Review Film Guillermo del Toro’s Pinocchio (2022)

0
343
Review Film Guillermo del Toro's Pinocchio (2022)

Sekian karya telah membahas kisah ikonik, Pinocchio: si boneka kayu yang hidungnya memanjang apabila berbohong. Oleh sebab itu, penagihan atas sesuatu yang anyar selalu jadi keniscayaan apabila kisah ini dihadirkan kembali. Del Toro menjawab tantangan tersebut dengan menyodorkan film gerak-henti Guillermo del Toro’s Pinocchio dengan perspektif yang lebih “hidup”—alih-alih dibilang “gelap”.

Kisah yang sudah direncanakan sejak 2017 ini mengambil latar waktu bersejarah: berjayanya fasisme di Italia—di bawah pimpinan Mussolini—pada Perang Dunia II. Pemilihan latar ini amat jitu sebab berhasil menghadirkan isu yang tebal. Dalam konteks ini, Pinocchio (disuarakan Gregory Mann), “kayu hidup” ciptaan Geppetto (David Bradley), ditafsirkan sebagai warga negara yang mesti patuh pada negara. Oleh sebab itu, kehadirannya  mesti diawasi setiap saat oleh pemimpin setempat. Di samping itu, untuk menghalaunya jadi pembangkang, Pinocchio diwajibkan untuk sekolah agar beradab dan dapat “diseragamkan”.

Di samping itu, Pinocchio yang dapat hidup berkali-kali sebab dianugerahi kekuatan oleh peri hutan, Wood Sprite (Tilda Swinton), dianggap individu “unggul” yang mesti dimanfaatkan negara sehingga ia ikut berjuang dalam perang. Dalam hal ini, Pinocchio pun tidak lagi sepenuhnya menjadi anak Geppetto. Dalam sebuah adegan, Pinocchio dan anak-anak lainnya mengikuti latihan perang sebagai bentuk pengabdian pada negara. Ide ini serupa dengan buah karya Del Toro yang lain, The Shape of Water (2017). Dalam film tersebut, kehadiran “makhluk air berbahaya” yang diciptakan di laboratorium rahasia dijadikan senjata “mematikan” pada Perang Dingin.

Selain itu, dalam adegan lain, Pinocchio juga ditafsirkan sebagai anak laki-laki yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan materi. Pinocchio yang amat polos dipekerjakan oleh pemimpin sirkus yang tamak, licik, dan bengis bernama Count Volpe (Christoph Waltz). Pinocchio dikelabui dan diperdaya. Ia diajak berkeliling ke berbagai tempat dengan iming-iming emas sebagai hasil kerja kerasnya. Nahasnya, Pinocchio terjebak dalam eksploitasi tersebut, “You may have no strings, but I control you,” ancam Count Volpe.

Pada pertunjukan utama, pentas sirkus yang telah masyur seantero belahan Italia itu dihadiri Mussolini. Adegan ini mengingatkan kita pada buah karya Quentin Tarantino, Inglourious Basterds (2009). Tarantino “menghidupkan” kembali Hitler pada kisah fiksi-sejarahnya, bahkan ia membunuhnya. Dalam film ini, muncul Mussolini dengan tubuh kecil dan gemuk beserta adegan-adegan yang “mengecilkannya”. Dalam pentas tersebut, Pinocchio yang sadar akan ketidakadilan merusak acara tersebut. Dibantu Spazzatura (Cate Blanchett), si monyet sirkus, ia menghina Mussolini dan cita-citanya. Mungkin, adegan ini dipilih Del Toro sebagai reorientasi sejarah.

Sementara itu, hal pokok lain yang dipertunjukkan Del Toro adalah Pinocchio sebagai individu yang memegang kebebasan. Pinocchio ditunjukkan lepas dari pengaruh kekuasaan. Alhasil, ia dapat mengekspresikan semua sikap dan tutur. Adegan yang memperlihatkan sisi ini ialah saat Del Toro memasukkan isu religius. Di depan jemaat, Pinocchio bertanya secara retorik: mengapa ia tidak sama dengan-Nya. “He’s made of wood too. Why do they like him and not me? tanya Pinocchio.

Selain itu, dalam film ini, sang sineas masih bersetia dengan sebagian keaslian ide, termasuk ide hidung yang memanjang sebab berbohong. Dalam sebuah adegan, kebohongan yang amat dijauhi justru dibutuhkan agar Pinocchio, si Jangkrik (Ewan McGregor) yang menjadi narator kisah, Spazzatura, beserta Geppetto lolos dari perut ikan raksasa. Melalui kebohongan, mereka dapat menghirup nafas segar.

Dengan demikian, Guillermo del Toro memaknai kisah Pinocchio dengan cemerlang. Pada Pinocchio versinya, ada isu penafsiran anak sebagai warga negara yang mesti “diseragamkan” dan objek yang dieksploitasi demi materi. Akhirnya, Pinocchio dengan semangat kebebasannya amatlah menyadarkan!

Baca juga: Sing 2 (2021): Tenggelam dalam Tembang

Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah