Bersama Joaquin Phoenix, Ridley Scott coba menghidupkan lagi kaisar pascarevolusi Prancis dalam film terbarunya, Napoleon (2023). Perang-perang besar masa revolusi direkayasa ulang walau akhirnya fokus cerita ada pada kisah Napoleon dengan kekasihnya, Joséphine. Meriam-meriam diledakan, tetapi letupannya terasa diredam.
Merangkum kisah dari salah satu pemimpin terbesar sepanjang masa yang merentang sepanjang dua dekade memang bukan perkara mudah. David Scarpa, yang sebelumnya telah bekerja sama dengan Scott dalam All the Money in the World (2017), coba merangkum kisah Napoleon Bonaparte dalam Napoleon.
Sejak awal, Scarpa coba meraba-raba kehidupan Napoleon. Kisah dimulai dari pemenggalan Marie Antoinette, yang menurut ahli sejarah ia takhadir di sana. Pemilihan kisah yang sedikit memiringkan sejarah ini dapat dimengerti, sebab Scott dan Scarpa terlihat ingin Napoleon merekam adegan itu untuk memicu karakternya yang barbar.
Pada setengah awal film, terlihat adanya fokus untuk menampilkan berdirinya Prancis sebagai bangsa modern pascarevolusi. Kilasan demi kilasan hingga pertarungan kekuasaan ditampilkan, bahkan hingga Napoleon diangkat sebagai Konsul Perdana Prancis. Hanya saja, kilasan-kilasan ini terasa hampa, sebab ada banyak hal yang ingin ditampilkan pada awal film dan absennya fokus film. Fatalnya, aktor sekaliber Phoenix terasa diredam dan takbanyak keluarkan sisi eksplosif dan intimidatif yang jadi kekuatan utamanya. Padahal, tiada orang yang lebih cocok lagi di dunia untuk memerankan Napoleon, selain Phoenix.
Memasuki setengah akhir film, mulai terlihat fokus cerita yang ditulis Scarpa. Ia coba lebih memfokuskannya kepada dinamika hubungan percintaan sang kaisar Prancis dengan kekasihnya, Joséphine (Vanessa Kirby). Walapun taksesuai kenyataan bahwa Joséphine lebih tua dari Napoleon, kala Kirby lebih muda dari Phoenix, sang aktris tampil solid. Ada percampuran manis antara elegan dan nakal yang ia hadirkan dalam sosok Joséphine. Dalam adegan bersama Phoenix, ia bisa mengimbangi karisma dan intimidatifnya.
Walau dengan akting solid Phoenix dan Kirby, kisah romansa keduanya taklebih dari opera sabun dengan sedikit campuran stensilan. Kisahnya terasa dipermak lebih baik dengan produksi mahal, terutama dalam kostum yang memikat. Jika ditilik lagi, permasalahan dinamika Phoenix dan Kirby simpel. Mereka tampil setara dengan tingkat tinggi, tetapi tiada waktu dan ruang lebih untuk menguatkan karakter mereka untuk menarik empati penonton.
Tensi film naik ketika perang-perang dimunculkan lebih detail. Kita mulai melihat lihainya taktik Napoleon dalam merancangnya, terutama dalam merekayasa Pertempuran Austerlitz. Namun, ini hanyalah sebuah kilasan kecil dari banyaknya kemenangan berkat kecerdasan Napoleon. Lalu, mengenai sifat ambisius Napoleon, hanya sedikit juga yang tertera dan ditampilkan. Yang pertama muncul kala ia menampar tangan dan memaksa Joséphine untuk menandatangani surat cerai; yang kedua ketika ia memaksa pasukannya untuk menginvasi Rusia. Dalam adegan-adegan ini pun kita takbanyak melihat Phoenix mengeksplorasi lebih dalam emosinya untuk mengemulasi sosok Napoleon.
Mungkin, suntingan 2 jam 38 menit ini bukan sisi maksimal dari yang diinginkan Scott dalam film Napoleon ini. Walaupun dalam segi teknisnya terasa masyhur, penceritaannya kurang meyakinkan. Mungkin, dalam suntingan 4 jam yang disebut akan hadir di Apple TV nanti bisa lebih meyakinkan kita dalam melihat epos Napoleon dan romansanya dengan Joséphine.
Bagaimanapun, jika hanya melihat film yang rilis di bioskop pada akhir November 2023 ini, rasanya hanya seperti trailer yang dipanjangkan. Setengah akhir film dapat dinikmati lebih baik, saat ceritanya mulai lebih detail alih-alih kilasan sejarah saja seperti setengah awal film. Sayangnya, perkembangan karakternya masih minim dan adegan-adegannya kurang maksimal. Produksi apik dengan duet menawan Phoenix-Kirby pun terasa sia-sia.
Baca juga: El Conde (2023) – Darah Segar Sejarah
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan