Film Autobiography (2022) menyarikan pengaruh kekuasaan dalam menawan pikiran seseorang. Buah karya debut Makbul Mubarak ini juga membentangkan berbagai penyalahgunaan politik terkini.
Kisah ini berpusat pada ambisi pensiunan jenderal—yang pernah bertugas di Timor Timur—untuk memenangkan pemilihan bupati di kampungnya. Mantra Purna (Arswendy Bening Swara) kepada penduduk setempat saat kempanye adalah energi listrik yang tercukupkan. Dalam hal ini, perkebunan warga akan segera beralih fungsi menjadi pusat pembangkit listrik.
Purna dibantu Rakib (Kevin Ardilova)—anak pembantunya, Amir (Rukman Rosadi), yang tengah ditahan di penjara sebab kasus perusakan alat besar yang akan digunakan untuk menggusur lahan warga. Hubungan keduanya pun unik: Purna-Rakib (19 tahun) merupakan hubungan keluarga majikan-pembantu yang turun-menurun. Pada ajang pemilihan bupati, keduanya menjelma hubungan ayah-anak.
Pada pengisahan tersebut, dengan telaten, Mubarak menjahit berbagai isu hangat dalam negeri. Isu-isu tersebut ialah gerakan warga melawan pengembang, penggusuran atas nama kebutuhan energi, pemilihan pemimpin yang cemar, post-power syndrome, kolusi,dan ekonomi yang terlampau senjang. Pada kepungan soal-soal tersebut, Rakib tergempur dan tercengkram. Ketakutan yang menyergapnya dengan lekas bersarang di kepala penonton.
Suasana teror yang intens tersebut secara kukuh berhasil dihadirkan oleh adu akting yang memikat antara Kevin Ardilova dan Arswendy Bening Swara. Ardilova berhasil mengartikulasi ketakutan, ketidakberdayaan, dan keputusasaan melalui gerak-gerik tubuhnya. Swara pun lihai menghadirkan sosok jenderal yang kebal dari rasa bersalah dan lekas berganti rupa. Pengambilan gambar yang acap menembak sorot mata dan air muka keduanya juga menguatkan ketegangan.
Sementara itu, pemvisualan kisah juga terbilang efektif dan mengesankan. Misalnya adalah pengonkretan minimnya pasokan listrik di desa tersebut dengan adegan mati lampu di pasar beberapa kali. Ada juga adegan Purna-Rakib berkaraoke ria dalam suasana antitesis.
Selain itu,film Autobiography hadir dengan simbol-simbol yang kuat. Adegan dibuka dengan ketekunan Rakib menonton catur sebagai penuansaan politik dan intrik kekuasaan. Selain itu, ada pula keengganan sang jenderal untuk meminum kopi, komoditas yang dihasilkan dari desa tersebut. Simbol ini akan dihadirkan kembali pada akhir sebagai reorientasi kisah.
Merebut Takdir
Kekuasaan pensiunan jenderal belum meluntur sedikit pun. Seperti yang didialogkan, Purna dapat menyulap kata maaf menjadi hadiah untuk orang lain. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi sipil yang melakukan hal tidak menyenangkan kepadanya. Ada balasan yang mesti setimpal.
Di sisi lain, Rakib sebagai orang kepercayaan sang jenderal tanpa sadar memborong dua keuntungan: surplus kekuasaan dan kebal kejahatan. Namun, keuntungan tersebut ibarat bom waktu bagi Rakib yang semula hanya orang kampung biasa. Ia kesulitan dalam mencerna amal buruk jenderal sebagai amal baik—lambat laun ia merasa tersiksa. Dalam hal ini, pengembangan karakter Rakib ditampilkan dengan menarik.
Selain itu, pada perumusan cerita, alih-alih memasangkan Amir dan Purna yang hampir sebaya, pemasangan Purna-Rakib amatlah jitu. Pada keduanya, “pertarungan dingin” tidak hanya pada konteks majikan-pembantu, kaya-miskin, jenderal-sipil, tetapi juga generasi tua-muda. Pilihan ini melebarkan prespektif—ditambah kondisi ayah-anak.
Hal menarik dari kisah ini juga terletak pada penggambaran nyali Rakib dalam menentukan nasibnya sendiri di tengah bayang kekuasaan sang jenderal. Cara ia keluar dari kekuasaan pun merupakan hal yang membetot kisah—sekaligus hal yang menyadarkan. Sebuah metafora untuk pilihan hidup: menjadi fatalis atau berani menggugat nasib.
Walhasil, film Autobiography (2022) menebalkan bahwa pengaruh kekuasaan dapat bercokol pada pikiran yang tanpa sadar memengaruhi segenap tindak laku seseorang. Dengan isu yang relevan, akting yang memuaskan, dan visual yang memanjakan, film ini mesti Anda saksikan segera di bioskop. Anda akan mendapat sebuah pengalaman menonton yang lengkap genap.

Baca juga: Review Film Before, Now & Then (2022)
Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah