes, terutama dalam menyampaikan umpatan-umpatan yang mendobrak stereotipe perempuan baik-baik yang kerap kita lihat di sinetron. Namun, selebihnya, ia takbisa menampilkan rasa bahaya, yang menjadi elemen penting dalam film drama-horor seperti ini.

Kehadiran Dimas Anggara memang sedikit menguatkan ketegangan tersebut, tetapi takbanyak membantu. Kehadirannya mungkin terkesan hanya untuk menyelesaikan cerita; sebagai protagonis kejutan yang jadi penyelamat walaupun menyebabkan konflik dalam dirinya.

Pemeran terbaik ada di Lydia Kandou yang selalu menguasai tiap adegan, bahkan saat ia beradu akting dengan karakter utama. Sebagai perempuan berumur yang terlihat baik sekaligus menyeramkan, ia bermain di alam akting yang sulit. Di satu sisi, ia sangat berhasil, tetapi saat karakternya polos dan harus berperan lebih antagonis, Kandou terlihat sedikit kesulitan.

Dalam cakupan yang lebih luas, Inang mungkin menawarkan cara bertutur horor baru yang menarik, tanpa perlu banyak adegan berhantu. Problematika karakternya rumit dan kuat. Jumpscare tetap hadir, tetapi wujudnya bukan hantu dan justru mengundang sedikit tawa. Sayangnya, rangka kuat tersebut takdilanjutkan dengan sinema yang baik dan menarik.

Baca juga: Review Film Pengabdi Setan 2: Communion (2022)

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan